"You're the reason ...."
[ANGELIC DEVIL: The Crown]
PLARRRRRRRRRR!!
Apo refleks menggampar wajah Mile Phakphum. Suaranya keras hingga pegawai menoleh, tapi yang digampar ternyata biasa saja.
"KAU KAN YANG MENYEBABKAN INI SEMUA?! KAU!" bentak Apo. "SEHARUSNYA AKU SADAR KALAU JALANG ITU SURUHANMU!"
Mile pun mengusap pipinya. Lalu menatap sang istri lurus. "Kau yakin mau bicara di tempat ini?" tanyanya. "Jangan sampai beritanya semakin kemana-mana." Dia mengingatkan dengan nada rendah. Bahkan suaranya seperti gempa di bawah laut. Sangat terkendali. Sangat dingin. Hingga Apo pun mendengus kasar.
"Kalau begitu beritahu aku tempatnya," kata Apo. "Ke restoran, ke kafe? Kalau bisa dekat-dekat sini saja!"
"Rumah."
DEG
"Apa?"
"Rumah, Apo. Aku yakin kau mendengar dengan jelas."
Apo pun terdiam sejenak. Dia benar-benar kesulitan membaca Mile Phakphum. Isi kepalanya. Hatinya. Atau sebenarnya dia mau apa. Kenapa tadi malah memuji? Pikir Apo. Tidakkah Mile tahu ini bukan kalung darinya? Bandul yang terpasang bahkan tidak berwarna beryl!
"Tidakkah kau pernah berpikir pulang?" tanya Mile. "Aku belum pernah memasukkan orang luar ke dalamnya sejak kau pergi."
Waktu pun berhenti sejenak. Serasa beku. Dan Apo nyaris tak percaya ucapan itu. "Bedebah ...." desisnya nyaris sepelan angin.
Namun, Mile tetap tidak kalah tangguh dari sang istri. Alpha itu menyudutkan Apo, bahkan tanpa mendekat. Lalu menatapnya begitu dalam. "Kau pikir bagaimana jika seseorang ingin mengambil rumahmu?" Dia bilang. "Saat aku pernah diberikan desainnya. Diminta memilih hingga menetap. Lalu tempat itu kubangun, walau sempat rusak di tengah jalan ...." kata-katanya sudah berbeda dari yang Apo kenal. Penuh pemikiran. Seolah Mile sudah menghapal narasi itu jauh-jauh hari. ".... kurasa kau pun takkan puas dengan permintaan maaf. Bahkan mungkin tak percaya meski tuduhan barusan kubilang keliru."
Apo pun mengepalkan tangan gusar. Dia mungkin saja keliru, tapi mata Mile benar-benar serius. Sang Alpha tidak gentar atau mengalihkan pandangan. Melainkan fokus dan hanya tertuju padanya.
"Tapi kau sinting, Mile. Apa kau tidak pernah memikirkan perasaanku?"
Mile pun terkekeh dan memijit keningnya. "Kupikir dulu ada seseorang yang ingin memberi waktu," katanya. "Dia bilang bisa menungguku beberapa tahun hingga waras. Menjadi Omega-ku. Memikirkan bayi-ku. Tapi pergi saat aku belum sanggup mengendalikan diri."
DEG
"Apa?"
"Aku mungkin bingung tapi mengingat hal penting, Apo," kata Mile. "Dan kenapa aku harus paham pikiranmu, saat kau sendiri tidak mau paham pemikirkanku."
Apo pun kesulitan berkata-kata. Dia tidak habis pikir bagaimana Mile ahli memutar balik. Lalu menyadarkan mereka tidak sepenuhnya putih. Ada yang sebenarnya salah di sini. Kau dan aku. Kenapa tidak kita bicarakan sendiri tanpa mereka? Seolah-olah Mile ingin mengatakannya secara langsung. Namun, sang Omega sudah menggempur rumah dengan menginginkan perceraian.
"Ha ha ha ha ha ha, oke," kata Apo. "Jadi kau bisa berkata seolah-olah lupa daratan, ya? Ingin aku, setelah menikahi Nazha? Apa dia tidak cukup mahir buatmu?" tanyanya. "Kupikir kau suka yang pandai bergoyang di kanan kiri."
Mile tetap kukuh dengan perkataannya. "Kau yakin ingin meneruskan obrolan di tempat ini?" Dia bilang. Karena orang-orang memang mulai sering melirik mereka.
Apo pun langsung merasa kelu. Sebab emosinya memang keliru. Dia pun memandang jemari Mile yang dipasangi tiga cincin. Lalu meraba-raba situasi. "Kau mestinya paham aku yang sekarang bukan milikmu," katanya. Sangat yakin bahwa sang suami tidak mencium aromanya lagi.
Mile justru tersenyum tipis. "Aku tahu," katanya. "Dan kau tidak perlu menyombongkan kesalahanmu sampai sebegitunya."
DEG
Apo pun gatal ingin menggampar lagi, tapi situasi hanya akan semakin buruk. "Oke," katanya dengan suara gemerincing kontak. Omega itu melirik sang suami sekilas. Penasaran, jadi keluar gerbang terlebih dulu dengan mobilnya.
Di belakang, Mile tampak masih datar-datar saja. Hanya menatap Apo lewat spion. Barulah menyusul setelah dapat beberapa meter jarak.
Alpha itu mengekori Apo hingga mereka sampai ke rumah. Dia keluar setelah Apo keluar. Lalu masuk setelah sang istri masuk.
"Selamat datang, Tuan Natta!"
"Selamat datang, Tuan Romsaithong!"
Sambutan yang terasa asing sekali.
Apo pun melihat kondisi rumah baik-baik saja. Sangat wajar. Sebab semua perabotan masih di tempat semula. Setiap jengkal juga bersih karena pelayan siaga merawat. Dan semua pajangan foto masih seperti yang dia ingat.
Oh, shit. Apa Nazha tidak pernah kemari? Pikir Apo.
Tidak ada yang dirubah, sungguh. Mile memang menginterpretasikan rumah mereka hanya untuknya, tapi aneh justru tidak mendekat. Sang suami hanya duduk di sofa yang berseberangan. Kalem saja. Lalu bertanya, "Apa kau baik-baik saja?"
"...."
"Ini masih rumahmu jadi tidak perlu sungkan minum."
Apo pun memandangi cangkir teh di atas meja. Lalu ke pelayan yang cepat-cepat undur diri dari sana. "Kupikir kau mengundangku hanya untuk memukul lagi," katanya tanpa basa-basi sedikit pun.
Namun, Mile hanya diam mendengar perkataannya. Alpha itu benar-benar tak terpancing. Lalu membalas dengan nada yang ringan. "Kau pikir ... kau saja yang trauma dipukul?" tanyanya.
"...."
"Aku pun trauma memukulmu, Apo. Maka jangan berpikiran kau saja yang kesulitan ...." kata Mile, yang entah sejak kapan kaku dengan kedua tangannya. Alpha itu bahkan tidak menyentuh cangkir yang disajikan. Padahal bayangan Apo, Mile akan segila waktu di kantor pada waktu itu. "Jadi, kuanggap kau pergi menemui dokter pribadimu, lalu aku juga menemui dokter pribadiku. Semua impas."
DEG
Seketika Apo pun mendesis. "TAPI KAU TIDAK MELEPASKANKU, BRENGSEK! APA ITU YANG DINAMAKAN IMPAS?!" bantahnya. "Nazha bahkan kau nikahi tanpa diskusi denganku!"
"--maksudku dokter yang sesungguhnya," kata Mile coba memperjelas. Dia membuat Apo bingung menelaah. Tapi maksud Mile mungkin psikiater. Sebab Apo melihat jemarinya tremor ringan. Tapi Mile menahannya selama menatap Apo. "Dia ingin agar kau mendekat padaku, Apo. Bertemu dua orang. Dan sekarang aku bisa mewujudkannya."
"...."
Mile mendadak tertawa kecil. "Ha ha ha ha, bagus bukan? Kau mungkin senang karena omongannya terbukti," katanya. Kali ini dengan tatapan yang sangat sakit. "Dimana aku bingung menempatkan diri. Ingin mendatangimu, tapi kondisiku semakin parah. Dan kesalahanku sekarang terlanjur jauh ...."
"...."
Diantara senyum hambar itu, Mile juga mulai berkaca-kaca. "Aku selalu berpikir hanya kau sendiri yang bisa menyembuhkanku, Apo. Ha ha ha ...." katanya. "Tapi orang yang kuharapkan selalu meminta cerai, cerai, cerai--bahkan sekarang juga menyerahkan diri untuk orang lain."
Tanpa sadar, Apo pun meremas pinggiran sofa. "Mile, sepertinya kau sungguhan sakit ...."
"Ha ha ha ha, iya. Memang ...." kata Mile dengan napas beratnya. "Aku takkan rehab, jika sangat-sangat normal. Tapi sepertinya kau tidak sabaran."
"Mile--"
"Aku selalu membayangkan kepergianmu jika kita setuju bercerai, Apo," sela Mile. Kali ini serius ingin didengarkan hingga tuntas. "Karena aku paham, aku tidak pantas. Dan aku sangat mengapresiasi betapa bagus kalung darinya kau kenakan."
Sampai sini, entah kenapa Apo sesak napas. Dia ingin menangis karena ingin memahami Mile, walau jujur tidak bisa sepenuhnya.
".... apa kalau kuceraikan, kau akan benar-benar jijik padaku?" tanya Mile. "Apa kalau kuceraikan, kau tak akan mau bertemu denganku? Bicara mungkin? Menoleh? Atau mau mengingat namaku?"
Jantung Apo pun serasa diserbu peluru. "Tunggu, tunggu, tunggu, Mile--sepertinya ada kesalah pahaman di sini--"
"Banyak, Apo. Ha ha ha ha. Kutebak kau pun selalu menilai tindakanku keliru. Sampai-sampai kau menolak untuk bicara waras padaku. Hanya denganku. Dan itu tanpa berteriak atau merusak barang berhargaku," sela Mile lagi-lagi tegas. "Mungkin karena dulu kau emosional, lalu kondisiku juga masih keterlaluan tololnya ...." Dia bilang. "Tapi bisa jangan gantikan aku 100%? Triplets silahkan kau bawa, tapi aku masih ayah mereka."
DEG
".... eh?"
"Dan mungkin kau masih takkan percaya, tapi aku tidak pernah berniat membunuh mate-mu," kata Mile. "Tapi terserah jika kau memang seniat itu untuk menginginkan pertemuan keluarga."