webnovel

Calon Imamku (Tamat)

Faezya Farzan, seorang mahasiswi jurusan PGMI, dia sering sekali bermimpi bertemu dengan seorang pria berjubah putih berparas rupawan dengan senyu manis, pria itu selalu mengatakan bahwa dia adalah calon istrinya. Faeyza jatuh cinta dengan seorang pria dama mimpi tersebut, berusaha mencari dan terus mencari hingga hatinya tak mampu terbuka untuk pria lain, tak perduli bahwa dirinya akan dianggap gila. Dia hanya ingin bertemu dengan bersama pria tersebut. "Aku hanya inginkan dirimu, calon imamku."

Firanda_Firdaus · Lịch sử
Không đủ số lượng người đọc
88 Chs

Episode 86

Setelah sholat subuh, Zein tidak segera keluar dari masjid. Pria itu duduk bersandar pada tiang sebelah tangan mencengkram dada kirinya, nyeri dan sesak kembali terasa.

Semakin hari, kondisi jantungnya semakin serius tak jarang ia hampir pingsan karena tak sanggup menahan sakit.

Sementara itu, Faeyza duduk gelisah di tempat tidur. Sudah hampir 15 menit tapi sang Suami juga belum kembali, ia penasaran dan memutuskan menyusul sang Suami ke masjid.

Langkah kaki Faeyza terhenti ketika tak sengaja melihat sang Suami duduk bersandar pada tiang sambil memegangi dada, wajah pria itu nampak pucat dan seperti menahan sakit

Faeyza semakin mempercepat langkah kakinya dan menghampiri pria tersebut.

" Maz, Maz kenapa?" Faeyza menatap sang Suami khawatir. Ia mendudukkan diri di samping pria tersebut.

Zein menoleh pada sang Istri, ia memaksakan diri untuk tersenyum di sela rasa sakit yang dirasakan."Dada Maz sakit, Sayang." Pria itu meringis menahan nyeri semakin menghujam jantung.

Faeyza panik, ia tidak tahu harus berbuat apa. Dia bukan dokter dan tidak tahu apapun tentang medis.

"Maz, kita harus ke rumah sakit. Di sini dingin, Maz masuk ke dalam saja."

Zein mengangguk, ia mencoba untuk bangun dari duduknya, tapi rasa mual tiba-tiba menyerang. Dia segera berlari ke toilet dan memuntahkan semua isi perut.

Faeyza mengejar sang Suami, betapa terkejut dirinya saat melihat Zein memuntahkan darah sangat banyak. Pria itu bahkan masih terlihat kesakitan.

"Maz, kok bisa muntah darah?"

Zein menoleh ke samping."Tidak tahu."

Faeyza meraih tangan pria itu dan membantunya berdiri tegak."Maz, ayo kita ke rumah sakit. Mas harus sembuh, aku tidak mau jadi janda, Maz."

Zein membalikkan tubuh menatap sang Istri mendengar wanita itu tidak ingin menjadi janda, di saat dirinya menahan sakit seperti ini wanita itu seakan membuat lelucon hingga membuatnya ingin tertawa.

"Iza tidak akan menjadi janda, Maz akan baik-baik saja. Kita akan selamanya hidup bahagia, jangan bicara seperti itu. Maz hanya butuh istirahat saja."

"Iyakah?" Tanya Faeyza tidak percaya.

Zein tersenyum tipis, ia meraih pinggang sang Istri lalu memeluknya erat."Sekarang Istriku sudah pandai meragukan Suaminya."

"Bukan begitu, Maz. Aku hanya ingin Maz baik-baik saja. Maz sedang sakit, wajahnya pucat seperti itu, masih bilang tidak sakit. Hanya orang buta yang akan percaya," bantah Faeyza sambil memeluk tubuh sang Suami.

"Baiklah, Maz ikuti kamu. Kita ke rumah sakit, Maz tahu kalau kamu sangat khawatir." Zein kembali memejamkan matanya menahan rasa nyeri di jantungnya.

Faeyza mengangguk, perlahan ia melepaskan pelukannya pada sang Suami kemudian membantu pria itu berjalan.

Rumah sakit...

Setelah Zein mendapatkan pertolongan dan di bawa ke ruang rawat, sedikit pun Faeyza tidak mau melepaskan tangan sang Suami. Wanita itu takut kalau nanti tidak akan bisa menggenggam tangan itu lagi.

Iris kecoklatan itu terus menatap paras rupawan sang Suami, sosok pria yang telah menikahinya dua bulan lalu.

"Maz, aku sengaja tidak memberi tahu keluarga. Aku tidak ingin ada orang banyak tanya, aku ingin saat kau bangun, orang yang pertama kau lihat adalah aku."

Tak lama kemudian, iris safir mulai menunjukkan sinarnya. Bibir seksi itu tersenyum lemah, jemari lentik itu membalas genggaman tangan sang Istri.

"Maz beruntung memiliki Istri seperti mu, terimakasih, Sayang."

Faeyza tersenyum sedih, tak sanggup menahan emosi dalam hati. Wanita itu memeluk tubuh ringkih sang Suami, menyandarkan kepala di dada pria tersebut.

"Maz, aku ingin Maz sembuh. Aku tidak ingin jadi janda, aku takut sendirian," katanya lirih.

Zein membalas pelukan sang Istri, membelai lembut punggung wanita itu."Maz akan berusaha, Sayang. Maz juga ingin sembuh, Maz juga tidak ingin terus merasakan sakit seperti itu."

Faeyza mengangguk dalam dekapan pria itu, setelah merasa cukup tenang, ia melepaskan tubuh pria itu.

Faeyza kembali memandang paras rupawan tapi pucat itu dengan ragu."Maz, hari ini aku ada tugas kelompok. Tapi harus iuran untuk mencetak makalahnya."

Zein mengangguk, ia yakin kalau Istrinya tidak mau menarik uang dari kartu kredit yang dia berikan.

"Kamu butuh uang cash?"

Faeyza mengangguk."Tidak banyak kok, Maz. Hanya dua puluh ribu saja."

Zein mengangguk."Kamu ambil saja uang cash di dompet Maz, kamu boleh ambil secukupnya. Sebenarnya kamu bisa menarik cash dari kartu kredit yang Maz berikan padamu, itu isinya lebih dari cukup."

Faeyza memutar bola matanya malas, ia kembali memegang tangan sang Suami dan menciumi punggung tangannya."Maz, aku kan sudah bilang. Aku tidak bisa menggunakan kartu aneh itu, aku juga tidak tahu caranya," katanya kesal.

Zein tersenyum tipis melihat ekspresi kesal di wajah sang Istri, ia membalas genggaman tangan itu."Iya, baiklah. Mz mengerti, ya sudah jangan marah lagi. Kamu ambil uang dari dompet Maz, pindahkan semua ke dompet mu."

"Ah, malas. Aku ambil secukupnya saja, buat apa juga ambil uang banyak. Nanti bertemu perampok kan susah," tolak Faeyza sambil memutar tubuhnya dan berjalan beberapa langkah mendekati nakas kemudian mengambil dompet sang Suami.

Jemari mungil itu mulai membuka dompet tersebut, iris kecoklatan tersebut tidak melihat adanya uang 20 ribuan atau 50 ribuan. Semuanya 100 ribuan dan kartu -kartu kredit.

"Maz, kenapa tidak ada uang 20 ribuan?"

"Sayang, Maz jarang pakai uang cash. Biasanya Maz juga belinya tidak di warung, jadi Maz tidak pakai uang 20 ribuan," jelas Zein.

"Tapi aku butuh 20 ribu," kata Faeyza menoleh pada sang Suami.

"Sayang, kamu ambil saja uang yang ada," balas Zein sedikit gemas dengan sang Istri. Ketika mayoritas wanita suka menghamburkan uang, tapi Istrinya justru tidak suka.

"Baiklah, nanti kembaliannya aku kasih pada Maz ya?" Tanya Faeyza dengan senyum manis.

"Sayang, tidak perlu kau kembalikan. Semua yang jadi milik Maz itu juga milikmu, kamu bisa menggunakan sepuas mu," balas Zein lembut.

Faeyza mengangguk, ia mengambil selembar uang ratusan ribu lalu ditutup kembali dan ditaruh kembali di atas laci dan berjalan mendekati sang Suami.

"Maz, aku ambil 100 ribu. Aku telpon Rico dulu, dia ketuanya. Bolehkan, Maz?" Tanya Faeyza meminta izin.

"Iya, Sayang," jawab Zein.

Faeyza mengambil ponsel milik sang Suami karena ponsel miliknya tidak ada paket data, setelah itu menghubungi Rico.

"Hallo, Ric."

"Ya Allah, Za. Aku pikir tadi siapa yang telpon, ada apa?" Tanya Rico di sebrang telpon.

"Ini nomer Maz Zein, Ric ini aku iuran bayar cetak makalah. Aku sekarang di rumah sakit, kamu ke sini sekarang ya?" Jelas Faeyza.

"Ok, aku kesana sekarang. Tapi kenapa tidak menggunakan ponselmu sendiri?" Tanya Rico heran.

"Tidak ada paket data," jawab Faeyza tenang.

"Dasar kamu ya! Padahal punya Suami kaya, tapi paket data saja tidak mau. Aku isikan dari sini, setelah itu ganti ya?" Balas Rico sebel.

"Tidak usah, nanti aku isi sendiri. Lagipula aku sudah punya Suami, kamu dan Nita selalu baik padaku. Sudah, kamu kesini saja," tolak Faeyza.

"Ok."