Wajah yang begitu terlihat kesal pun James berikan kepada saudaranya tersebut yang saat ini berada dihadapannya. Bagaimana tidak? Laki-laki itu baru saja memintanya sesuatu hal yang begitu sangat tidak ingin ia bagikan kepada Yas, dan dirinya terpaksa harus memberikannya karena sebuah alasan.
Kini dihadapannya itu Yas sedang menatap layar ponselnya dengan seulas senyuman yang terpancar sehingga membuat laki-laki tersebut menjadi terlihat semakin tampan, dan James mengakuinya.
"Yas," panggilnya.
"Hm, apa James?" sahutnya yang kini menatap saudaranya itu.
James berdecih, lalu memutar bola matanya sebelum akhirnya berkata, "Geli banget gue denger lo manggil gue nama," ujarnya.
Yas menaikkan satu alisnya menatap laki-laki yang ada dihadapannya itu yang saat ini sedang kesal.
"Terus gue harus manggil lo apa?" tanyanya dengan sabar. "Jamet gitu?"
"Sialan," gumam James dengan wajah datarnya itu yang berhasil membuat Yas terkekeh puas seketika. "Yas, mau lo apain itu cewek?"
Mendengar itu Yas langsung menatap keatas dengan jari telunjuknya yang sengaja ia tempelkan ke dagu seolah dirinya sedang terlihat berpikir.
"Rahasia," jawabnya yang kini menatap laki-laki yang ada dihadapannya itu. "Inget ya sama kesepatan lo, kalau cewek itu sekarang udah dibawah kendali gue jadi lo gak usah ikut campur atau bahkan berusaha buat deketin."
Laki-laki itu langsung menghela nafasnya dengan posisi yang masih bersandar di pagar balkon apartemen Yas. James melipat kedua tangannya seperti sedang mengintimidasi saudaranya itu dan berkata, "Kok sekarang jadi gue yang khawatir sama lo, ya?" ujarnya.
Sementara Yas, laki-laki itu kini sedang duduk disebuah kursi yang tersedia di sana dengan ponsel yang masih berada di dalam genggamannya tersebut dan saat ini sedang menatap saudaranya itu yang sedang melihatnya dengan begitu berbeda.
"Maksud lo?" tanyanya dengan kening yang berkerut.
"Iya, gue malah lebih khawatir kalau cewek itu ada di tangan lo."
"Kenapa?" tanya Yas. "Bukannya seharusnya dia lebih aman sama gue ya? Secara gue gak pernah deket sama cewek mana pun."
Mendengar hal tersebut membuat seorang James tersenyum smirk sesaat setelah mendengar perkataan dari saudaranya itu.
"Semoga aja ya," ujarnya yang kini mulai menyalakan pematik rokoknya yang sedari tadi berada di dalam genggaman. "Gue harap lo juga pegang kata-kata lo itu kalau lo tadi sesuai kesepatan."
"Oke, siapa takut," ujar Yas. "Lagi pula gue cuma butuh buat berhentiin perjodohan sialan itu yang bikin gue muak selama ini."
"Sementara?" ujar James memastikan.
"Hm ... sementara, gue bukan orang yang suka ingkar janji," ujar Yas yang kini sudah mulai berdiri dari duduknya. "Dan lo tahu itu."
Kini keduanya pun saling menatap satu sama lain dengan senyum smirknya masing-masing yang begitu terlihat jelas.
Yas sudah memulai permainannya saat ini dan ia akan melihat bagaimana hari-hari kedepannya dari gadis itu sesaat setelah mengetahui hal tersebut.
"James, lo masih punya foto itu 'kan?" tanyanya.
"Emangnya kenapa?" ujar James dengan kedua mata yang memincing.
"Gue harap lo gak coba-coba buat sebarin foto itu," peringat Yas. "Jangan main-main sama gue, ngerti?"
Mendengar itu James langsung berdecak, kemudian mematikan rokok yang sedari tadi di hisapnya tersebut dengan perasaan tidak nyamannya itu.
"Gue juga tahu," ujarnya malas. "Lo gak perlu ngingetin bilang kaya gitu juga gue udah paham."
"Bagus lah kalau gitu," ujar Yas menganggukkan kepalanya.
Kemudian laki-laki itu langsung meninggalkan James yang masih berada dibalkon untuk memasuki kamarnya.
Ketika sampai di sana ia langsung menampilkan senyum smirknya saat mengetahui bahwa dirinya tidak perlu lagi merasa khawatir akan hal ini.
FLASHBACK ON
Yas berjalan mendekat dengan kedua tangan yang kini menopang pada sofa dengan sembari tersenyum menatap saudaranya yang saat ini berada dihadapannya sedang menatapnya dengan terheran.
"Sejak kapan lo jadi suka ngurusin hidup gue?" ujarnya kepada James. "Gue punya permintaan sama lo."
Kemudian laki-laki itu menatap kedua sahabatnya yang lain sedang menatapnya tanpa berkedip membuat Yas langsung menghela nafasnya seketika.
"Tapi gak di sini," lanjutnya lagi. "Ikut gue."
Setelah mendengar itu James langsung menatap kanan dan kirinya dimana Didan dan Alfiz yang kini sedang melihatnya dengan bertanya-tanya.
Lalu James langsung beranjak dari sofa dan melangkahkan kakinya untuk menyusul memasuki kamar dari laki-laki itu yang ternyata Yas sedang berada dibalkon.
Kini ia melihat seseorang yang berada dihadapannya itu sedang menatap pemandangan kota jakarta dari atas sini membuat dirinya yang mengetahui itu langsung berjalan mendekati laki-laki itu.
"Jadi permintaan lo ini?" tanya James yang kini berdiam diri disamping Yas yang sedang menatap bangunan-bangunan yang menjulang tinggi dengan beberapa kendaraan yang terlihat seperti semut-semut jika dilihat dari atas sini. "Kirain gue apaan."
Satu sudut bibir dari laki-laki yang ada disampingnya itu pun tertarik keatas, lalu berkata, "Ternyata lo gak berubah ya, masih tetap sama."
James, ia langsung menoleh kesamping di mana Yas saat ini sedang menatap lurus ke depan seolah sedang menerawan apa yang akan terjadi setelah ini membuat dirinya menjadi penasaran akan apa yang sedang dipikirkan oleh laki-laki itu saat ini.
"Maksud lo?" tanyanya.
"Ya ... lo gak berubah sama sekali dari dulu, lo jadi anak yang nakal, gak tahu aturan dan cara main, lo suka kebebasan tapi lo ceroboh."
Tanpa sadar James mengeraskan lehernya dengan kedua tangan yang mengepal, laki-laki itu mencoba menahan diri agar tidak terpancing emosi hanya dengan sebuah kata-kata yang keluar dari mulut saudaranya itu.
"Gue gak suka basa-basi," ujarnya memperingati Yas. "Apa mau lo?"
Yas langsung terkekeh seketika dengan posisinya yang kini menjadi menyamping sehingga bisa melihat James dengan leluasa.
"Tapi, apa lo yakin bisa turutin permintaan gue?" tanyanya dengan menaikkan satu alisnya. "Jujur gue pribadi juga gak yakin kalau lo bisa kabulin permintaan gue yang satu ini."
Terdengar suara tawa yang begitu sumbang dari seseorang yang berada dihadapannya saat ini membuat Yas merasa tertantang untuk itu.
"Gue, James Albert, bisa lakuin apa aja yang gue mau," ujarnya dengan bangganya, lalu menatap Yas sembari menunjuk tepat di dada laki-laki itu dan berkata, "Termasuk keinginan lo itu."
"Gak peduli meskipun lo belum tahu apa permintaan dari gue gitu?" tanya Yas dengan kedua alis yang terangkat.
Yas terkekeh sinis, lalu bertepuk tangan seolah sedang memberikan sebuah penghargaan kepada saudaranya itu yang berada dihadapannya saat ini.
"Oh, jelas---" belum sempat James melanjutkan perkataannya, tapi Yas sudah lebih dulu menyelanya sehingga membuat laki-laki itu bungkam seketika. "Gue mau cewek itu."
Begitu terlihat jelas bagaimana keterkejutan seorang James yang saat ini langsung terdiam mematung seperti seseorang yang kebingungan membuat Yas yang mengetahui itu langsung berdecih sembari memalingkan wajahnya kearah lain.
"Udah gue duga kalau lo gak akan mampu," ujarnya kepada James. "Iya 'kan?"
Mendengar hal itu James langsung berdeham, lalu kembali menatap pemandangan kota Jakarta sembari berpikir.
"Gue bisa," jawabnya. "Tapi ... ada apa lo tiba-tiba minta cewek itu?"
"Sorry James." Yas langsung menatap kembali saudaranya itu dengan kedua tangan yang kini berada disaku celananya. "Tapi gue gak bisa kasih tahu lo alasannya dan lagi bukannya setiap orang berhak untuk gak cerita ya?"
James langsung menundukkan kepalanya dengan kedua tangan yang masih menopang pagar, lalu berkata, "Lo tahu, Yas? Lo itu suka sama cewek culun itu, tapi lo nya gak sadar aja sama diri lo sendiri kalau sebenarnya lo itu suka sama dia."
"James, tolong jangan bahas ini lagi, gue udah muak." Yas langsung menatap nyalang seseorang yang ada dihadapannya saat ini. "Jadi gimana? Lo bisa 'kan turutin permintaan gue?"
Kedua alis dari James pun terangkat, lalu berkata, "Bisa aja sih, asal dengan kesepakatan, gimana?" ujarnya.
"Oke, siapa takut?"
Tentu saja mendengar itu James langsung berbalik menjadi menghadap seseorang yang ada disampingnya sedari tadi dengan ekspresi datarnya. Sejujurnya ia tidak menyukai saudaranya itu ketika meminta gadis itu kepada dirinya yang merupakan targetnya, tetapi karena dia adalah Yashelino, maka laki-laki itu harus memberikannya.