webnovel

Kematianku

Terkadang aku berharap dilahirkan dengan wajah cantik.

Aku cinta diriku. Namun, kita semua tahu, 'kan, menjadi cantik akan membantu hidup jauh lebih mudah. Lebih-lebih lagi kalau memiliki kepribadian yang membuat orang-orang betah untuk terus mengobrol. Sungguh sempurna!

Sayangnya, tidak satu pun dari keduanya yang mendeskripsikan diriku.

Aku benar-benar cinta diriku, hanya sedikit rasa ketidakpuasan. Wajar jika perasaan itu timbul dalam nuraniku. Pretty privilege is real. Jangan mencoba mengubah pikiranku soal ini, ya?. Akan sangat sia-sia karena kalian tidak akan bisa.

Aku tidak jelek. Wajahku adalah tipe wajah yang dapat kalian temui dengan mudah di jalanan. Dengan kata lain, rata-rata ... atau mungkin dibawah rata-rata ....

Tentang kepribadianku .... Um, tidak banyak bersosialisasi.

Ha, ha, ha.

Jadi begini ... tiga bulan yang lalu, aku dipecat.

Bukan karena wajahku yang dibawah rata-rata maupun kepribadianku yang menyendiri, melainkan murni perusahan tempat kerjaku bangkrut. Sebetulnya, pembukaan di atas sama sekali tidak berhubungan dengan aku yang dipecat, cuma basa-basi.

Sebentar, aku tidak berbicara omong kosong.

Jadi, aku merantau ke sebuah pulau di Indonesia yang selalu aku idamkan untuk tinggal di sana sejak kecil, yaitu Bali. Siapa sih yang tidak ingin satu lingkungan dengan orang-orang ramah dan toleran? Di sana juga ada banyak sekali tempat wisata yang super menakjubkan.

Begitu lulus SMA pada delapan tahun yang lalu, aku pindah ke Denpasar. Alasan yang diberikan kepada kedua orang tuaku tentu saja untuk kuliah. Lantaran memang ada niatan untuk tinggal di sana, aku tidak pulang sehabis mendapatkan gelar sarjana.

Aku tahu itu salah, aku tahu aku harus pulang ... setidaknya setahun sekali.

Ganti topik saja.

Aku tinggal di sebuah kos-kosan murah dan kecil di pinggir kota. Sendirian saja. Aku sama sekali tidak mempunyai kerabat yang berdomisili di Bali. Ada teman, tetapi kami tidak tinggal bersama. Yah, hidupku sedikit bagus, sampai aku terkena PHK dua bulan yang lalu.

Itulah mengapa satu bulan setelahnya aku memberesi barang-barang, bersiap-siap pulang ke rumah orangtua.

Kemudian, sebuah insiden terjadi.

Aku tidak pernah menyangka bahwa kecelakaan bis pada Selasa tanggal 13 Mei 2017, seperti yang ada dalam film-film, akan membawaku ke dalam sebuah novel yang aku baca selama menganggur. Aku tidak bercanda.

Jadi, poin yang berusaha aku katakan adalah harapanku akhirnya terkabul. Ketika aku melihat ke cermin, bayangan yang terpantul adalah rambut merah panjang dan mengombak seperti api yang membara megah, alih-alih hitam suram; sepasang mata ungu sebening kristal yang bisa membuat orang tersesat kala menatapnya, alih-alih hitam suram (cokelat tua sebenarnya, tetapi, tolong, jangan rusak rimanya!); bibir tipis semerah daun maple pada pagi hari musim semi, alih-alih hitam suram; tubuh ramping dan feminin yang dapat membangkitkan hasrat laki-laki mana pun untuk melindungi, alih-alih papan triplek (sayangnya aku tidak bisa melanjutkan rimanya mulai dari sini); kulit selembut jubah satin yang memicu orang ingin menyentuhnya setiap hari dan seputih batu marmer, alih-alih kasar dan belang macam tanda penyeberangan jalan.

Singkatnya, sosok itu luar biasa rupawan. Aku tidak bisa menggarap deskripsi yang baik dan akurat. Jikalau bisa, sepertinya seribu kata tidak akan cukup untuk memerikan sosok mulia nan mempesona layaknya dewi dalam kisah mitos. Merupakan sebuah penghinaan untuk menjabarkannya dibawah seribu kata.

Dapat dibayangkan perasaanku saat itu, mengetahui bahwa aku telah berubah menjadi wanita yang kecantikannya tak tertandingi. Bahagia? Tentu saja! Namun, hanya butuh satu detik untuk euforia hati itu semuanya runtuh.

Aku teringat keluarga ....

Walaupun tidak dekat dengan mereka, menginsafi bahwa aku sudah tiada dan tidak akan bisa menemui mereka lagi memunculkan penyesalan dan kesedihan dalam lubuk hati.

Aku tidak tahu mengapa ... bisa-bisanya, diriku selama satu detik merasa sangat beruntung tidak akan bersua dengan mereka selamanya .... Setelah aku pikir-pikir, aku memang anak yang durhakanya tidak main .... Namun ... tidak ... aku tidak. Aku tidak benci keluargaku, hanya ... ingin hidup sendiri. Aku ingin kemerdekaan. Layaknya kupu-kupu yang terbang langgas di bawah langit lembayung merona senja, menyisip di antara indahnya dan wanginya bunga-bunga mawar di kebun.

Aku tidak tahu apakah aku sekarang masih dianggap hidup atau sudah mati. Aku adalah seorang gadis yang tumbuh dalam lingkungan katolik. Meski sudah lama tidak taat dalam beragama, satu atau dua hal aku masih ingat, lah. Dalam Alkitab, aku tahu bahwa sesuatu yang bernama reinkarnasi itu tidak ada. Namun, keadaanku ini, dengan istilah apa aku harus menyebutnya? Aku tidak yakin jika diriku sekarang sedang berada di akhirat karena dunia ini memang bukan dunia akhirat! Dunia ini adalah dunia novel! Novel yang berjudul Romansa dalam Kuil Suci.

Aku tidak ingin berpikir jauh soal ini .... Terlalu rumit untukku yang belum lama ini---tujuh hari---mati. Yang pasti, cerita tentang tiba-tiba seluruh duniaku berputar 180 derajat dan batu sungai yang keras meretakkan tengkorakku selepasnya betul-betul bukan omong kosong. Rasa sakit dan pusing itu nyata. Suara 'krek' sesudah tengkorakku membentur batu sungai juga bukan kesalahan teknis telingaku.

Nahasnya, aku tidak langsung wafat.

Sekitar dua puluh penumpang di bis, tak seorang pun yang hidup sedikit lebih lama daripada aku. Aku dikelilingi oleh mayat orang-orang yang belum lama itu masih berbincang-bincang, masih bermain ponsel--

--masih hidup.

Aku hanya bisa menyaksikan air sungai yang jernih perlahan-lahan menjadi merah. Sungai yang mulanya nyaman untuk dinikmati mata dan membuat pikiran tenang, tanpa ampun berubah penuh trauma dalam sekejap. Bau-bau kematian tak henti-hentinya meneror pikiranku. Tidak ada ketenangan sama sekali. Aku ... sangat takut. Tidak ada kata yang mampu menggambarkan guncangan emosiku pada saat itu.

Setengah badanku terjepit. Aku sungguh-sunguh tidak sanggup membebaskan diri. Tidak ada yang dapat aku lakukan, selain terus memuji nama Tuhan dan berdoa akan datangnya keajaiban dengan memunculkan sekelompok tim SAR pada saat itu juga, menyelematkan diriku yang sedang meregang jiwa. Aku sangat kedinginan. Angin, terutama angin malam, betul-betul tidak ingin bermain sebentar denganku. Dinginnya air sungai mengalir ganas di antara luka-lukaku. Puing-puing bis semakin dalam menusuk kakiku, hingga akhirnya aku benar-benar tidak merasakan rasa sakit lagi.

Akan tetapi, aku sempat menyaksikan langit siang berganti malam selama dua hari, sebelum pemandangan di depan mata berubah total menjadi aula yang sangat besar dan hening. Di bawahku, ada banyak sekali orang, mungkin ratusan atau lebih, sedang ... berlutut. Ya, mereka berlutut kepadaku. Aku mendapati diri sedang berdiri di platform, melihat mereka. Mereka tampak kecil dari atas sini, memberiku perasaan agung.

Chương tiếp theo