webnovel

Lewat Pantun Kita Berkenalan

BAB 7

Tanah Deli, awal April 1932

Pesta klub korespondensi tersebut diadakan di sebuah rumah besar dengan musik klasik yang dimainkan dengan biola dan piano sebagai latar belakangnya. Para tamu undangan tampak berlalu-lalang, mengenakan pakaian China ala zaman dulu. Para tamu undangan tersebar di berbagai titik di rumah besar. Kebanyakan tamu undangan berusia dua dan tiga puluhan, dan juga berasal dari kalangan menengah ke atas. Segala makanan dan minuman lezat zaman dulu bisa ditemukan di sana. Tampak para pelayan juga berlalu-lalang, menyuguhkan makanan dan minuman untuk para tamu undangan.

"Jadi kau selama ini juga bekerja di redaksi majalah Belanda dan Inggris itu? Bagian mana kau?" tanya Ivana kepada sesosok laki-laki dengan tinggi menengah, dalam balutan pakaian China zaman dulu warna karamel.

"Di bagian bahasa Inggris. Aku di rubrik cerita-cerita pendek," jawab Rio Augusto berdehem sebentar.

"Kau kenal dengan Boy Eddy Wangsa itu kan?" Ivana Pangdani menunjuk ke Boy yang saat itu sedang menyuapi sepotong kue ke mulut Valencia Fang. Keduanya tampak tersenyum dan tertawa.

Rio Augusto mengangguk. "Iya… Dia di bagian cerita bersambung. Dia bukan hanya menangani yang bahasa Inggris, tapi juga yang bahasa Belanda. Dia jago bahasa asing. Kudengar dia juga bisa bahasa China. Dia mempelajarinya ketika tinggal di panti asuhan dulu. Karena dia bisa beberapa bahasa, gajinya adalah yang tertinggi di antara kami semua."

"Iya… Rubrik cerita bersambung itu menjadi rubrik yang paling diminati di Tanah Deli ini. Aku juga ada mengikuti beberapa ceritanya. Cerita tentang si kembar tiga itu… Tiga Wajah Daniel judulnya… Entah bagaimana dengan nasib si kembar sulung itu…"

"Iya… Dia dikejar oleh beberapa gadis yang pernah dipacarinya bukan? Ketika tukar cerita, akhirnya para gadis ini tahu si Daniel Jovan itu adalah seorang playboy dan mereka semua sepakat akan memberinya pelajaran. Si kembar sulung berarti si Daniel Jovan. Kalau tidak salah, Daniel Jovan itu adalah seorang pencinta wanita dan seorang playboy, jadi seharusnya dia dikejar oleh gadis-gadis yang pernah dipacarinya untuk meminta pertanggungjawaban. Ya… Ya… Ya… Seharusnya begitu… Seharusnya tidak salah lagi…

"Bukan loh… Dia dikejar oleh sekelompok pembunuh bayaran yang salah mengenali orang. Sekelompok pembunuh bayaran itu mengira Daniel Jovan ini adalah salah satu dari dua saudara kembarnya yang lain. Seru sekali… Entah bagaimana nasibnya nanti. Aku hanya baca sampai setengah nih episode yang terbaru. Cerita itu ditulis langsung oleh Boy Eddy Wangsa itu. Imajinasinya hebat sekali, bisa melukiskan dengan rinci kehidupan di dunia ini 100 tahun dari sekarang."

"Oh iya iya… Salah mengenali Daniel Jovan sebagai Daniel Jovial kan? Aku jadi menerka-nerka, apakah memang ada saudara kembar tiga identik yang sebegitu miripnya sampai-sampai orang-orang yang melihat mereka itu bisa salah mengenali orang…"

"Bukan loh… Sekelompok pembunuh bayaran itu salah mengenali Daniel Jovan sebagai Daniel Jovin. Target mereka yang sebenarnya kan Daniel Jovin karena Daniel Jovin inilah yang ingin menyelidiki soal mesin dimensi rahasia milik ayahnya. Kau sebenarnya ada ikut ceritanya atau tidak sih?" Ivana sedikit mengerutkan dahinya. Katanya ada ikuti ceritanya, tapi tidak tahu-menahu tentang ceritanya! Habis itu, asal bunyi, dan salah-salah lagi pembicaraannya! Laki-laki yang menuliskan puisi itu untukku seharusnya adalah laki-laki yang paham betul dengan dunia sastra, lemah lembut terhadap perempuan, dan orangnya pastilah sangat romantis. Kok bisa pula muncul nih laki-laki yang kaku, ngomong saja tidak pandai, tidak romantis, tidak paham sama sekali dengan dunia sastra, dan sama sekali jauh dari pengharapanku?

"Oh iya iya… Aku salah… Sorry… Sorry… Sudah lama sekali tidak baca. Jadinya aku lupa-lupa ingat loh…" kata Rio Augusto dengan perasaan deg-degan yang semakin kuat. Dia semakin bergelugut dan hanya bisa tersenyum kaku. Matilah ini… Apakah akan segera ketahuan?

Hah? Apa-apaan sih nih laki-laki! Kan episode terbarunya itu baru terbit Kamis kemarin. Kok bisa bilang sudah lama dia tidak baca? Ini adalah cerita bersambung loh dan setiap episodenya itu terbit per minggunya. Ada yang tidak beres nih… Aku bisa melihat adanya tempayan yang bocor nih… Aku curiga… Jangan-jangan…

"Aku senang sekali dengan puisi yang kaukirimkan waktu itu, Rio. Bisa kaulantunkan sekali lagi untukku tidak? Puisi itu romantis sekali dan sungguh menyentuh hati…"

Rio Augusto tampak begitu gelagapan kali ini. Jelas dia tidak menghafal puisi itu secuil pun. Dia membuang pandangannya ke arah lain. Kedua tangannya tampak mulai bergelugut. Kegugupan mulai menggeliat. Ketakutan mulai meringkai muara hati.

"Aku… Aku…" Rio Augusto sama sekali tidak bisa mencari kata dan alasan yang tepat kenapa ia sampai tidak hafal puisi tersebut.

Sialnya lagi, Boy Eddy dan Valencia datang menghampiri mereka. Terdengar panggilan akrab Boy terhadap Rio Augusto dari belakang,

"Hai, Rio… Kau datang juga?"

Rio Augusto semakin gelagapan. Tampak dia semakin gugup. Astaga! Aku lupa bilang pada Boy untuk tidak membocorkan rahasia identitasku dulu malam ini! Aku lupa bilang… Dia akan menceritakan yang sebenarnya dan Ivana akan tahu bahwa aku bukanlah penulis puisi yang diterimanya itu. Matilah ini…! Segalanya akan berakhir malam ini…

"Oh ya… Aku lupa bilang ke kau deh… Bos bilang kemarin kas masuk dan kas keluarnya masih tidak balanced. Ada beberapa pembelian yang lupa kaumasukkan ke dalam jurnal sepertinya. Senin nanti kautemui Bos di ruangan kerjanya saja ya…" senyuman Boy Eddy begitu ramah maksimal dan itu membuatnya tampak sangat ganteng malam itu.

"Lho…? Kok jadi ke kas masuk dan kas keluar?" Ivana mulai mengerutkan dahinya. Suaranya mulai meninggi satu oktaf.

Rio Augusto hanya bisa diam menunduk. Sudahlah, Boy! Senin saja nanti baru kaubicarakan denganku kenapa sih! Sekarang bisa tidak sih kau biarkan aku berkencan dengan tenang malam ini?

"Iya dong… Rio Augusto kan memang kasir di redaksi majalah kami. Apa ada yang salah dengan itu?"

Baik Boy Eddy maupun Valencia menatap Rio Augusto dan Ivana Pangdani dengan sorot mata bingung dan penuh dengan tanda tanya.

"Tadi kau bilang kau bekerja di rubrik cerita pendek! Sekarang ternyata kau hanyalah seorang kasir! Mana yang benar nih?" sepasang bola mata Ivana mulai tampak menyala-nyala.

Boy Eddy menepuk jidatnya dan Valencia Fang hanya tampak mengulum senyumannya.

"Sorry… Sorry banget, Ivana… Aku tidak bermaksud untuk berbohong. Aku hanya tidak tahu bagaimana caranya untuk jujur padamu sekaligus tidak ingin mengecewakanmu. Aku kira… Aku kira ketulusan seorang lelaki tidak sepenuhnya dicerminkan dari puisi yang ia tuliskan deh…" Rio Augusto akhirnya mau tidak mau mengakui kebohongannya.

"Kau sungguh membuatku kesal!"

Satu tamparan halus diberikan Ivana ke pipi Rio Augusto. Boy Eddy dan Valencia Fang menyaksikan adegan tersebut dengan sepasang mata mereka yang membelalak lebar.

"Katakan padaku, Boy! Jujur padaku siapa yang menulis puisi ini! Aku ingin ketemu dengan orangnya…" kata Ivana menunjukkan secarik kertas ubi dengan tiga bait puisi yang terketik rapi di atasnya.

"Itu… Itu…" Boy Eddy tampak seperti kehabisan kata dan tidak tahu mesti berkata apa.

"Jujur padaku, Boy! Bilang padaku siapa yang menulis puisi ini!" Ivana tampak tidak sabar menunggu jawaban Boy.

"Penulisnya hadir kok di sini… Itu… Itu… Yang pakai baju merah di depan tangga besar itu…" kata Boy Eddy menunjuk ke sosok lelaki lain dalam pakaian model China klasik warna merah gelap, yang tampak sedang bercakap-cakap dengan beberapa tamu lain di depan tangga besar. Ivana segera berlalu dan berjalan ke arah lelaki yang ditunjuk oleh Boy tadi.

"Maaf sekali… Benar-benar maaf, Rio… Kau tidak bilang sih padaku sebelumnya untuk tidak berterus-terang dulu di sini… Mana tahu aku…" kata Boy Eddy dengan senyuman kecut pada wajahnya.

"Memang sih puisi tidak bisa mencerminkan sepenuhnya ketulusan seorang lelaki, Rio," celetuk Valencia tiba-tiba. "Tapi, justru Ivana ingin menemukan lelaki yang menulis puisi itu. Puisi itu mencerminkan keteguhan dan kesungguhan hati penulisnya. Dia ingin melihat sendiri apakah orangnya memang sama dengan puisi yang ditulisnya."

"Oke deh… Fixed kencanku gagal pada malam hari ini. Ivana sedang menuju ke Jacky sekarang. Memang Jacky adalah laki-laki yang penuh dengan keteguhan dan kesungguhan hati. Fixed aku akan kehilangan gadis yang aku sukai hanya gara-gara aku tidak paham dengan dunia sastra," Rio Augusto mengangkat kedua tangannya ke udara.

"Sekali lagi, maaf ya… Tidak tahu aku bahwasanya kau sedang meneruskan perananmu sebagai seorang penulis puisi romantis di depan Ivana," kata Boy Eddy sedikit tergelak.

"Kau sudah merusak kencanku malam ini. Kau harus traktir aku minum nanti untuk menebus kesalahanmu…" tukas Rio Augusto dengan wajah yang sedikit merengut.

"Oke… Tidak masalah…" kata Boy Eddy sedikit cengar-cengir. Valencia di sampingnya hanya mengulum senyumannya.

"Jadi bagaimana dengan tindakan kita selanjutnya?" tanya salah seorang tamu pada si baju merah.

"Dengan surat yang telah kukirimkan ke Tanah Aceh, aku kira aku sudah bisa mendapatkan simpati mereka. Mereka akan membantu kita dengan persediaan ganja mereka. Dengan mencampurkan ganja ke dalam makanan dan minuman untuk orang-orang Belanda itu, aku rasa kita akan bisa mengendalikan mereka dengan lebih mudah," bisik si baju merah.

Mendadak terdengar suara sesosok gadis cantik jelita dari belakang mereka, "Malam… Apakah aku mengganggu pembicaraan kalian?"

"Tidak… Tidak… Hanya sedikit obrolan santai…" si baju merah menggeleng santai dan ia mulai berpaling. Ia tertegun sejenak berhadapan dengan seraut wajah cantik dan tubuh tinggi semampai yang berdiri di hadapannya. Siapa ini? Wajah yang cantik sekali bagai bidadari yang turun dari kayangan… Tubuh yang begitu sempurna, lengkap memancarkan esensi kewanitaan yang begitu menarik nan mempesona. Siapa dia? Baru pertama kali aku datang ke klub ini dan sudah bisa bertemu dengan gadis yang begitu sempurna.

Ivana Pangdani juga tertegun sejenak berhadap-hadapan dengan sesosok tubuh yang tinggi bedegap, dengan seraut wajah tampan yang sungguh mempesona, dengan sebersit senyuman santai yang begitu lembut nan menenangkan. Wajah yang tampan dengan kedua lesung pipit yang begitu menawan… Tubuh yang bedegap dan kekar, memancarkan semacam profil melindungi, memberikan rasa aman dan nyaman apabila berada di sampingnya. Tidak salah lagi… Tidak salah lagi… Inilah sang penulis puisi yang aku cari-cari selama ini. Sekali melihat, aku sudah langsung tahu dialah orangnya…

"Apakah… Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya si baju merah agak ragu.

"Tidak… Tidak pernah… Ini pertemuan pertama kita dan aku rasa ini juga adalah kedatanganmu yang pertama kali ke klub korespondensi kami. Selamat datang ke klub 3P…" Ivana menampilkan senyuman hangatnya.

"3P…?" si baju merah terlihat agak mengerutkan dahinya.

"Iya… Singkatan dari prose, poem, dan people… Prosa & puisi akan menghubungkan orang-orang untuk saling berkenalan dan menjalin pertemanan. Itulah yang kami lakukan di klub ini. Tertarik untuk bergabung?"

"Bagaimana cara pendaftarannya?"

"Bayar iuran keanggotaan setiap bulan, maka kau sudah dihitung sebagai anggota klub kami ini. Iuran keanggotaan berhenti selama dua bulan berturut-turut, maka masa keanggotaan juga akan berhenti di bulan ketiga. Simple bukan?"

"Dan jika di bulan keempat aku ingin melanjutkan masa keanggotaanku lagi, aku harus…"

"Tinggal setorkan lagi iuran keanggotaanmu, masa keanggotaanmu akan kembali pulih dan diaktifkan. Selama menjadi anggota, kau boleh menggunakan semua peralatan, perlengkapan, dan fasilitas yang ada di klub ini. Bagaimana?"

Perlu beberapa detik bagi si baju merah untuk memikirkan tawaran Ivana. Namun, di detik-detik selanjutnya, dia sudah menganggukkan kepalanya.

"Oke deh… Aku bergabung…"

"Bagus sekali… Kau tinggal membayar iuran keanggotaanmu di bagian kasir sana, dan masa keanggotaanmu akan mulai aktif sejak malam ini," kata Ivana menunjuk ke sebuah meja resepsionis di mana ada satu pemuda dan satu pemudi duduk dengan manis di sana.

Si baju merah menuju ke meja yang ditunjuk dan kembali lagi ke sisi Ivana beberapa menit kemudian.

"Sudah kuduga seorang penulis mahir sepertimu akan bergabung ke dalam klub korespondensi kami."

"Aku tidak sehebat itu. Masih seorang penulis amatiran. Sama-sama belajar dan aku kira dengan surat-menyurat, aku bisa berkenalan dengan teman-teman yang ada di luar Tanah Deli ini mumpung bahasa Indonesia sebagai bahasa nusantara baru saja ditetapkan empat tahun lalu."

"Oh ya…? Amatiran…? Kau terlalu merendah. Aku sadar betul kok kekuatan-kekuatan apa yang tersimpan di balik kata-kata. Dan kekuatan apa yang tersimpan di balik kata-kata yang bisa kauhasilkan. Iya kan…?" terlihat Ivana Pangdani sedikit mengulum senyumannya.

Hati perempuan bagai lautan misteri. Si baju merah mencoba mengamati Ivana selama beberapa saat, namun dia kesulitan menebak isi pikiran Ivana. Ivana akhirnya mengeluarkan secarik kertas andalannya dan menunjukkannya kepada si baju merah.

"Itu… Itu…" si baju merah menjadi serba salah dan salah tingkah.

"Bukan kau yang tulis puisi ini?" Ivana bertanya dengan nada santai. "Perlu kutarik Boy ke sini dan biar ia menjadi saksi siapa sebenarnya yang telah menulis puisi ini?"

"Ya… Ya… Aku yang menulis puisi ini. Rio Augusto, temanku itu, meminta bantuanku… Katanya ingin menuliskan satu puisi cinta untuk gadis yang dijodohkan orang tuanya kepadanya itu. Tak kusangka… Tak kusangka gadis yang dijodohkan dengan Rio Augusto itu adalah kau. Maaf… Maaf sekali…"

"Dan aku harus mencari-carimu selama ini… Aku harus mencari ke sana ke sini karena aku penasaran siapa sebenarnya penulis puisi ini. Kau hanya diam saja di sana dan tidak pernah mau buka mulut bahwa kaulah sebenarnya yang telah menulis puisi ini."

"Aku sedang membantu teman. Tidak mungkin dong aku membuka kedoknya dan membocorkan rahasianya bahwa aku sebenarnya yang menulis puisi itu," si baju merah tampak menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak terasa gatal.

"Oke… Aku akan mengatakan pada orang tuaku aku akan menikah dengan penulis asli dari puisi ini."

Si baju merah mencegat tangan Ivana. "Jangan dong… Aku belum mau berkeluarga. Aku ini jelek, laki-laki biasa saja, dan hanya dari kalangan menengah. Gadis dengan kualifikasi dan latar belakang keluarga yang seperti dirimu mana mungkin disetujui orang tuamu untuk menikah denganku. Jangan tempatkan aku pada posisi yang sulit dong," kata si baju merah menggaruk-garuk kepalanya lagi.

Ivana hanya mengulum senyumannya karena ternyata laki-laki yang jago dalam puisi dan prosa akan salah tingkah dan tidak tahu mesti berbuat apa jika sudah berhadapan dengan wanita.

"Oke… Aku akan anggap hal ini tak pernah terjadi jika kau bisa membalas pantunku yang satu ini dengan sempurna."

Ivana mulai memikirkan sebuah pantun dan berucap, "Makan kerang di Tanjung Tiram, dapat asam buah kedondong… Harapan ini takkan karam, asal hari esok tetap menyongsong…"

Si baju merah tersenyum santai. Dia membuka mulutnya dan berucap, "Janji manis di hari Kamis, jalan pagi di Parangtritis… Melihat Nona tidak menangis, lelah Abang mulai menipis…"

Ivana tidak mau kalah. Dia mengeluarkan satu pantun yang lain, "Hantu lari ke dalam hutan, jenderal kejar bawa cemeti… Walau terpisah oleh lautan, cinta Nona terus di dalam hati…"

Si baju merah tampak tersenyum santai lagi. Ia membalas, "Kerja keras jangan memelas, rasa hidup tak lagi getir… Ada cinta saling berbalas, bahagianya tiada akhir…"

Ivana mengeluarkan lagi pantun yang berikutnya, "Jalan ke pasar ketemu duda, awas hati jangan mendua… Kerja keras di masa muda, bersenang-senang di masa tua…"

Si baju merah mengeluarkan pantun balasannya lagi, "Bau harum santan kelapa, terasa pedas banyaknya cabai… Seberangi lautan tiada mengapa, asal cita-cita dapat tercapai…"

Ivana mengangkat kedua tangannya ke udara. "Oke… Aku mengaku kalah. Aku tidak bisa mengalahkanmu. Pantunmu sungguh luar biasa. Tidak heran kau bisa menuliskan puisi yang begitu membuatku bertanya-tanya."

"Pantunmu juga luar biasa. Jarang ada perempuan muda sepertimu yang memiliki minat yang besar terhadap dunia literasi dan dunia sastra," kata si baju merah menampilkan sebersit senyuman sumringah.

Ivana meledak dalam tawa renyahnya. Dia tampak menyibakkan rambutnya ke belakang. Si baju merah terus menatapnya tanpa kedip.

"Kenapa kau bisa sangat tertarik pada dunia literasi dan dunia sastra? Sampai-sampai kau bisa membentuk satu klub korespondensi seperti ini…" tanya si baju merah.

"Karena… Karena… Karena menurutku, kekuatan kata-kata jauh lebih bisa diandalkan daripada kekuatan senjata. Pengetahuan juga datangnya dari kata-kata. Segala jenis kepintaran dan kemampuan datangnya juga dari kata-kata. Jika masyarakat kita sama sekali tidak mengerti bagaimana berkata-kata, bagaimana menggali ilmu pengetahuan dan kemampuan mereka melalui kata-kata, aku rasa selamanya kita takkan terbebaskan dari masa penjajahan ini. Iya nggak sih?"

"Bagus sekali seandainya semua lapisan dan golongan masyarakat berpikir seperti apa yang kaupikirkan."

"Maka dari itu, aku mendirikan klub korespondensi ini. Aku berharap akan ada beberapa orang atau sastrawan hebat sepertimu yang bisa menyampaikan gagasan-gagasan mereka yang hebat untuk kemudian membebaskan negeri kita ini dari kuasa orang-orang Belanda itu."

Si baju merah meledak dalam tawa santainya, "Aku tidak sehebat itu… Tapi, orang tuamu mengizinkan kau mendirikan klub seperti ini?"

"Tentu saja mengizinkan… Dengan satu kondisi… Aku bilang ke mereka aku mendirikan klub surat-menyurat ini hanya untuk menjalin pertemanan dengan orang-orang yang ada di luar Tanah Deli. Tentu saja aku tidak mengatakan tujuanku yang sebenarnya," terlihat Ivana mengulum senyumannya lagi.

"Kau membeli mesin tik yang keluaran terbaru dari Inggris sana. Pantas saja, Kenny bilang ke aku dia menghabiskan cukup banyak uang untuk mendukung jalannya klub korespondensimu ini. Sekarang aku mengerti apa sebabnya. Mesin tik, kertas karbon, dan bahkan sampai ke pita mesin tik semuanya kaubeli dari Eropa sana. Harganya pasti selangit…"

"Tapi sampai sekarang klub masih berjalan kok. Sudah dua tahun klub ini berjalan tentunya didukung oleh pendanaan dari Kenny dan iuran-iuran keanggotaan yang juga tidak murah…" masih tampak Ivana mengulum senyumannya.

Si baju merah terus menatap Ivana tanpa kedip. Rasa kagum mulai bergelitar di padang sanubari hati. Perlahan-lahan tanpa disadari, rasa kagum akan berkembang menjadi rasa suka. Rasa suka akan merengat di pelupuk batin si baju merah.

"Kenapa kau terus melihatku seperti itu?�� tanya Ivana merasa agak kikuk.

"Karena asyiknya mengobrol dengan perempuan yang berpikiran terbuka dan berwawasan luas sepertimu, aku jadi lupa memperkenalkan diri. Namaku Jacky… Jacky Fernandi Yiandra…"

"Namaku Ivana… Ivana Pangdani…"

Keduanya saling mengulurkan tangan dan bersalaman.

"Kau asli orang China perantauan juga?" tanya Jacky Fernandi.

"Ayahku campuran orang China dan orang Inggris. Karena kakek nenekku sudah bercerai sejak ayahku masih kecil, ayahku ikut nenekku dan memakai marga nenekku, bukan marga kakekku. Ibuku sih asli orang China perantauan yang tinggal di Tanah Deli ini."

Jacky Fernandi mengangguk-ngangguk.

"Kau sendiri?" tanya Ivana melemparkan sebersit senyuman hangat.

"Ayahku meninggal sewaktu aku masih kecil. Ibuku mengajar di mana-mana untuk membesarkan aku. Mengajar keterampilan memasak… Sejak kecil aku sudah terbiasa dengan belajar keras siang dan malam. Aku ingin ketika aku besar nanti, aku akan bisa memberikan yang terbaik buat ibuku."

"Bukan nanti, tapi sekarang kau sudah bisa memberikan yang terbaik buatnya."

Ivana tersenyum hangat lagi. Jacky Fernandi dan Ivana Pangdani berjalan berdampingan mengitari ruangan acara tersebut. Keduanya tampak sangat mesra, kompak dan tertawa ada kalanya. Tampak senyuman dan canda tawa menghiasi raut wajah keduanya.

Boy Eddy dan Valencia memperhatikan mereka berdua dari kejauhan.

"Akhirnya sahabatmu memiliki pujaan hatinya, Boy," kata Valencia sambil tersenyum lembut.

Boy mengangguk-ngangguk dengan antusias, "Iya, Valencia… Aku turut berbahagia untuknya. Akhirnya ia memiliki pelabuhan cintanya sekarang. Sama seperti kita berdua…"

Boy Eddy mendekatkan wajahnya ke wajah sang putri pujaan. Valencia menyambut wajah itu dan mendaratkan satu kecupan mesra ke pipi sang pangeran pujaan.

"Kenapa kau tadi sempat mengungkit soal kaitan antara puisi dan ketulusan seorang lelaki kepada Rio Augusto, Valencia Sayang? Apakah karena kita juga berkenalan pertama kali lewat sebuah puisi?" tampak senyuman cengar-cengir Boy Eddy yang membuatnya terlihat sangat ganteng pada malam itu.

"Begitulah… Kan aku bisa melihat keteguhan dan ketulusan hatimu juga waktu membaca puisimu di majalah Belanda dan Inggris itu," kata Valencia dengan merah yang mulai merona pada kedua belahan pipinya. Dia tampak membuang badan dan berdiri membelakangi sang pangeran pujaan.

Boy Eddy pura-pura menghela napas panjang. "Kau bisa melihat ketulusan dan kesungguhan hatiku. Sayang kedua orang tuamu tidaklah demikian. Aku rasa untuk selamanya aku takkan bisa mendapatkan doa restu mereka."

Valencia membalikkan badan lagi dan berhadap-hadapan dengan sang pangeran pujaan.

"Untuk itulah, aku ingin kau berjanji… Meski cobaan datang menghadang, meski masa depan kita terasa begitu berat bagimu, aku ingin kau tetap bertahan, bukan demi siapa-siapa, tapi demi aku… Bisa kan?"

Valencia mendekati sang pangeran pujaan. Dia langsung merengkuh leher sang pangeran pujaan ke dalam suatu dekapan mesra.

Mulanya Boy Eddy tampak sedikit terkejut karena dipeluk secara tiba-tiba. Namun, detik-detik berikutnya, ia sudah tampak tersenyum cerah dan membalas pelukan sang putri pujaan.

Musik latar dengan dominasi piano dan biola kembali merecik rindu dan cinta di padang sanubari keduanya.

***

Medan, 18 Mei 2018

Carvany membuka matanya kembali. Dia menyadari dia sudah berada di dalam kamar tidurnya. Tampak Bu Nickesia Chowin Chen terus mengamatinya dengan raut wajah penuh kekhawatiran.

"Akhirnya kau sadar juga, Carvany… Ngapain sih kau pergi minum dengan rekan-rekan kerja segala?"

"Aku minum?" Carvany sedikit terheran-heran karena jelas-jelas dia tidak minum. Dia ingat dia pingsan di koridor sekolah ketika berbicara dengan si malaikat merahnya soal Sandy Austeen Tulas itu. Kenapa ibunya bisa mengatakan dia habis minum-minum?

"Iya loh… Si Red yang bilang tuh… Kau habis minum-minum di bar. Dia mencari-carimu dan akhirnya menemukanmu di bar. Dia mengantarmu pulang dalam keadaan mabuk tadi jam sembilan loh… Belum sempat Ibu berbincang-bincang dengannya, dia bilang dia sudah mau pulang karena hari sudah malam. Ya terpaksa Ibu hanya bisa membiarkannya pulang deh. Sekarang kau sudah bisa menjawab pertanyaan Ibu kan? Ayo bilang siapa dia, sejak kapan kalian saling kenal dan apakah sekarang kalian dalam status berpacaran atau tidak."

"Ibu ini berpikir terlalu jauh deh… Dia sering antar jemput keponakannya yang juga bersekolah di Oliver Plus, Bu. Kami dekat-dekat begitu saja," jawab Carvany asal-asalan.

"Hanya dekat-dekat begitu? Dia bisa sampai menemukanmu di bar sana loh, Carvany… Dia bisa mengantarmu pulang malam-malam begini. Itu yang kau bilang hanya dekat-dekat begitu?" Bu Nickesia memandangi anak perempuannya lurus-lurus.

Carvany membuang muka ke arah lain, "Aku adalah perempuan loh, Bu. Jika pihak seberang tidak memberi sinyal-sinyal dia juga memiliki perasaan yang sama kepadaku, tidak mungkin dong aku maju dan memberondong terus."

Carvany hanya mengulum senyumannya. Baru saja Bu Nickesia ingin memberi tanggapan terhadap perkataan anak perempuannya, telepon genggamnya mendadak berbunyi. Dia melihat nomor yang tertera pada layar dan akhirnya ia cepat-cepat menyingkir keluar.

"Oke… Besok kita lanjutkan. Ibu mau dengar lagi lebih lanjut soal si Red yang mengantarmu pulang tadi. Oke… Sekarang istirahatlah…"

Bu Nickesia membuka pintu dan keluar dari kamar anak perempuannya. Sebelum ia keluar sepenuhnya, ia sudah sempat menjawab panggilan telepon genggam,

"Oh.. Halo, Jessica… Ada apa nih malam-malam meneleponku?" tanya Bu Nickesia dengan sebersit senyuman ganjil. Dan kemudian ia menutup pintu dengan rapat dan suaranya sama sekali tidak terdengar lagi.

"Jessica? Kok aku tidak tahu Ibu memiliki seorang teman yang bernama Jessica?" Carvany bertanya-tanya dalam hati. Akan tetapi, rasa kantuk segera menyerang. Di detik-detik berikutnya, ia semakin dan semakin terlelap.

Entah ke mana si baju merah… Mengapa dia harus bilang aku habis mabuk kepada Ayah & Ibu pula? Oh, mungkin dia tidak punya alasan lain lagi mengantarku pulang dalam keadaan tidak sadarkan diri. Oh, Baju Merah… Baju Merah… Kali ini aku tak mungkin salah nama lagi. Aku sudah ingat dengan jelas. Namamu adalah Jacky Fernandi Yiandra.

Carvany berusaha untuk terlelap dalam alam mimpi lagi supaya mimpi yang tadi bisa dilanjutkannya. Entah mengapa kerinduan mulai terpercik, riak-riak cinta mulai mengeriap, dan esensi kebahagiaan mulai menggeliat.

Sementara itu, Pak Kenric Chen rupanya juga belum tidur. Dia masih sedikit banyak mengkhawatirkan kondisi anak perempuannya yang diantar pulang oleh seorang lelaki yang kurang ia kenal dan diantar pulang dalam keadaan mabuk. Apa yang telah terjadi? Tidak biasanya anak perempuannya bisa minum-minum, terlebih lagi minum sampai mabuk. Pak Kenric Chen tetap merasa dia harus ke kamar anak perempuannya dan bertanya lebih lanjut apa sebenarnya yang telah terjadi.

Namun, di tengah-tengah perjalanannya, langkah-langkahnya terhenti karena mendengar suara istrinya yang sedang berbisik-bisik di dalam gudang yang terletak di paling sudut dan paling ujung koridor lantai dua rumah mereka. Pak Kenric Chen menebak pastilah istrinya sedang melakukan suatu pembicaraan rahasia dengan seseorang di telepon. Pak Kenric Chen memutuskan untuk menguping dan mencari tahu apa sebenarnya yang tengah dibicarakan istrinya.

"Ada kenapa-kenapa si Carvany, Nick?" tanya suara si Jessica di seberang. "Bukan kecelakaan kan?"

"Bukan… Bukan kecelakaan… Tadinya aku khawatir sekali dia mengalami kecelakaan, Jes. Ternyata bukan… Dia hanya pulang dalam keadaan mabuk dan tidak sadarkan diri."

"Sekarang sudah sadar tidak?"

"Sudah, Jes… Syukurlah… Tadinya aku mengira dia mengalami kecelakaan atau hal-hal lainnya yang mengharuskan dia menjalani transfusi darah di rumah sakit. Aku takut sekali dari pengecekan golongan darah, bisa ketahuan jati diri Carvany yang sebenarnya."

Pengecekan golongan darah? Jati diri Carvany yang sebenarnya…? Jangan-jangan… Hati dan perasaan Pak Kenric Chen mulai tercekat.

"Jangan khawatir, Nick. Asalkan kau sudah membuang semua dokumen Carvany yang dulu, asalkan kau terus menyimpan dokumen-dokumennya yang kita buat setelah kau membelinya dariku, asalkan kau sendiri tidak keterlepasan bicara, jati diri Carvany akan tetap aman. Takkan ada yang tahu…"

"Aku khawatir sekali selama belasan tahun ini, Jes. Saat Kenric mempertanyakan kenapa wajah Carvany bisa agak lain dan tidak mirip dengan wajah kami berdua saat Carvany menginjak kelas satu SMA, aku sudah terus mempertahankan rahasiaku dengan berbagai alasan. Untunglah selama ini Carvany termasuk anak yang pintar, baik ketika di bangku SMA maupun di bangku kuliah. Prestasi akademisnya selalu memuaskan dan tidak pernah bermasalah. Sedikit banyak itu bisa menutupi kecurigaan Kenric, Jes."

Terdengar helaan napas panjang Bu Nickesia. Pak Kenric terhenyak bukan main. Dia perlu bersandar pada dinding untuk memperoleh kekuatan berdirinya kembali. Seluruh dunia latar belakangnya kini pecah tercerai-berai.

Ini… Ini… Jadi, Carvany bukanlah anakku, bukan anak Nickesia juga… Dia bukan anak kandung kami berdua! Astaga, oh Tuhan…! Aku sering bertugas ke luar kota dulu dan pas saat Nickesia hamil dan melahirkan, aku tidak sempat pulang ke Medan. Pas saat aku balik ke Medan lagi, anak itu sudah berusia satu tahun lebih, sudah bisa berjalan… Oh, Tuhan… Dari mana Nickesia memungut anak itu? Dari mana dia mendapatkan anak yang pas begitu dilahirkan, langsung tidak diinginkan oleh kedua orang tuanya? Oh, Tuhan…! Kenapa selama ini aku bisa begitu bodoh? Kenapa selama ini aku bisa termakan tipu daya si Nickesia Chowin ini?

Memori kesadaran Pak Kenric Chen mulai beranjak kembali ke masa lalu.

"Maaf sekali, Nick… Aku kira aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini lagi… Aku… Aku mencintai wanita lain… Aku memutuskan akan bercerai denganmu dan tahun depan aku akan menikah dengannya…"

"Gampang sekali kau bilang mau cerai, langsung cerai begitu ya…" tampak sebersit senyuman sinis Nickesia Chowin Chen. "Tidak! Aku tidak mau kita bercerai! Aku tak mau menandatangani surat perceraiannya!"

"Untuk apa kita terus mempertahankan pernikahan yang sudah tidak sehat ini, Nickesia? Tak ada gunanya! Memang salahku yang sudah dingin dan perasaanku pada pernikahan ini sudah redup! Aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghidupkan kembali perasaan itu! Maafkan aku… Tapi, dengan atau tanpa kau menandatangani surat perceraian itu, kita tetap akan bercerai… Maafkan aku… Aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan pernikahan kita…"

"Bagaimana kalau kukatakan padamu aku hamil?" nada suara Nickesia Chowin dingin nan membekukan sumsum tulang.

Kenric Chen memandangi istrinya dengan sepasang matanya yang membelalak lebar, "Jangan ngawur bicaramu, Nickesia… Kau tidak mungkin bisa…"

"Kenapa tidak mungkin? Saat kau berada di Medan, saat kau tidak keluar kota, kau selalu memintanya dariku hampir setiap malam. Menurutmu, dengan seringnya kita melakukannya, tidak mungkinkah aku bisa hamil?" tanya Nickesia Chowin dengan sorot mata menantang sembari melemparkan surat pemeriksaan palsu dari laboratorium ke atas meja.

Dengan tangan gemetaran, Kenric Chen meraih amplop tersebut dan melihat isinya. Matanya yang masih membelalak lebar menelusuri isi hasil pemeriksaan laboratorium itu dengan saksama. Ternyata memang hasilnya positif. Surat pemeriksaan palsu dari laboratorium itu meluncur turun dari tangannya yang mulai melemas.

"Jangan pergi dariku, Kenric… Jangan tinggalkan aku dan anak kita. Aku membutuhkanmu. Sangat membutuhkanmu… Dan anak kita lebih membutuhkanmu lagi. Aku akan mengusahakan pernikahan yang terbaik buatmu, Kenric… Aku akan berusaha menjadi istri yang baik bagimu, yang bisa memuaskanmu dalam segala hal. Tetaplah di sini… Tetaplah di sampingku… Mau kan?"

Kenric Chen diam-diam saja. Tubuhnya menjadi kaku ketika istrinya merengkuhnya ke dalam pelukan. Dia sama sekali tidak bergeming ketika dirasakannya butiran-butiran air mata si istri menetes membasahi punggungnya.

Akhirnya, memori kesadaran Pak Kenric Chen kembali ke masa sekarang. Dia pelan-pelan menjauhi gudang tersebut. Dia kembali ke kamarnya. Hilang sudah rencananya tadi untuk ke kamar anak perempuannya. Sudah hilang minatnya untuk bertanya lebih lanjut pada anak perempuannya apa sebenarnya yang telah terjadi.

"Aku tidak bisa kehilangan Kenric, Jes. Apa pun akan aku lakukan asalkan dia masih berada di sampingku. Termasuk merahasiakan jati diri Carvany darinya seumur hidup…"

"Sudah… Tenanglah… Tenang… Semuanya sudah aman sekarang. Putrimu sudah sadar dan dia tidak kenapa-kenapa. Kau sudah bisa melupakan semua kemungkinan buruk yang mengerikan itu, Nick."

"Iya… Iya… Terima kasih karena sudah mau mendengarkan curahan hatiku malam ini, Jes. Terima kasih karena kau sudah membantuku merahasiakan siapa sebenarnya Carvany selama belasan tahun ini. Aku sangat menghargainya…" sesekali akan terlihat Bu Nickesia menyeka ekor matanya yang penuh dengan air mata yang menganak sungai.

"Sudah… Sudah… Tenanglah… Ada apa-apa, kau bisa hubungi aku lagi. Aku bisa bantu kau mengatasinya."

Bu Nickesia Chowin hanya mengangguk-ngangguk. Hubungan komunikasi diputuskan. Dia segera kembali ke kamarnya sendiri. Tampak seolah-olah sang suami sudah terlelap dengan dengkuran halus dari balik selimutnya. Padahal sebenarnya sang suami masih sadar benar. Sejuta pemikiran dan rencana bagaimana membongkar kebohongan istrinya selama ini mulai menggeligit pangkal pikirannya.

Aku akan cari bukti yang konkret untuk membuktikan bahwa sebenarnya Carvany bukanlah anakku, bukanlah anaknya, dan bukanlah anak kami berdua. Aku akan menemukan bukti nyata yang tidak terbantahkan sehingga dia tidak bisa mengelak lagi dan mau tidak mau mengakui kebohongannya kepadaku selama ini! Tunggu saja, Nickesia Chowin… Sebentar lagi sandiwaramu akan berakhir…

Bu Nickesia Chowin naik ke atas tempat tidur perlahan-lahan. Segenap asa kekhawatiran mulai meragas dan menggelimuni kuncup pikirannya, yang membuatnya tidur kurang nyenyak malam itu.