webnovel

Crazy Love?

-- Bertemu orang yang tepat pada waktu yang tepat adalah sejenis takdir -- *** Kehidupan yang kelam, masa lalu yang ingin dilupakan, dan masalah kehidupan lainnya membuat remaja ini terus berusaha untuk menyelesaikan masalahnya. Kekuatan yang mereka butuhkan adalah uluran tangan dari orang lain disekitar. Tidak hanya orang dewasa yang mempunyai ribuan masalah, tetapi remaja ini juga mempunyai masalah di kehidupannya. Mulai dari masalah keluarga, pacar, ataupun persahabatan. Rena, gadis yang selalu baik pada semua orang, dan tanpa sengaja membuat banyak cowok yang mulai menyukainya. Rena mempunya sahabat bernama Rean, cowok itu selalu melindungi Rena dari semua cowok yang mendekat. Terutama Ryu, Ketua Osis. Cerita ini tidak hanya menceritakan masalah yang dihadapi oleh Rena. Berbagai kisah berada di dalam cerita ini. Apakah Rena dapat memilih salah satu? Atau, Rena tidak memilih sama sekali? Apakah masalah lainnya dapat diselesaikan? Apakah mereka bisa membuat hidup mereka menjadi penuh warna? Ikuti terus cerita ini ^^

Errenchan · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
289 Chs

Beneran atau pura-pura si?

Mobil sport putih terhenti di depan pintu pagar tinggi yang terbuka itu, cowok itu keluar mobil dengan perasaan panik. Ia teringat pada ucapan Marlyn kalau pintunya selalu di gembok oleh Rena, tapi kenapa pintu itu terbuka? Atau jangan-jangan ada maling di rumah ini?! Pikir cowok itu yang langsung masuk dengan khawatir..

Ia masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan salam atau permisi karena saking khawatirnya. "Reenn, lo di manaaa?!" teriak Riel yang sedikit berteriak untuk berjaga-jaga kalau ada orang asing yang masuk ke rumah ini.

"KAMU SIAPA?! NGAPAIN MASUK KE RUMAH INI TANPA PERMISI? MAU MALING?!" teriak wanita paruh baya itu dari dapur dengan menggenggam spatula

"Ibu sendiri siapa? Kenapa masuk ke rumah orang?!" tanya Riel balik dengan mundur selangkah.

Rena yang terlelap di sofa tiba-tiba terbangun karena suara gaduh. Ia menerjapkan matanya beberapa kali dan mengubah posisinya menjadi duduk dengan perlahan.

Ia menoleh dan bingung ketika melihat Riel yang ada di sini.

"Riel? Ngapain ke sini?" tanya Rena yang membuat Riel sedikit terkejut karena suara yang muncul tiba-tiba. Riel seketika menoleh menatap Rena yang pucat itu, namun ia sedikit lega karena Rena baik-baik saja.

"Ma, tenang aja. Dia asisten bunda di kantor, bukan orang jahat kok," ujar Rena pada Anne yang masih menatapnya tajam dengan mengangkat spatula itu. Tangan Anne langsung turun dan bernapas lega.

"Oh, syukurlah, mama kira maling."

"Licin bener mulutnya," gumam Riel menatap Anne yang berjalan kembali ke dapur.

"Lo kenapa ke sini?" tanya Rena beralih menatap Riel. Riel hanya tersenyum dan berjalan mendekati cewek itu. Ia duduk di hadapannya dengan tangan memegang kening Rena.

"Lo demam ternyata, mau ke dokter? Nyokap lo nyuruh gue buat anter ke dokter kalau lo sakit."

Rena menggeleng pelan. "Udah lebih baik kok, nggak usah khawatir," ucap Rena tersenyum tipis.

"Ponsel lo kenapa nggak aktif? Bunda lo khawatir banget di sana, Ren."

"Kalau khawatir kenapa enggak pulang? Kenapa malah nyuruh lo yang ke sini? Bunda khawatir beneran nggak si sama gue? Atau cuma pura-pura aja?" tanya Rena yang berusaha berbicara dengan nada tenang.

Rena sendiri merasa kalau bundanya ini terlalu sibuk mengurus dokumen-dokumen itu ketimbang anaknya yang masih sakit.

Dan

Dia lebih kecewa ketika melihat kedatangan Riel yang ternyata di suruh bundanya.

"Ren, nggak gitu. Bunda lo bener-bener khawatir sama lo, dia pengen pulang, tapi kondisi enggak memungkinkan, Ren. Bunda lo itu--"

"Mending sekarang lo balik ke kantor aja, gue baik-baik aja. Lupakan ucapan gue yang barusan, emosi gue lagi nggak stabil. Maaf." Rena bangkit dari duduknya dan berjalan cepat menaiki anak tangga menuju kamarnya.

Rean tak bisa berbuat apa-apa, ia tak mau merusak suasananya hatinya lagi dan memutuskan untuk tetap memperhatikan.

"Loh, Rena mana?"

"Maaf, saya bikin Rena--" Ucapannya terhenti saat melihat wanita paruh baya itu tersenyum.

"Bukan salah kamu. Rena memang seperti itu. Biarkan dia untuk menenangkan hatinya. Ini bukan pertama kalinya, dulu juga pernah seperti ini. Nanti juga kembali seperti biasanya. Kamu kembali saja ke kantor. Oh, iya. Bundanya akan pulang sore ini?" tanya Anne memastikan.

Riel mengangguk ragu. "Kemungkinan akan pulang, tapi tidak tau juga. Karena pekerjaan kita banyak, apa lagi Ibu Marlyn harus mempertahankan perusahaan itu," jawab Riel jujur.

"Perusahaan sedang tidak berjalan baik akhir-akhir ini, Bu Marlyn lah yang berjuang di kantor. Kemarin saya tanya pada beliau, kenapa tidak pulang saja. Dan beliau hanya menjawab, ia tak ingin anaknya tau kalau perusahaan sedang drop. Itu saja," ucap Riel menatap pintu kamar Rena yang tertutup rapat.

"Marlyn tak pernah berubah. Dia sama Rena itu sama, sama-sama berjuang tanpa lelah. Saya akan membujuk Rena, jangan khawatir."

Riel tersenyum. "Kalau begitu, saya pamit dulu. Tolong sampaikan maaf ke Rena."

Anne menganguk dan menatap kepergian Riel. Anne merasakan kesedihan yang Rena rasakan saat ini, sebenarnya tadi ia mendengarkan semua percakapan mereka, dan setelah tau apa yang terjadi dengan Marlyn, Anne bingung.

Di satu sisi ia ingin menelpon Marlyn dan memaksanya untuk pulang, tapi satu sisi, ia tak ingin kalau perusahaan yang Marlyn dirikan bertahun-tahun itu harus gulung tikar.

Anne bangkit dari duduknya, ia berjalan menaiki anak tangga sampai ke kamar Rena yang terkunci. Anne mendengar suara isakan Rena dari luar, ia yakin kalau gadis itu sudah merasakan kekecewaan yang membuat hatinya terasa sesak.

"Rena, kamu kenapa, Nak. Ayo, cerita sama mama."

Tak ada jawaban apapun dari Rena, dan Anne dengar hanyalah suara isakan yang semakin terdengar jelas. Wanita paruh baya itu memejamkan matanya sekilas sambil menghela napas panjang.

Ia ingin masuk ke dalam kamar Rena dan memeluknya. Hanya pelukan hangat yang bisa menenangkan dirinya, juga ucapan dukungan yang bisa membuat hatinya terasa nyaman.

"Ren, mama pulang dulu ya. Kalau kamu mau sesuatu, kamu telpon mama, atau kamu langsung dateng ke rumah mama. Oke?"

Anne menunggu jawabannya sampai beberapa menit, dan ia kembali berjalan menuruni anak tangga. Ia akan membiarkan gadis itu untuk menenangkan dirinya sendiri terlebih dahulu.

***

Bel istirahat berbunyi sangat nyaring, dan membuat raut wajah yang awalnya tampak bosan, kembali senang. Semua murid menutup bukunya dengan kompak, dan menyimpannya di laci. Beberapa dari mereka ada yang langsung masuk ke dalam tas.

"Baik, ibu akhiri. Sampai ketemu di pelajaran selanjutnya." Guru itu merapikan bukunya, dan berjalan keluar kelas. Semua murid langsung berhamburan keluar kelas, ada yang langsung ke kantin, ada yang ke toilet, atau ke perpustakaan

Rean di kelas masih memainkan ponselnya, sedangkan Josen yang tak sengaja melihat Yunbi hanya menyernit bingung. Biasanya cewek itu yang pertama kali keluar kelas dan langsung ke kantin, tapi kenapa ia malah menelungkupkan wajahnya di meja?

"Yun, lo sakit?" tanya Josen sedikit berteriak agar cewek itu mendengarnya.

"Enggak."

"Nggak ke kantin?"

"Enggak."

"Oh, karena nggak ada Rena?" tanya lagi.

"Bukan."

"Ya, terus kenapa? Ya udah, ayo ke kantin bareng gue sama Rean," ajaknya.

"Enggak mau, kalo ketemu Victor gimana?"

"Yakin nggak mau? Nggak laper apa lo?" tanya Josen yang hanya di jawab dengan desisan Yunbi.

"Bawel bener lo, udah, deh, kalau lo mau ke kantin, ya udah sono. Gue ngantuk," alibi Yunbi agar Josen tidak terlalu bertanya.

"Okeh," ucap Josen yang kembali menghampiri Rean.

Rean pun langsung berjalan keluar beriringan dengan Josen. Cowok itu tampak tak peduli, beda dengan Josen yang sedikit khawatir kalau dia sakit.

"Rena demam," ucap Rean yang membuat langkah Josen terhenti seketika. Sedangkan cowok itu yang memasukan ponsel ke saku celananya langsung tersadar kalau Josen tidak di sampingnya.

*** Maaf kalau ada typo ya :( ***