webnovel

Bertemu Dengan Bunda

Yita dan Ina berjalan menuju ruang tunggu untuk bertemu dengan bunda mereka. Tidak sabar rasanya, terlebih gadis kecil itu. Beruntung sekali ada Bagas yang kebetulan berjumpa dengan mereka. Mungkin sudah menjadi takdir Tuhan, sehingga akhirnya jalan menuju lokasi ini tersampaikan juga.

Tak lama, Anindya keluar. Ada satu orang petugas yang menemani mereka di ruangan itu. Ketika melihat sang ibu, Ina pun melonjak dan langsung menghambur ke dalam dekapan bundanya.

"Ina kangen Bunda." Gadis kecil itu sudah terisak saja. Rasa rindu memang sudah tersalurkan dengan sempurna. Namun, mereka masih saja terhalang oleh jarak dan keadaan.

"Bunda juga sangat merindukan kamu, Ina, Yita. Sini." Anindya menarik kepala Yita yang berdiri mencoba tegar, meski sebenarnya ia tak mampu. Air mata itu tumpah ruah jua.

"Kalian baik-baik saja 'kan?" tanya Anindya yakin dengan hal yang dipertanyakan barusan.

"Iya, Bunda." Yita yang menjawab. Ia tak ingin memberitahukan kalau tadi Ina sempat demam. Tidak ingin membuat pikiran sang Bunda menjadi kacau karena memikirkan mereka.

"Bersabarlah, ya, anak-anak Bunda. Semoga ini tidak akan lama. Berdoalah agar ini bisa segera berlalu dan berjanjilah kepada Bunda kalau kalian akan sekolah dengan benar. Jadilah orang-orang yang sukses."

Mereka sudah duduk di kursi yang tersedia. Anindya merangkul kedua anaknya yang duduk di sisi kanan dan kiri. Wanita itu tidak ingin menangis sebetulnya, tetapi tak bisa. Sebagai seorang ibu, hatinya pun hancur harus mengalami hal seperti ini.

"Bunda, bagaimana kalau Yita mengatakan yang sebenarnya saja," bisik Yita di sela isak dan tangis.

Anindya segera menggeleng. "Jangan gila kamu, Yita. Sudah biarkan semua berjalan seperti ini. Bunda ingin melihat kalian sukses menggapai masa depan yang gemilang. Agar kelak, kalian bisa mengeluarkan Bunda dari sini."

Sungguh, Yita tidak ingin pula keadaannya menjadi seperti sekarang. Seharusnya dirinyalah yang berada di balik jeruji besi itu. Namun, jiwa pengecut di dalam dirinya meronta ketika melihat darah yang menyembur dari tubuh tiga lelaki yang ditusuknya hingga tumbang. Percikan darah beberapa juga mengenai wajah dan pakaiannya.

Apabila diingat kejadian malam itu, sungguh Yita ngeri sekali dengan apa yang telah dilakukannya. Namun, jika tiga orang tersebut tak dibunuhnya, bisa-bisa sang ibu yang perlahan akan mati karena ketakutan dibentak terus-menerus.

"Semoga saja kita akan segera berkumpul lagi." Anindya mengeratkan rangkulan kepada dua buah hatinya. Lalu menciumi puncak kepala mereka satu per satu.

"Rumah kita bagaimana, Yita?" Pertanyaan ini membuat Yita tersentak. Ia sempat melamun beberapa saat ketika Anin sibuk mendiamkan Ina yang terus merengek memintanya pulang. Hati sulung dua bersaudara itu sangat teriris mendengar rintihan adiknya. Ia tak bisa menggantikan sang bunda di dalam hati Ina. Bagi gadis kecil itu, terlalu berat melewati hari tanpa kehadiran sang ibu yang selalu mampu menjadi sandaran bagi mereka berdua.

"Rumah masih disegel, Bunda. Yita dan Ina saat ini masih ditampung oleh Bu Neni. Kami tinggal di sana untuk sementara waktu."

"Syukurlah. Ada Bu Neni yang sangat baik kepada keluarga kita. Gunakanlah uang yang ada di dalam ATM Bunda, Yit. Rasanya nominal itu cukup untuk kebutuhan kalian selama beberapa waktu." Mata Anindya berair kembali. "Bagaimana bisa Bunda meminta kalian menjadi orang yang sukses, sementara Bunda tidak ada di sisi mencari uang untuk keperluan hidup kalian."

"Bunda, jangan pikirkan soal itu. Yita yang akan mencari kerja dan mencukupkan kebutuhan kami. Ina harus terus bersekolah hingga lulus kuliah." Gadis itu kembali memeluk ibunya. Serahkan saja semua beban itu ke pundaknya kini, jika Bunda tetap ingin menggantikan posisinya sebagai pembunuh.

"Bunda tidak tega, tetapi apa yang bisa dilakukan, Sayang."

Yita menggeleng. "Jangan pikirkan apa-apa lagi, Bunda. Yang jelas, Bunda di sini harus terus menjaga kesehatan. Biar kita bisa segera berkumpul kembali." Kalimat ini diucapkan hanya untuk menghibur hati mereka masing-masing.

"Ina mau Bunda segera pulang." Tak henti-henti air mata itu berduyun-duyun turun dari sepasang mata kecil yang bulat.

"Iya, Sayang. Bunda hanya akan di sini untuk sementara waktu. Ina harus patuh sama Kakak, ya. Selama Bunda berada di dalam sini, kalian harus tetap akur. Saling menjaga satu dengan yang lain." Anindya mengusap wajah kecil Ina sambil menciuminya tanpa henti. Rindu ini terlalu menyiksa bagi si Ibu. Terpisah dari kedua buah hatinya sungguhlah sangat menyakitkan sekali baginya. Tetapi apa boleh buat, semuanya harus dijalani dengan ikhlas.

Lima belas menit waktu yang disediakan rasanya tidaklah cukup untuk saling melepas rindu, tetapi apa boleh buat, Yita dan Ina harus pulang karena waktu berkunjung sudah habis.

"Ina akan sering-sering ke sini lihat Bunda," isak si Bungsu dalam rangkulan kakaknya saat melihat Anindya kembali dibawa pergi keluar dari ruangan yang mereka tempati untuk saling melepas rindu.

***

Ketika melewati parkiran, Yita yang berencana akan pulang dengan angkutan umum dikejutkan oleh klakson kendaraan yang tadi membawa mereka ke tempat ini untuk bertemu dengan Anindya.

"Yita, ayo sini, Kak Bagas antarkan kamu pulang lagi." Suara Bagas terdengar setelah Yita menoleh ke arah mobil itu. Namun, Yita menggeleng. Ia tak ingin membuat Anila yang melotot kepadanya saat ini, semakin terganggu karena kehadiran mereka.

"Kak, kenapa adiknya Kak Bagas terlihat marah kepada kita?" tanya Ina sembari mendongak dan memegang tangan Yita kian erat. Ia sangat takut melihat mata Nila yang melotot seolah bola mata itu hendak keluar saja dari cangkangnya.

"Saya dan Ina ada urusan lain dulu, Kak." Yita belum menanggapi pertanyaan adiknya. Ia perlu merespon ajakan Bagas terlebih dahulu sebagai ungkapan rasa terima kasihnya dan bentuk dari sikap menghormati.

Tak disangka, Bagas malah turun dari mobil dan mendekati mereka. Yita melihat Nila semakin kesal menatap dirinya.

"Mau ke mana? Sini Kak Bagas antar." Si Polisi tampan terus saja menawarkan. Entah kenapa ia menjadi sangat baik, padahal tahu bahwa kehidupan Yita tidaklah sebaik yang dikira.

"Tidak usah, Kak. Saya tidak enak dengan Nila. Kasihan, dia pasti ingin segera sampai di rumah." Sebelah tangan Yita mengusap kepala Ina yang tak berkata sepatah pun.

"Kamu yakin bisa pergi sendiri?" Bagas sempat menoleh ke belakang dan melihat Nila cemberut sembari melipat tangan di dada. Lalu tak lama kaca mobil pun dinaikkannya.

"Iya, Kak. Saya dan Ina juga mau ke suatu tempat terlebih dahulu." Yita hanya beralasan saja, membuat Ina menjadi bingung dan penasaran.

"Ke mana, Kak?" Dengan polosnya gadis kecil itu bertanya. Ia kembali mendongakkan kepala untuk melihat wajah sang kakak.

***Next>>>

Chương tiếp theo