"Two traveller ...."
[ANGELIC DEVIL: The Crown]
"Jadi, kapan Nadech menjemputmu?" tanya Luhiang. "Apa tahun ini? Karena yang kutahu menyebarnya obat Oslo masih terbilang baru."
"Bukan. Tapi 7 tahun pasca kejadian," kata Amaara. "Dia butuh waktu untuk menemukanku. Dan setelah keluar aku tidak langsung memunculkan diri."
"Kenapa?" tanya Luhiang.
"Karena waktu itu orangtua Mew belum meninggal semua."
"Apa?"
"Ya, aku realistis saja sih," kata Amaara. "Mereka dulu membenciku. Lalu aku datang lagi dengan kualitas sama--hmph, sorry ... big no," tegasnya.
"...."
"Aku juga butuh rehabilitasi beberapa tahun, kejar paket sekolah, kuliah bisnis, dan tentunya menjual obat-obatan juga," kata Amaara sambil melirik Mile Phakpum. "So, jangan heran ... oke? Aku kadang bisa jadi sekretaris Nadech. Membantunya. Karena bukan cuma kalian yang punya gelar MBA."
DEG
"Woah ... oke? Yang ini memang agak di luar dugaan," batin Jeff kagum. Karena dia sendiri sedang berjuang lulus S2. Itu pun susah walau kampusnya di dalam negeri. "Jadi benar berita Amaara lebih cerdas dari Amaeera ...."
"Oke, I got it," kata Luhiang. "Jadi kau menuntaskan kuliah, menunggu orangtua Mew meninggal, sayangnya dia sekarat karena perkelahian--"
BRAKHHHHH!
PRANGGG!!
"TUTUP MULUTMU MERAK BUSUK!" teriak Amaara tiba-tiba. Dia menggebrakkan meja kafe. Bahkan gelas jusnya sampai jatuh pecah karena terguling. "Aku masih belum percaya kelompok ini, jadi jaga sikap sampai keadaannya berubah .... " tegasnya sambil menunjuk Luhiang. "Terutama kau. Hati-hati jangan hina Alpha-ku sebegitunya. Karena kau pun tak tahu apa yang kami alami."
Luhiang pun jadi jengkel, tapi sanggup memegang situasinya. "Oke, oke. Maaf. Aku tidak bermaksud begitu," katanya. "Yang pasti Nadech masih bersih di matamu. Tapi coba katakan kebenarannya."
"Apa?"
"Jadi kau dan Nadech satu almamater?" tanya Luhiang. "Dan jangan bilang pengedarnya orang-orang cerdas seperti kalian."
Meski sempat ragu, sebagian hati Amaara ingin mempercayai Mile juga. "Soal itu, ya. Kami lulusan Stanford di USA tahun lalu," katanya. "Tapi soal pengedar lain, belum tahu. Yang pasti banyak dan berasal dari berbagai negara. Karena klien kami rata-rata orang besar dan dari kalangan berpangkat."
"...."
"So, begitu obat dipasok, misi dijalankan berdasarkan tempat dan siapa penerimanya."
Luhiang pun mengangguk-angguk. "Ho, aku paham," katanya. "Jadi asal kalian dapat uang. Berikan obatnya, finish. Setelah itu tidak ada urusannya lagi."
"Iya lah. Toh penugasannya diatur dari atasan," kata Amaara. "Kami tidak dianjurkan saling mengenal. Cukup memanggil kode khusus jika benar-benar perlu. Jadi takkan ada yang tahu siapa identitas asli."
"Hmmm ...."
Paing dan Luhiang kini berpandangan.
"Kau ingin tahu pendapatku?" tanya Paing.
"Ya, tentu," kata Luhiang. "Kau kan yang mengurus penelitian obat Tuan Natta pada waktu itu, jadi ... katakan saja. Kita pastinya ingin mendengar seperti apa situasi Oslo yang sekarang."
"Hmmm ...." gumam Paing. "Kalau menurutku, sebenarnya Nadech dan Oslo berbeda jalur, maka kita tidak perlu sejauh itu untuk menjatuhkan dia."
"Oke."
"Apalagi dia sudah lepas dari sana, kan?" kata Paing. "Tapi berhubung masalah obat bisa dikaitkan. Itu akan jadi kartu as asal Amaara diajak bekerja sama." Dia pun melirik yang bersangkutan sekilas.
"Ya, bisa," kata Amaara. "Lagipula aku punya dendam dengan orang sana. Karena sudah diperlakukan seperti sampel barang percobaan."
"Ho, bagus," sahut Luhiang. "Itu bisa dihitung sebagai pelanggaran HAM juga sih ... great. Percobaan manusia memang yang terburuk."
"Dan ... beberapa temanku juga masih tinggal. So, pastinya mereka ingin bebas juga," lanjut Amaara. "Tapi awas--jika kalian memberikan saksi bahwa aku lebih dari korban, takkan kutuntun kalian untuk ke sana sampai kapan pun."
Luhiang segera mengulurkan tangan. "Sepakat," katanya. Lalu menoleh kepada sekitarnya. "Bagaimana, Takhon? Romsaithong? Lainnya? Apakah kalian setuju juga?"
Paing pun mengangguk pelan. "Aku ya. Nanti itu bisa diatur Bretha," katanya. "Tapi entah kalau yang lainnya." Dia tampak menyindir Mile Phakphum.
Mile yang peka pun langsung mendengus. "Aku tidak, maaf ...." katanya. "Karena aku tak sebaik Takhon--tapi kupertimbangkan kalau kau tak menyenggol Apo lagi," tegasnya. "Terutama triplets, keluarga utama-ku, lebih-lebih kakakku Pomchay ...."
"...."
"Tapi kalau kau masih menolak, tentu saja .... kuladeni duel denganmu setelah misi. Ayo di mana. Cukup jangan menangis kalau kekasihmu terbukti menyerahkan bokongnya--"
BRAAAKHHHHH!!
"MILE PHAKPUM ROMSAITHONG--!!!"
"HEI! HEI! HEI! HEI! HEI!"
"PEGANGI! HENTIKAN DIA!"
"ASTAGA! BRENGSEK!"
"APA LAGI SEKARANG?!"
"HISSSSHHHHHHHHHHHH!"
Amaara pun didudukkan paksa kembali. Lalu ditenangkan dengan kata-kata agar Omega itu tidak sampai menghancurkan meja.
"Begini saja, begini saja ...." kata Paing pada akhirnya. Dia pun mendekati Amaara. Berjongkok di depannya. Lalu mengulurkan tangan. "Setelah misi, aku janji akan melindungi hak-hakmu. Masa depanmu, dan bagaimana pekerjaanmu nanti ...." Dia bilang. "Jadi buktikan saja kemampuanmu. Jangan mati. Maka akan kujamin kehidupan normal yang pernah direbut darimu selama ini."
"Hrrrghhh ....." geram Amaara pada sang Alpha. Dia sepertinya menekan diri sendiri. Ingin mengamuk, tapi juga melirik dada yang dia lukai. "Kau serius?" tanyanya tampak tak yakin.
"Ya, tentu. Lagipula kau punya gelar mumpuni kan," kata Paing. "So, jadilah aset berharga untuk perusahaanku. Temani Jeff. Dan kalian akan kutempatkan dalam tim yang sama nantinya."
DEG
"SHIT! BAJINGAN ITU?" tanya Amaara sambil menunjuk sang hacker. Yang bersangkutan pun sampai tersentak. Bingung sendiri, tapi tetap berusaha tenang.
"Ya. Kan setidaknya dia sudah tahu aslimu," kata Paing. "Kau tak perlu berpura-pura. Kalian bisa bekerjasama, tinggal saling banting kalau kadang-kadang tidak cocok--"
DEG
"Hei--Tuan Takhon, tunggu ...." kata Jeff. ".... aku memang ditawari Nyonya Sanee pekerjaan, tapi beliau belum kuiyakan lho--"
"Sssh, Jeff. Diam dulu," kata Paing yang mendadak tegas. Mata Alpha itu tetap fokus kepada Amaara, dan apapun akan dia lakukan agar kebuasan Omega ini berkurang. "Kau pun tentunya sudah kujamin. Menurut saja. Tinggal bagaimana kelanjutannya, ya kan Amaara?" imbuhnya dengan senyuman.
Saat itu, Amaara yang kebal memang tidak merasakan--tapi seluruh Alpha lain paham apa Paing inginkan. Alpha itu bahkan menyebarkan feromon seperti hujan. Memenuhi udara. Seolah-olah mereka dilarang mencampuri urusannya.
"Oke," kata Amaara, yang mendadak berkaca-kaca. Kepalan tangannya bahkan tremor. Agak gatal. Sebab respon tubuhnya selalu ingin menghajar orang. "Tapi keputusanku tidak berubah. Kita belum deal hingga selesai. Jangan harap. Karena aku harus menuntaskannya dahulu."
Paing pun terkekeh-kekeh. "Hmph, oke ... bagus," katanya. Alpha itu menoleh pada Luhiang. Makin manis, dan suasana langsung terkendali oleh kedatangan Bretha.
"OOOOOOOHHHH! HALOOOO, SEMUANYAAAAAAAAAA!" sapa sang Omega tangguh. Bretha tersenyum lebar. Tak tertekan. Lalu menggandeng Ameera gabung mereka. "YA AMPUN, SERIUS SEKALIIII KALIAN INI ... HA HA HA! Santai saja, santai saja. Terutama kau, Takhon Zheyeng ... bagaimana kabarmu sekarang? Belum mati? Wah, bagus! Kebetulan aku tak membawa buket untuk berbela sungkawa ...."
Orang-orang pun tertawa meski terfokus pada Ameera. Mereka tampaknya terhibur. Seolah baru menemukan telaga karena kecantikan paripurna sang model kembali.
"Ya, ya. Syukurlah masih hidup seperti yang kau lihat, Bretha ...." kata Paing. "Kalau begitu duduklah. Sudah ditunggu, dan kau pasti akan kuambilkan kursi jika khawatir dengan berat badanmu yang baru--"
PLAKH!
"Brengsek juga ya mulutmu .... ha ha ha ha ha ...." tawa Bretha setelah bokong operasiannya di-notice. Dia juga mencubit bahu sang Alpha. Tampak jengkel, tapi rasa malunya juga hilang secepat angin. "Awas saja nanti kubilang mate-mu. Biar marah, jadi kau takkan diberi jatah seminggu."
Bretha bahkan tak peduli keberadaan Mile. Langsung duduk. Kemudian menyuruh Ameera berada di sebelahnya. "Sini sayang, sini ... kau harus di sebelahku agar tidak digigit mereka," katanya overprotektif. Bretha bahkan wanti-wanti Amaara. Mungkin takut Omega itu di-bully saudarinya seperti dulu.
"Terima kasih ...." kata Ameera yang entah kenapa berubah sopan. Dia bahkan tersenyum kepada semua orang. Jadi inferior. Mungkin karena siksaan Oslo berpengaruh kepada mental kecilnya. "Ah, halo ...." Dia juga mengangguk pada Mile Phakpum. Agak merona, tapi segera mengalihkan matanya.
"Hmmh, selamat datang dariku, Bretha sayang ...." kata Luhiang dari kejauhan. Wanita itu baru saja duduk. Ingin menyimak. Lalu menyentakkan dagunya. "Kalau begitu lanjutkanlah. Karena kami sudah menunggumu sedari tadi."
DEG
"Oh, really? Wah ... maaf ...." kata Bretha sambil mengeluarkan peta dari dalam tasnya. Omega itu nyengir tanpa rasa bersalah. Lalu menggelar benda itu di atas meja. "Aku tadi sibuk memastikan data-data. Sempat ragu, tapi kurasa yang sekarang sudah aman saja ...."
Paing pun beranjak mendekat. "Ho, apa itu?" tanyanya dengan alis mengerut.
"Mau tahu?" kata Bretha. "Ini adalah hasil usahaku beberapa minggu. Agak susah, tapi tentu takkan sia-sia."
"Hmmm ...."
Seringaian Bretha perlahan muncul eksostis. "Sekarang biar dengarkanlan seksama. Stay still. Karena kalian akan tahu siapa dan daerah mana saja yang sudah menerima obatnya."