webnovel

Nola dan Zoya

Jam sudah menunjukkan pukul lima sore dan ini berarti waktunya para sekretaris itu pulang. Dari kejauhan saja, Lexa bisa mendengar suara dua orang wanita yang saling berbincang dan tertawa kecil. Siapa lagi kalau bukan Nola dan Zoya. Mereka mungkin akan mampir ke toilet dulu sebelum pulang. Lexa benar karena suara itu terdengar berlalu masuk ke dalam toilet. Entah apa yang mereka lakukan di dalam sana. Sedangkan Lexa hampir mati bosan karena belum banyak pekerjaan yang bisa dia lakukan sekarang. Tanpa diduga, dua wanita itu masuk ke dalam ruangannya untuk minum air mineral. Tentu saja Lexa tersenyum sopan menyambut keduanya.

"Tidak perlu terlalu sungkan pada kami. Kalau hanya untuk minum air mineral seperti ini, kami bisa melakukannya," kata Nola sopan.

"Ah, iya hm Nona," Lexa sempa beprikir panggilan apa yang tepat untuk keduanya.

"Berapa usiamu?" tanya Zoya ingin tahu.

"Usiaku? Hm, 18 tahun," jawabku.

"Ah, aku sudah bilang apa. Dia masih sangat muda. Vano tidak mungkin akan menyukainya," ucap Nola meyakinkan.

"Hm, ya aku rasa dia bukan ancaman berarti," senyum Zola mengembang.

"Aku tahu kau mungkin sedikit bingung. Zoya ini dari dulu sangat menyukai Vano. Aku yakin kau bisa lihat sendiri dia itu sedikit kaku dan begitulah. Bahkan kami sekretarisnya saja tidak bisa mendekatinya. Zoya sangat kesulitan mendekatinya," Nola mengedipkan mata.

"Ish apa yang kau katakan! Vano memperhatikanku! Aku tahu dia diam-diam melakukannya!" kesal Zoya pada ucapan sahabatnya itu.

"Hahaha. Bukankah itu hanya ada dalam perasaanmu saja?" tanya Nola sedikit mengejek.

"Ah, kau ini sahabat yang menyebalkan!" Zoya merajuk.

"Hm, kau sendiri bagaimana Lexa? Apa kau tidak ingin menceritakan tentangmu pada kami? Siapa kau?" tanya Nola penasaran duduk di seberang Lexa.

"Aku? Hehehe. Tidak ada yang spesial dariku," ucap Lexa sedikit gugup.

"Ok. Kalau begitu ceritakan saja bagaimana tidak spesialnya kau ini?" Nola masih ingin tahu.

"Aku sebenarnya seorang yatim piatu. Orangtuaku meninggal saat aku masih umur 10 tahun lalu aku hidup dengan nenekku berbekal uang warisan dari kedua orangtuaku. Itu tidak banyak jadi nenek hanya bisa membiayai sekolahku hingga sekolah menengah atas saja. Beliau juga sudah meninggal dua tahun yang lalu. Aku sendirian dan tidak punya uang jadi itu alasanku ada di sini," senyum Lexa tabah.

"Wow, itu sebenarnya cukup menyedihkan. Jadi kau sebatang kara?" tanya Nola ingin tahu.

"Hm, ya sepertinya begitu," senyumku.

"Lalu di mana kau tinggal sekarang?" tanya Zoya lagi.

"Sebuah apartemen kecil dan tua. Peninggalan nenekku," Lexa tersenyum tipis.

"Bagaimanapun kita akan menjadi rekan kerja setelah ini. Aku menyukai Vano dan kau harus ingat itu dengan baik dalam pikiranmu! Aku akan bersikap baik asal kau juga bersikap pengertian pada itu. Jangan mendekatinya atau bicara dengannya selain urusan kerja! Kalau sampai aku melihat ada yang aneh dengan kalian berdua, maka aku akan bertindak!" ucap Zoya memastikan.

"Hm, baiklah," toh Lexa memang sama sekali tidak ada niat lainnya selain bekerja di sini.

"Sudahlah ayo pulang, Jasper sudah menungguku," kata Nola dengan senyum tipis sesaat setelah melihat layar ponselnya.

"Kau lihat kan Lexa? Ini alasan dia tidak bersimpati padaku! Karena dia sudah memiliki kekasihnya sendiri," goda Zoya melihat sinis ke arah Nola.

Lexa hanya tersenyum dan mengangguk saja, jadi apa Nola dan Jasper itu berpacaran? Wah, ini sudah jadi sangat menarik. Baru sehari bekerja di sana, dia sudah bisa melihat dan mempelajari banyak hal. Zoya, Lexa mengakui bahwa dia cantik. Tubuhnya seksi dengan tinggi yang lumayan. Rambutnya hitam dan bergelombang sangat cantik hingga ke punggung. Gayanya sangat modern dan kekinian sekali. Dandanannya tebal tapi terlihat pas untuknya. Sedangkan Nola jauh lebih kalem dengan rambut sebahu dan dandanan yang terlihat jauh lebih natural. Dia juga punya tubuh proporsional tapi mungil dan terlihat menggemaskan. Keduanya bisa menjadi teman baik, asal seperti kata Zoya selama dia tidak macam-macam dengan Vano.

Lexa mendadak terkejut saat telepon di ruangannya berbunyi. Dia pelan mengangkat teleponnya seolah itu adalah sebuah telepon horor di malam hari. Gadis itu masih belum terbiasa saja dengan semua itu. Sebuah suara berat dan dalam menyapa dari seberang dan itu adalah Vano yang meminta teh hangat. Tidak lupa Lexa melihat lagi catatan yang sudah dia buat. Bahkan untuk teh saja, Vano punya kriteria yang harus dipenuhi. Dia ingin warna coklatnya tepat seperti yang diinginkan dan jumlah gula yang dimasukkan juga harus tepat sesuai yang dia butuhkan. Bosnya ini sangat perfeksionis dan dia harus tepat membuatnya.

Satu helaan nafas besar Lexa hembuskan sebelum membawa teh itu masuk ke dalam ruangan yang mendadak pintunya terlihat jauh lebih besar di pandangannya kini. Dia masuk setelah mengatakan akan mengantarkan teh. Mendorong daun pintu besar dengan tubuh mungilnya dan berjalan masuk ke dalam. Vano masih setia duduk di kursi kebesarannya menatap laptop yang ada di hadapannya dan mengetik entah apa di sana. Lexa berjalan mendekat dan hendak meletakkan cangkirnya di salah satu sisi meja dan cepat suara itu mengejutkannya.

"Apa kau lupa di mana harusnya meletakkan cangkir itu?" kata Vano dengan suara tegas dan dalam.

Ya, Lexa memang tidak ingat, atau bahkan mungkin dia lupa membacanya. Bahkan untuk meletakkan cangkir saja ada sisi tertentu yang harus dia pilih?

"Hm, maaf Tuan. Sepertinya saya belum membaca bagian itu," ucap Lexa berterus terang.

"Ck, kau menyusahkan saja. Di sana!" ucapnya dengan satu jari telunjuk menunjuk sisi lainnya di sebelah kanan meja dengan mata menatap tajam padanya

Tanpa kata Lexa meletakkannya begitu saja di titik yang ditunjuk oleh sang CEO dan dia bersiap untuk pergi.

"Mau kemana kau?" suara itu kembali menyela.

"Tentu saja kembali ke ruangan saya," kata Lexa sopan.

"Duduk dan ceritakan tentang dirimu," mata naga itu menatapnya dengan penuh intimidasi.

"Maaf, Tuan?" Lexa memastikan pendengarannya benar.

"Apa telingamu bermasalah?" ya tentu pria itu tidak ingin mengulang ucapannya.

Lexa duduk berhati-hati di kursi yang ada di seberang pria itu. Meja itu sangat lebar mungkin sekitar 1,5 meter. Tatapan mata itu mengikuti tiap detail gerakannya dan itu membuat Lexa berdebar juga. Dia belum tahu banyak tentang pria ini dan ya itu membuat Lexa khawatir akan ada yang salah di mata pria itu saat dia bicara. Dia masih duduk saja di sana diam saat tiba-tiba ponselnya berbunyi. Lexa sama sekali tidak ingin mencuri dengar jadi matanya menatap ke sekeliling. Lexa ingat Pak Berto mengatakan padanya bahwa dia boleh membersihkan ruangan itu tapi sama sekali tidak boleh memindah apapun atau Vano akan sangat marah. Lexa sudah membersihkannya tadi pagi, tapi selalu banyak hal yang bisa dilihatnya dari ruangan yang selalu membuatnya kagum itu.