Kamar pasien yang tidak terlalu luas itu sebenarnya diperuntukkan untuk dua pasien, namun karena kebetulan pasien yang ada di sebelah ibu Zahra sudah pulang tadi malam, maka suasana kamar itu menjadi lebih sunyi.
"Assalaamu'alaikum," ucap Zahra saat masuk ke kamar pasien itu.
"Wa'alaikumussalaam," jawab Ibu Zahra lirih sambil duduk bersandar di ranjang.
Zahra menaruh makanan yang baru saja dibelinya di atas meja.
"Beli apa aja kamu?" tanya Ibu Zahra.
"Ini, buah sama bubur. Tadi katanya ibu minta bubur kacang ijo"
"Iya, tadi tiba-tiba pengin bubur kacang ijo. Oya, ini ibu sudah boleh pulang sekarang kan?"
"Tadi kata perawatnya udah boleh, tapi nanti nunggu dokternya dulu sekitar satu jam lagi"
Wajah Ibu Zahra nampak sudah tak sabar ingin segera keluar dan pulang ke rumahnya.
"Emang kamu ada uang buat bayar rumah sakit?"
"Ada kok bu, tenang aja ngga usah dipikir," ujar Zahra sambil menyiapkan bubur kacang ijo untuk ibunya itu.
"Heh, uang dari mana?"
"Tenang saja bu, pokoknya ada. Dan yang jelas bukan hutang," jawab Zahra sambil tersenyum.
Zahra kemudian menyuapi ibunya yang mulai agak terlihat segar wajahnya. Rona pucat akibat sakit yang dideritanya kemarin perlahan mulai menghilang.
"Kamu ngga menyesal keluar dari bank cuma untuk nungguin ibu sakit begini?"
"Kok ibu tanya itu lagi? Engga nyesel dong bu, kalau Zahra masih kerja di bank terus nanti ibu siapa yang ngerawat?"
"Kamu ngga pengin cari kerja lagi?"
"Yaa mau sih bu. Besok aja kalau ibu udah bisa ditinggal-tinggal, Zahra bakal cari kerja lagi. Lagian kalau Zahra sekarang kerja, yang nungguin ibu siapa? Zidan kan kerja juga"
"Iya, ibu paham. Kayaknya ibu udah mendingan, bisa ditinggal kalau di rumah"
"Ya lihat perkembangannya aja besok, bu"
"Oiya, kok ibu lama ngga lihat Evan dari kemarin. Lagi sibuk dia?"
"Tadi malem sempet kesini sebentar sih dia, cuma ibu udah tidur"
"Ngapain malem-malem kesini?"
Zahra diam sejenak. Bingung juga menjawabnya.
"Ngg… Itu, Zahra minta dibeliin martabak, eh tapi pada tutup semua warungnya"
"Oh, ibu kira ada masalah apa. Tapi kalian baik-baik aja kan?"
"Baik kok bu," jawab Zahra sambil memberikan suapan lagi ke mulut ibunya.
"Evan belum ada niatan melamar kamu?"
Agak kaget Zahra tiba-tiba ibu bertanya itu.
"Ngga tau tuh, katanya sih dia ngerasa belum mapan"
"Perasaan dari dulu kalau ditanya alasannya itu terus? Ini nih, pemahaman yang sering keliru, takut nikah karena merasa belum mapan. Padahal dengan nikah itu bisa jadi jalan untuk mapan," terang Bu Rahayu, ibunda Zahra itu.
"Dulu, almarhum bapakmu waktu melamar ibu juga masih kerja serabutan. Eh baru sebulan nikah sama ibu, bapak dapet tawaran ngajar jadi guru."
Zahra agak sulit merespon kalimat ibunya itu. Dia sempat mengalihkan momentum dengan menyendokkan satu suapan kacang ijo lagi.
"Udah, udah. Nanti lagi," pinta Bu Rahayu untuk menaruh mangkuk buburnya di meja.
"Kalau menurut kamu, Evan udah mapan belum?"
"Yaa… memang belum sih…," jawab Zahra ragu-ragu.
"Memang kemapanan laki-laki itu penting sebelum menikah, tapi bukan berarti harus kaya raya dulu baru mau menikah. Bisa-bisa kalian jadi bujang lapuk, keburu tua. Itu aja si Zidan udah ngebet banget pengin ngelamar si Ayu tapi ngga jadi-jadi."
"Lah, kenapa memangnya bu?"
"Ya nungguin kamu dulu lah. Kemarin waktu gantian nungguin ibu disini, dia cerita kalau dia ngga enak mau ngelangkahin kamu."
Apa yang disampaikan ibunya itu sebenarnya sudah disadari oleh Zahra kalau akan terjadi, bahwa dia akan menjadi penghambat pernikahan adiknya. Namun memang keadaan belum memungkinkan untuk dirinya menikah sekarang.
"Zahra, umur kamu kan sudah 25 tahun, apa…"
"26 bu," potong Zahra.
"Nah, malah 26 kan? Apa kamu masih mau nunggu Evan terus? Mau sampai kapan?"
Zahra terdiam lagi. Benar-benar dia tidak bisa berkomentar apa-apa. Sang ibu juga nampak memberi jeda kepada putrinya untuk merenungi kalimatnya. Sampai akhirnya Bu Rahayu melanjutkan pertanyaannya.
"Gimana kalau tiba-tiba ada laki-laki lain yang lebih mapan, terus melamar kamu?"
Zahra yang semula sedang tertunduk itu tiba-tiba langsung menengadah mendengar pertanyaan terakhir. Lagi, sebuah pertanyaan yang amat menohok Zahra. Bukan cuma itu, seolah apa yang dikatakan sang ibu mirip dengan kekhawatiran Evan kepadanya akhir-akhir ini.