Suara Aslan, lumayan juga setidaknya tidak merusak gendang telinga Meysa. Cewek itu berhasil terlelap, tapi bukan karena nyanyian yang Aslan berikan untuknya, melainkan dirinya memang sudah sangat lelah, melewati sepanjang hari ini.
"Cantik banget kalau lagi tidur. Gue videoin, kayaknya bagus, nih. Sekalian buat pamer di medsos 'kan oke juga," gumamnya.
Ternyata masih ada beberapa teman sekolahnya yang belum tidur selarut ini. Bahkan mereka menjadi orang yang pertama menonton postingan yang Aslan kirimkan.
Dengan sebuah keterangan di bawahnya.
"Padahal cuma beda kamar, tapi tetep harus komunikasi." Dengan gambar cinta yang begitu banyak serta menandai nama Meysa tanpa sepengetahuan dari cewek itu membuat heboh kabar sekolahnya.
Termasuk Aldo, yang kini masih sibuk dengan tugasnya, lelaki itu meraih ponsel yang ada di samping tumpukan buku yang habis dia baca malam itu.
"Dari sore gak pegang ponsel, sekarang mau lihat kabar apa yang ada hari ini," ucapnya.
DEG!!
"Meysa semakin hari begitu dekat dengan Aslan. Anak-anak OSIS lain pasti sudah pada tahu, ini tidak baik untuk dicontoh mereka. Apalagi salah satu peraturan yang dibuat, setiap yang ikut organisasi di sekolah kami, tidak boleh berpacaran. Kedudukan Meysa sebagai wakil ketua, bisa membuat ucapan buruk yang anak-anak lain pikir."
Pikiran Aldo yang sangat dewasa bahkan tak ada niat sama sekali untuk menghancurkan hubungan keduanya, tak diyakini bisa diterima baik oleh Aslan, mengingat lelaki itu tentunya tak akan tinggal diam begitu saja jika masalah percintaannya dicampuri.
"Coba telepon Meysa kali ya, tapi jangan sekarang. Tak enak menganggu tidurnya, besok pagi saja."
Cahaya mentari sudah mulai naik, menyinari bumi. Meysa terbangun, setelah tahu alarm yang dia pasang berbunyi. Sambungan teleponnya masih terhubung dengan seorang seorang lelaki di seberang sana yang juga masih memejamkan mata dengan sebuah gitar dalam pelukannya.
"Lan, bangun! Woy!!"
"Kena marah Bu Rena baru tahu rasa, udah jam berapa ini, cepetan mandi!!"
Suaranya dari telepon, tak bisa menyamai jika membangunkan secara langsung.
"Gue mandi duluan aja, jangan sampai dimarahi kayak semalam."
Baru melompat dari tempat tidur untuk mengambil handuknya di almari, sebuah pesan kembali membuatnya duduk di atas ranjang tersebut.
"Kak Aldo, panjang banget pesannya, mata gue masih kabur lagi, belum terbuka sempurna. Bentar, perlu basuhan air dikit kayaknya." Cewek itu segera berjalan menuju wastafel yang ada di kamar mandinya.
Meysa menunda mandinya untuk beberapa menit, membalas pesan dari Aldo.
"Teguran karena gue pacaran? Lah, kenapa mereka semua bisa tahu, selama ini 'kan satu sekolah tahunya Aslan selalu gue tolak, kenapa sekarang berbanding terbalik? Gak mungkin juga dong, kalau anak buah Aslan yang kasih tahu, mereka pasti sudah bungkam sejak lama. Terus ini dari mana kabar hebohnya?"
Meysa memutuskan untuk memperjelas nasehat dari Aldo dengan menanyakan sumber kabar ini didapat.
Panggilan masuk, Aldo bukanlah tipe orang yang suka berpanjang lebar bicara lewat pesan.
"Kak Aldo, sebenarnya ini ada apa?"
"Kamu belum buka sosmed, Mey?"
"Sama sekali, saya baru saja bangun," jawabnya.
"Parah, cek sekarang. Pacar kamu tuh, gak ada kapoknya bikin kamu dalam masalah besar," cetusnya.
"Aslan, muka gue jelek banget mana ditaruh postingan lagi, ngeselin emang tuh anak," geramnya.
"Gimana, Mey?"
"Kak ..., aku bisa jelaskan semua ini ...."
"Kamu wakil ketua OSIS. Klarifikasi secepatnya, atau kamu dianggap memberikan contoh buruk kepada anggota lain." Kalimat itu cukup jelas karena bagaikan perintah bagi Meysa.
"Saya bakal lakukan Kak, secepatnya."
"Bagus, sebelum kabar ini menjalar kepada kepala sekolah, dan kalian malah diceramahi panjang lebar."
Tapi, Meysa rasa memang kepala sekolah sudah mulai curiga jika kedua anak ini mempunyai hubungan. Setidaknya, Meysa tetap menjaga nama baiknya saat di depan umum.
Meysa menjadi malas karena hal ini. Semangatnya menyambut pagi menjadi sedikit berkurang.
"Gue harus suruh Aslan, buat hapus postingan itu."
Selesai mandi, dan memasukkan semua bukunya ke dalam tas. Meysa keluar mengetuk keras pintu kamar kekasihnya.
"Bangun Aslan!!" teriaknya berkali-kali.
Cowok itu malah menutup telinganya menggunakan bantal.
"Berisik banget! Bisa diam gak!" Seingatnya dia masih berada di rumah, dan suara teriakan yang membangunkannya adalah pembantu di rumahnya yang selalu saja menganggu kenyamanan tidurnya setiap pagi.
"Aslan!!!" Semakin keras Meysa memanggil.
Brakk!!
Aslan melempar alas kaki miliknya, membuat cewek yang ada di balik pintu tersentak.
"Dasar tukang tidur!" umpatnya.
Dari kejauhan, langkah kaki Bu Rena semakin mendekat.
"Baguslah kamu sudah bangun Meysa, cepat turun sarapan sudah siap. Kamu sangat rapi," ajaknya.
"Tunggu dulu, Aslan belum bangun juga?"
Penuh ketakutan Meysa mengangguk.
"Biarkan Ibu yang mengurusnya, kamu turun duluan."
"Ibu yakin gak butuh bantuan saya? Biar saya saja yang bangunkan Aslan, Bu," jawab Meysa.
"Turun saja Meysa, Ibu bisa tangani ini sendiri."
Meski sejujurnya Meysa belum sepenuhnya pergi. Cewek itu masih berada di balik tembok untuk bersembunyi, sesekali dia melihat apa yang terjadi di depan kamar kekasihnya.
Rupanya sang guru sudah memanggil petugas untuk membuka kamar tersebut dengan kunci cadangan. Sehingga dengan mudah dia bisa masuk tanpa buang-buang tenaga seperti Meysa tadi.
Bu Rena masuk, menyingkap selimut yang menutupi tubuh Aslan.
"Ini juga, ngapain ada gitar di sini."
Guru itu melemparnya ke sembarang arah.
Tangannya sekuat tenaga menarik Aslan, untuk memaksanya bangun tentu cowok itu terkejut menyadari dirinya sudah dalam posisi berdiri kini.
"Aaaaa!!! teriaknya.
"Bikin kaget saja, ngapain kamu teriak kayak gitu. Saya ini bukan hantu, ya!" tekannya.
"Habisnya Ibu tiba-tiba muncul saya kira penampakan."
"Cepat bersiap! Kamu ini selalu membuat kita terlambat!" suruhnya.
"Meysa!" Aslan hendak berbalik arah mencari ponselnya, tapi tangannya sudah terlebih dulu ditarik oleh Bu Rena untuk dimasukkan ke dalam kamar mandi.
"Jangan keluar kalau belum bersih," ucapnya menutup rapat pintu tersebut.
"Penyiksaan ini namanya, Bu. Saya bahkan gak pernah mandi sepagi ini," teriaknya dari dalam.
Cowok itu keluar dengan tubuh yang menggigil karena dinginnya air di kamar mandi tersebut.
"Air panasnya gak keluar lagi, nasib memang," kesalnya.
"Ibu tunggu di bawah, ya!"
"Kenapa Meysa gak bangunkan gue." Aslan bahkan tak pedulikan ucapan Bu Rena yang hampir kehilangan suaranya karena menasehatinya sepagi ini.
"Apa dia sudah bangun?"
"Ponselnya mati lagi, pasti karena semalam aku lupa matikan teleponnya dengan Meysa," gumamnya.
Cowok itu mengambil pengisi daya dan segera menancapkan pada ponselnya.
"Waktunya nyusul pacar."
Begitu melihat kamar Meysa sudah kosong, barulah Aslan mau turun meski dia adalah yang terakhir bergabung di meja makan. Tatapan beberapa gurunya nampak sangat kesal padanya.
"Pada serius amat," ucapnya baru duduk.
Bersambung ....