webnovel

Maklum, Ibu-ibu

Ku persilahkan rombongan ibu-ibu yang datang untuk duduk. Dengan senyum ramah yang mereka berikan, aku sedikit bisa menerima kunjungan sangat mendadak ini. Tak hanya aku, mas Anton juga turut andil dalam penyambutan tamu kami.

Sebelum obrolan dimulai, suamiku memberikan isyarat untuk membuatkan minum sejumlah tamu yang datang. Tentu aku yang awalnya tidak tahu sedikit terkejut, meski akhirnya mengiyakan, sekaligus menyiapkan beberapa cemilan.

Dari dapur, aku menangkap sayup-sayup perbincangan ringan di luar. Sekedar basa-basi saja sebenarnya. Seperti menanyakan kerja di mana, sudah nikah berapa lama, dan beberapa yang lain. Kupikir, ada beberapa pertanyaan yang sensitif untuk dibahas, tetapi ketika mendengar suami menjawabnya dengan santai, sepertinya tidak lagi menjadi masalah. Mungkin ini adalah salah satu dari kebiasaan yang lain orang-orang di sini.

Tak lama kemudian, aku datang dengan nampan lebar di tangan. Mereka tersenyum saat menyadari kedatanganku.

"Oalah, Mbak. Tidak usah repot-repot begitu, menyiapkan minuman segala," ujar bu Sekar. Ya, aku masih mengingat wajah bu RT yang baru datang pagi ini.

Mendengar itu aku hanya tersenyum kecil. Tidak tahu harus merespon seperti apa agar terlihat sopan.

Sadar dengan aku yang masih sedikit canggung, mas Anton yang akhirnya menimpali basa-basi bu Sekar tadi. "Tidak repot kok, Bu. Tidak setiap hari ini," ucap suamiku. Kemudian mereka tertawa di akhir. Ya, akan aku catat jawaban pria ini, barangkali hal serupa kejadian lagi.

Setelah meletakkan gelas di atas meja, aku turut duduk di samping mas Anton. Tersenyum canggung dengan wanita-wanita yang usianya jauh di atasku. Aku bahkan belum mengetahui siapa dan di mana mereka tinggal. Entah mendapat kabar dari mana, tetapi hanya dalam satu hari warga di sini sudah tahu kepindahan kami.

"Bu Sekar, semalam bilang jika tetangga baru kami sudah datang," ucap wanita dengan yang duduk di ujung sofa. "Jadi kami memutuskan untuk datang menyapa. Benar kan, ibu-ibu?" lanjutnya, yang langsung mendapat anggukan dari yang lain.

Sedangkan aku dan mas Anton, tentu hanya mengangguk-angguk paham. Orang-orang di sini bertindak sangat cepat. Benar kata ibu, mungkin ini adalah bentuk ramah antar tetangga yang ibu maksud.

Usai berbasa-basi, satu persatu dari mereka mulai memperkenalkan diri. Seperti nama mereka, blok yang ditinggali, bahkan nama suami beserta anak tak tertinggal dari skrip perkenalan.

Namun dari ibu-ibu yang memperkenalkan diri, maksudku keluarga, hanya beberapa yang bisa ku ingat. Di antaranya ialah, bu Sekar tentu saja. Aku harus mengingat istri petinggi di komplek ini. Lagipula tidak sulit untukku mengingat wanita yang sudah bertemu dua kali hari ini.

Lalu kedua wanita yang ternyata tinggal di samping rumah kami. Bu Rani, istri dari seorang karyawan biasa katanya. Sudah hidup berpuluh-puluh tahun di sini dan memiliki tiga orang anak. Aku bisa mengingatnya sebab di antara yang lain, bu Rani ini yang paling banyak tanyanya.

Terakhir bu Minte, wanita yang bisa langsung diingat dengan perhiasan mentereng di tubuhnya. Jika dilihat dari caranya bertingkah, bisa ditebak bu Minte ini adalah orang paling berada di komplek ini.

Ternyata bu RT segera membenarkan dugaanku.

"Bu Juminten alias bu Minte ini istri dari pemilik toko bangunan di depan gang. Dia yang paling kaya di sini. Betul kan, ibu-ibu?" ujar bu Sekar, menjelaskan sekaligus meminta persetujuan dari yang lain. Tentu saja, mereka mengiyakan dengan kompak.

Sedangkan aku dan suami, hanya mengangguk-angguk paham. Meski jujur dalam hati aku sedikit menyayangkan informasi yang sebenarnya sama sekali tidak dibutuhkan. Siapa yang peduli dengan orang paling kaya di sini?

Seolah membenarkan klaim dirinya adalah orang yang kaya, bu Minte dengan penuh percaya diri memamerkan perhiasan yang berderet di jari dan pergelangan tangan. Tak lupa, ia juga menonjolkan kalung dan anting yang terbilang cukup besar. Sangat bertolak belakang dengan bibirnya yang berulang kali berusaha menolak klaim yang diberikan ibu-ibu lain.

"Ah, tidak seperti itu juga," ucap wanita itu merendah. Namun jangan langsung percaya, karena hanya berselang satu detik ia kembali meroket tinggi ke atas langit. "Ya walaupun yang dikatakan bu Sekar tadi benar. Saya istri dari pengusaha di sini. Punya rumah besar dan aset mahal. Tapi tenang saja, tidak perlu sungkan," lanjutnya, benar kan? Bu Minte adalah tipe orang yang sebenarnya sombong tapi dibungkus dengan dalih merendah.

Mendengarnya, aku hanya bisa bereaksi seolah-olah terkesan. Begitu juga dengan mas Anton, ia bahkan lebih pandai merespon daripada aku sendiri. Kulihat beberapa kali bibir suami terbuka, seperti ia baru saja mendengar kabar besar.

"Wah, begitu rupanya." Ya, semacam kalimat terkesan seperti itu dari mas Anton.

"Berarti kalau kami butuh keperluan bangunan, bisa beli di toko suami Ibu, dong?" ucap suamiku lagi, terdengar seperti candaan basa-basi karena diiringi dengan tawa.

Namun kulihat bu Minta langsung mengangguk mengiyakan kelakar suamiku. "Tentu saja. Bilang saja sama karyawan di sana, tetangganya bu Minte. Mereka pasti akan memberikan potongan harga," ucap wanita itu.

Mendengarnya, mas Anton langsung mengangguk. Berbeda denganku yang hanya bisa menyimak, sesekali ikut tersenyum ketika mereka tertawa atau menatap. Aku masih canggung, belum terbiasa dengan kerukunan seperti ini.

Di kota kelahiran dulu, kami tidak banyak berinteraksi dengan tetangga. Bahkan nama mereka saja terkadang aku tidak paham. Jadi, mendapatkan kehangatan seperti ini adalah hal baru bagiku. Walaupun ... aku harus membiasakan diri dengan hal-hal tidak terduga seperti ini.

Beruntung, setelah cukup lama kami berbincang, kumandang adzan terdengar jelas dari masjid yang jaraknya tidak jauh dari rumah. Aku berpikir, mungkin sudah waktunya ibadah, ibu-ibu ini akan pamit pulang. Bukan aku tidak mau menerima mereka dengan baik. Hanya saja, kurasa ini sudah terlalu lama untuk bertamu. Meskipun mereka datang juga sudah sore.

Di saat yang sama, mas Anton juga berpamitan ingin pergi ke masjid. Awalnya aku berpikir setelah suami pergi mereka akan turut mengekor keluar. Namun ternyata, sepertinya aku salah.

"Kita pulang selepas maghrib saja, ya. Pamali kalau berada di jalan sekarang," ucap bu Rani yang langsung mematahkan dugaan. Bahkan tetangga yang hanya tinggal beberapa langkah dari sini berkata seperti itu. Sudah bisa dipastikan mereka akan duduk lebih lama.

Benar saja, semua setuju dengan usulan dari bu Rani. Sementara aku hanya bisa menghela napas berat dalam hati. Bukan aku tidak berkenan menerima tamu, ya. Hanya saja aku bingung dengan apa yang akan ku katakan. Sedangkan mas Anton sudah pergi ke masjid dari tadi.

Namun aku tetap bersikap seramah mungkin. Menjawab pertanyaan apapun yang diberikan. Pesan ibu harus selalu diingat. Bersikap ramah terutama dengan tetangga.

Hingga sekitar lima belas menit berlalu, akhirnya bu RT menyadari ketidaknyamanan ini. "Eh, sudah. Ayok pulang. Kasihan mbak Sari mau istirahat. Jangan kita ganggu," ucap bu Sekar, dan aku ingin langsung berterima kasih padanya saat itu juga.

"Iya benar kata bu RT. Lagipula mereka masih pengantin baru, jangan diganggu." Kali ini bu Rani yang menimpali.

Di detik yang sama, mereka saling setuju. Aku bisa tersenyum lega ketika ibu-ibu mulai keluar pintu satu persatu. Ku antar mereka dengan sangat baik. Hingga ketika tiba di wanita terakhir yang tak lain adalah tetangga sebelah, ia berhenti dan berbalik lalu berbisik, "Tenang saja. Walaupun dinding kita menyatu, tapi aman, kok. Jadi tidak usah sungkan jika ingin berisik saat begituan." Setelah mengatakan itu, ia terkekeh geli sendiri. Lalu langsung kabur tanpa peduli padaku yang sudah memiliki tomat di pipi, merah merona.

Astaga! Ku tutup pintu begitu mereka semua keluar. Aku masih tidak percaya dengan perkataan bu Rani yang memalukan. Memang wajar untuk sepasang suami istri, tapi bukankah itu tidak perlu dikatakan secara terang-terangan seperti ini? Lagipula, ah aku sangat malu.

Tetapi hatiku segera menenangkan. Maklumi saja, dia ibu-ibu.