webnovel

Cerita

Bab 32: Aksa Akhirnya Jinak

Embusan napas berat Naraya pagi ini sedikit menarik perhatian orang tuanya. Mereka sedang sarapan sedikit terganggu dengan panggilan yang berasal dari Rizky. Setahu dia, seharusnya rekan kerjanya itu ada di rumah Aksa hari ini.

Mereka hari ini akan melangsungkan syuting di rumah Aksa. Walaupun Naraya belum mendapat persetujuan langsung dari Aksa.

Panggilan Rizky itu membuatnya hampir mengumpat. Untung saja ada orang tuanya bersama dengannya sekarang sehingga dia tidak berkata kasar sepagi ini.

"Kenapa, Naraya?"

Naraya minum segelas air putih yang ada di dekatnya sampai tandas. Masih pagi tapi darahnya mulai mendidih. Semua ini gara-gara Aksa yang banyak tingkah.

"Aku harus pergi sekarang. Ada hal mendesak," ucap Naraya langsung bangkit dari duduknya dan mulai menyalami ibu dan ayahnya secara bergantian.

"Kok buru-buru, sih? Itu sarapan kamu belum disentuh. Ayah juga masih makan, Naraya," ujar sang ibu.

Naraya menggeleng. Tangannya menyambar selembar roti yang ada di piring. Mungkin itu bisa mengganjal perutnya sebagai pengganti sarapan yang harus dia lewatkan.

"Ayah nggak usah anterin Naraya. Aku liat angkot di depan aja. Dekat kok lokasinya," kata Naraya lagi dan langsung pergi tanpa mempedulikan panggilan-panggilan orang tuanya lagi.

Kekacauan yang Aksa buat harus segera dibereskan Naraya. Hari ini jadwalnya padat. Seharusnya pagi ini dia masih memantau jalannya acara musik di studio. Tapi, karena Aksa ngeyel dan tidak mau syuting, jadinya dia harus bertemu lebih dulu dengan laki-laki itu. Mungkin bisa diberi pelajaran sedikit.

Naraya memilih naik bus karena itu kendaraan yang bisa membuatnya sedikit nyaman. Aneh, kan? Orang lain akan merasa lebih nyaman jika naik taksi atau ojek karena tidak perlu berdesakan dengan penumpang lain. Tapi, beda lagi dengan Naraya.

Kendaraan umum lebih baik karena di sana dia masih bisa menemui keberadaan wanita lain, sehingga dia tidak terlalu fokus pada keberadaan laki-laki saja. Walaupun harus berdesakan, setidaknya dia berdesakkan dengan sesama wanita.

Jarak rumahnya dengan apartemen Aksa untungnya tidak terlalu jauh. Dalam waktu kurang dari 10 menit saja dia sudah sampai di depan apartemen laki-laki tersebut.

Naraya memandang miris dua orang yang berjongkok di depan pintu apartemen Aksa. Sepertinya Aksa benar-benar mengusir mereka.

Melihat kedatangan Naraya, Bang Arnan dan Rizky langsung berdiri. Ekspresi keduanya sama. Sama-sama memohon.

Lagi-lagi Naraya harus menghela napas kasar. Apakah dia harus berargumen dengan Aksa di pagi yang diharapkan Naraya akan indah ini?

"Bang Arnan nggak bisa bujuk dia? Atau ancam aja sekalian," ujar Naraya dengan nada kesalnya.

Bang Arnan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia pikir Aksan akan manut saat diancam tadi. Tapi, nyatanya Aksa malah semakin murka dan berakhir dengan pengusiran dua orang itu dari apartemennya.

"Dia marah banget, Nar. Dia katanya mau ketemu lo doang."

Naraya kembali memejamkan matanya. Masih pagi tapi kepalanya sudah berat memikirkan segala tingkah laku Aksa yang sangat kekanak-kanakan menurutnya.

"Itu anak maunya apa, sih? Nggak bisa banget buat gue seneng sehari doang," gerutu Naraya sembari mengambil ponselnya dari saku celana dan mulai menghubungi laki-laki yang ada di dalam apartemen itu.

"Keluar sekarang," ketus Naraya kepada Aksa saat panggilan mereka tersambung.

"Lo yang masuk."

Naraya memutar bola mata malas. Kalau dia bisa masuk, tidak perlu lagi harus menelpon Aksa lebih dulu.

"Buka pintunya, bego!" geram Naraya dan langsung mematikan panggilannya.

Bang Arnan dan Rizky yang melihat ekspresi Naraya berubah ingin sekali kabur dari tempat ini. Mereka sama-sama tidak ingin menjadi sasaran pertengkaran dua orang itu lagi.

Namun, Bang Arnan tidak bisa melakukan hal itu. Dia sudah mendapat pesan dari Mas Tirta untuk tidak membiarkan Naraya sendirian bersama Aksa.

Beberapa menit kemudian, pintu apartemen Aksa dibuka. Laki-laki itu hanya melongokan kepalanya tanpa berniat untuk membuka lebar pintu tersebut.

"Masuk," pinta Aksa.

Naraya pun langsung melangkah masuk. Tetapi, kakinya berhenti karena melihat Bang Arnan dan Rizky yang malah diam saja di tempat. "Nggak masuk juga?"

"Mereka nggak boleh masuk," teriak Aksa dari dalam.

Bang Arnan tersenyum kaku. Dia memilih jalan aman saja. Menuruti perkataan Aksa adalah caranya. Mungkin dengan Naraya yang melakukan negosiasi bersama Aksa, laki-laki itu akan sedikit lunak dan bersedia untuk syuting.

Naraya menarik napas dalam sebelum kembali melangkah. Berdua bersama Aksa di ruangan privat seperti ini sebenarnya tidak ingin dilakukan Naraya lagi. Tetapi, dia tidak ingin kelakuan Aksa ini membuat pekerjaannya jadi tidak selesai.

Terlihat Aksa duduk di sofa ruang tamunya. Sementara Naraya memilih berdiri sedikit jauh dari posisi Aksa. Dia berdiri sambil bersandar di dinding dekat rak sepatu.

"Lo mau berdiri di situ?" tanya Aksa basa-basi.

Sebenarnya dia tahu kenapa Naraya tidak ingin berdekatan dengannya. Melihat sikap Naraya itu dan mengingat kembali peringatan Mas Tirta bukan membuatnya sedikit menjaga jarak, malah dia lebih ingin tahu reaksi perempuan itu jika berdua saja dengannya.

"Lo mau sampai kapan kayak gini? Jangan nyusahin gue terus dong," ucap Naraya.

"Gue nggak nyusahin lo. Ya, lo sendiri kan yang nggak mau terima syarat gue kemarin," balas Aksa santai.

"Urusan pribadi gue nggak ada hubungannya sama syuting ini, Aksa. Lo bisa nggak, sih, profesional jadi orang?"

Oke. Naraya sepertinya kembali kesal. Berhadapan dengan Aksa memang gampang menyulut emosinya.

"Syarat gue nggak susah, lho. Lo duduk di sini dan cerita pun nggak sampe 10 menit. Susahan mana? Cerita atau negosiasi terus-terusan sama gue?"

Naraya kembali mengembuskan napas beratnya. Apa dia harus menuruti saja permintaan konyol laki-laki itu? Tapi, Aksa ini orang asing.

"Untungnya buat lo apa, sih, kepo banget sama kehidupan gue? Kita bukan teman, lho. Hanya sebatas rekan kerja saja."

"Lo cerita biar kita jadi teman. Siapa tahu gue bakal jadi teman cerita lo … mungkin."

Astaga. Ada apa dengan Aksa saat ini? Kenapa dia jadi sok akrab seperti ini ke Naraya? Padahal Naraya kan tidak ada niatan menjadi lebih dekat bahkan untuk sekadar temannya.

Namun, Naraya harus berpikir kritis saat ini. Aksa ini orangnya keras kepala--walaupun dirinya baru beberapa kali bertemu. Orang seperti Aksa ini akan sulit untuk dijinakkan. Bahkan, ancaman saja rasanya tidak akan mempan untuknya. Dan menurut akal sehat Naraya, menuruti permintaan laki-laki itu mungkin saja bisa membuat Aksa sedikit jadi penurut. Setidaknya untuk pekerjaan mereka kali ini.

Naraya kembali menarik napas dalam. Mungkin memang seharusnya dia berbagi cerita kelam hidupnya ini dengan laki-laki lain selain Mas Tirta dan Dokter Hendra.

Naraya akhirnya mengalah. Dia mendudukkan tubuhnya di lantai tempatnya berdiri sejak tadi. Walaupun dia ingin sedikit lunak dengan laki-laki itu, bukan berarti dia harus berdekatan dengannya. Untuk yang satu itu Naraya belum mampu.

"Gue cerita dan lo jangan bertingkah lagi setelah ini."

Perkataan Naraya itu disambut dengan senyum senang oleh Aksa. Akhirnya dia bisa menuntaskan rasa penasarannya terhadap trauma gadis tersebut.

Karena ingin lebih serius mendengarkan cerita Naraya, Aksa memilih bangkit dan duduk di dekat Naraya.

"Ngapain lo duduk situ?" tanya Naraya tepat Aksa mengambil posisi duduk bersila di depannya.

"Biar serius aja dengerin cerita lo."

Naraya mendelik tajam. Dia sudah berbaik hati untuk bercerita ke Aksa. Tidak perlulah duduk dekat-dekatan seperti ini. Naraya belum siap.

"Nggak ada. Jauh-jauh sana," tolak Naraya sembari mengibaskan tangan nya sebagai tanda pengusiran kepada Aksa.

Aksa mencebikkan bibirnya tapi tetap menurut. Daripada Naraya berubah pikiran karena ketidakpatuhannya.

"Sekitar 2 tahun yang lalu gue hampir nikah."

Satu kalimat pembuka yang sukses membuat Naraya menahan napasnya sedetik. Rasanya kata-kata selanjutnya tercekat di leher saking sulitnya dia kembali membuka cerita lamanya itu.

"Laki-laki yang udah berniat serius ke gue ternyata brengsek dan buat gue harus bolak-balik masuk ruang psikiater gara-gara nggak terima dengan perlakuan laki-laki itu. Karena dia, gue jadi sulit bahkan takut buat kenal atau dekat sama laki-laki asing lagi," lanjut Naraya.

Cerita itu pun kembali mengalir walau beberapa kali Naraya tersendat dengan suaranya sendiri. Kembali membuka cerita lamanya adalah pekerjaan terberat yang dia lakukan. Sulit. Tapi, hal itu dirasa perlu.

Kata dokter Hendra pun begitu. Cerita tentang masa kelam sebenarnya ada sisi baiknya. Kita akan diajarkan untuk menerima cerita tersebut dengan seringnya kita cerita. Menganggap bahwa hal itu sama seperti cerita yang lainnya. Dengan kata lain, kita akan terbiasa dengan cerita kelam tersebut.

Dari sekian banyak cerita yang sudah Naraya bagikan ke Aksa, sisa satu hal besar yang sama sekali tidak ingin Naraya cerita. Dia merasa, hal itu tidak baik untuk dibicarakan dengan orang yang tidak mengenal siapa lelaki yang sedang dibicarakan Naraya.

Akan tetapi, Aksa memang pada dasarnya orang yang kepo-an. Dia seperti tahu pertanyaan mana yang sebenarnya sangat penting untuk dia lontarkan.

"Emangnya kenapa kalian bisa batal nikah?"

Pertanyaan itu. Pertanyaan krusial yang jawabannya tidak ingin diceritakan kepada orang lain. Sudah cukup Mas Tirta saja yang tahu akan hal tersebut.

Naraya mengembuskan napas berat. Menurutnya sudah cukup cerita kelam hidupnya untuk dibagikan kepada Naraya. Laki-laki itu seharusnya sudah tidak penasaran lagi.

"Ceritanya end. Udah. Gue udah cerita banyak ke lo soal kehidupan gue yang sebenarnya nggak penting buat lo tahu. Dari cerita ini gue harap lo bisa merubah sikap lo di hadapan gue. Oke?"

"Pertanyaan terakhir gue belum dijawab, Na," bujuk Aksa.

Naraya menggeleng dan langsung berdiri. "Udah cukup cerita versi orang asing kayak lo. Sekarang gue bakal nagih janji lo. Ini script syuting hari ini. Nyaman aja seperti biasa. Jangan nyusahin Bang Arnan apalagi rekan gue, si Rizky," ujar Naraya sembari memberikan copyan naskah syuting yang kebetulan sudah dia bawa.

Aksa tidak bisa lagi membantah. Naraya sudah melakukan permintaannya, jadi sekarang memang sudah seharusnya dia menjalankan kewajibannya sebagai tebusan dari cerita Naraya tadi.

Untuk pertanyaan terakhir, mungkin akan Aksa tanyakan lagi. Di waktu yang tepat tentunya.