"Umm maaf, silahkan jika kamu memerlukan buku ini," lelaki itu tersenyum pada Feni.
"Ah benarkah? Kamu sendiri nanti bagaimana?" Feni merasa jengah.
Sekali lagi lelaki tersebut melempar senyum termanisnya yang membuat jantung Feni merasa luluh lantah.
"Tenang saja, aku bisa mencari di tempat lain, atau menunggu cetakan berikutnya. Ini ambil," ujarnya mengalah.
Tentu saja Feni merasa terkesima dengan sikap lelaki dihadapannya itu. Tidak hanya tampan, dia juga bijaksana dalam bersikap.
"Te-terima kasih ya."
"By the way siapa namamu?" tanya sang lelaki.
"Aku Feni. Namamu siapa?" Feni balik bertanya dengan cepat.
Kringgg kringg
Sontak Feni terjaga dari tidurnya. Sedikit demi sedikit kedua matanya terbuka dan mengintip ke arah jam dinding yang terpasang tepat di depan tempat tidurnya.
Segera Feni mematikan alarm jam yang sejak tadi berdering di atas meja nakas. Dia pun beranjak ke kamar mandi untuk bersiap membersihkan diri.
Ini adalah hari pertamanya bekerja, setelah tiga bulan dirinya melakukan training disebuah perusahaan periklanan yang cukup terkemuka, Emerald Advertising. Hari ini dirinya mulai bekerja nyata. Feni sangat antusias, karena setelah menjadi anak training, sekarang ia menyandang status sebagai seorang karyawan.
Srot srott.. Aroma parfum mulai merebak di area kamarnya yang dingin. Pakaian khas wanita karir menambah dewasa penampilannya. Tidak lupa sebelum beranjak Feni selalu tersenyum di depan cermin, lalu menarik shoulder bag miliknya dengan cepat.
Ceklek
Pintu kamar pun tertutup. Feni melangkah cepat menuruni anak tangga menuju ruang makan untuk segera sarapan bersama.
"Loh Papah dan Mira kemana, Mah?" tanya Feni.
"Papah dan Adikmu sudah jalan tadi. Katanya Mira ada kelas pagi. Dosennya selalu datang tepat waktu. Kamu tadi dipanggilin kan," seru sang ibu.
"Iya aku kesiangan nih. Aku juga harus segera berangkat Mah. Kalau terlambat, bisa tercoreng wajahku sebagai anak training teladan. Dahh Mah."
"Hei.. heii.. Ampun deh Feni habiskan dulu makanan dimulutmuuu."
Wuuzz, secepat kilat Feni sudah keluar dari gerbang rumahnya. Pokoknya hari ini dia tidak boleh terlambat. Hari pertama, menentukan sudut pandang para penghuni kantor kepadanya. Jika dia memberikan kesan buruk hari ini, maka seterusnya orang akan menganggapnya seperti itu, dan begitupun sebaliknya.
Bus, taksi, atau kendaraan beroda empat lainnya tidak menjadi pilihan Feni untuk saat ini. Dia lebih memilih kendaraan beroda dua agar lebih mempersingkat waktu dan tentu saja menyelamatkannya dari kemacetan.
"Jalan Kemuning, komplek Emerald bang," celoteh Feni sambil memasang helm di kepalanya.
"Oke siap Neng, berangkat," jawab sang supir.
Kendaraan beroda dua itupun langsung menembus lalu lintas yang sudah tampak riuh di setiap sudut kota. Mereka semua mempunyai tujuan yang sama, yaitu melakukan aktivitas bekerja di tempatnya masing-masing.
Jujur saja Feni merasa sedikit was-was saat motor melaju dengan cepat atau meliuk-liuk mencari celah jalan untuk keluar dari perangkap antrian kendaraan lain. Namun, kali ini Feni tidak dapat protes. Dia sepakat dengan keputusan sang supir, karena dirinya juga membutuhkan waktu.
Setelah empat puluh menit berjibaku di tengah keramaian ibu kota, akhirnya pemandangan gedung kantornya terlihat. Sesekali, Feni melirik jam tangan. Mencoba menghitung perkiraan waktu yang dibutuhkan olehnya sampai tiba di meja kerja.
"Nih ongkosnya. Makasih bang," ucap Feni cepat.
"Oii.. oii Neng," teriak sang supir.
"Apalagi? Ambil aja deh kembaliannya, waktu saya mepet nih."
"Neng itu yang dikepala jangan ikut dibawa. Tekor saya, walaupun kembaliannya diambil," ungkap sang supir polos.
"Hah! Ckk.. sorry bang. Nih helm kerajaannya."
Sejurus kemudian Feni langsung ambil langkah kaki seribu menyusuri area parkir dan halaman gedung kantornya yang luas. Walaupun dirinya masih sedikit tenang melihat lalu lalang karyawan lain yang artinya jam kantor belum berlangsung, tapi tetap saja perasaannya tidak tenang jika belum sampai di ruang kerjanya.
Tap tap tap..
Feni terus melangkah dengan gusar. Bagaimana jika nanti dia dibully saat tiba diruangan karena terlambat. Pikirannya terpecah hingga konsentrasinya buyar.
Bruk
Feni menabrak seseorang yang baru keluar dari lift. Seorang laki-laki yang tentu saja terkejut dengan kemunculan Feni dihadapannya.
"Maaf, maaf.." ucap Feni sambil menundukkan kepalanya.
"Tidak usah buru-buru Mba. Belum terlambat kok."
"Ini filenya. Sekali lagi maaf," Feni memberikan file yang terjatuh.
Lelaki itupun menerima sambil sedikit menertawakan tingkah Feni yang gugup dan kelimpungan. Setelah itu, Feni langsung beranjak sebelum pintu lift dihadapannya itu tertutup sempurna.
Ting
'Huft akhirnya sampai juga di lantai ini. Jangan sampai kejadian ini terulang lagi besok. Bahkan hari ini aku tidak tahu jadwal anak baru apa, bisa-bisanya aku datang mepet waktu gini,' gumam Feni.
Ceklek
"Fen, akhirnya kamu datang juga. Cepet absen nih di komputerku. Habis ini kita mau ke ruang meeting. Biasalah anak baru selesai training, harus dibriefing dulu kali."
Netra Feni melebar, baru saja sampai ruangan. Dia harus bersiap kembali menuju ruang meeting. Tanpa menunggu lama lagi, Feni langsung memasukkan nomer identitas karyawan yang sudah ia dapatkan setelah masa training berakhir.
"Mau ngapain lagi sih kita, La. Bukannya pas training udah banyak banget tuh yang disampaikan para petinggi perusahaan ini."
"Mana aku tahu. Beda lagi mungkin. Sekarang kan kita sudah ada di divisi, jadi ada informasi tambahan lagi tentang pekerjaan kita."
Shaula atau kerap disapa Ola merupakan teman seangkatan Feni sejak masa training. Hingga kini mereka selalu bersama dan ditempatkan pada divisi yang sama. Mereka sering bercerita dan berkeluh kesah tentang dunia baru yang sedang mereka geluti saat ini.
Ola memiliki karakter yang bertolak belakang dengan Feni. Dia lebih detail, terorganisir dan realistis. Berbeda dengan Feni yang lebih cuek, sembrono dan serba dadakan. Padahal dia harus bekerja di divisi perencanaan yang menuntut semua terancang dengan baik. Biar bagaimanapun, Feni harus merubah sikap demi keselamatan karirnya di industri periklanan.
Feni, Ola dan kelima karyawan lain yang berada di satu divisi memasuki ruang meeting. Baru buka pintu dan maju satu langkah saja hawa dingin dari pendingin ruangan itu membuat kulit Feni mengkerut.
'kenapa ruangan yang tidak terlalu besar ini, tidak dikecilkan sih pendingin ruangannya? Bikin meriang saja,' gumam Feni sambil melirik kearah benda persegi di dinding atas.
Beberapa menit menunggu sambil menyiapkan peralatan tulisnya, Feni dan Ola tampak saling berbincang sambil sesekali tertawa. Seperti biasa, kedua sahabat yang baru dikenal itu sering kali bertukar cerita lucu yang terjadi pada diri mereka masing-masing.
Ceklek
Seketika suasana hening saat suara pintu ruangan dibuka oleh seseorang dari luar. Dua laki-laki layaknya eksekutif muda masuk ke dalam ruangan sambil menyapa.
"Selamat pagi semuanya."
"Selamat pagi.." jawab seluruh peserta meeting.
Satu dari mereka, hanya Feni yang hanya terdiam dan terpaku memandang sosok salah satu pria yang baru saja masuk. Sosok pria dengan garis wajah yang tegas, sorot mata tajam, postur tubuh tinggi dan atletis berdiri dihadapan para karyawan baru.
Glek
'Hah, lelaki itu. Dia yang ada dimimpiku semalam. Kenapa bisa semua ini menjadi nyata? Siapa dia?' gumam Feni tegang.
**
Like it ? Add to library!
I tagged this book, come and support me with a thumbs up!
Have some idea about my story? Comment it and let me know.