"Dunia di mataku adalah trek lurus. Jalani apa adanya, kendalikan setiap ada masalah, dan terus menuju ke garis akhir. Namun, suatu saat seseorang pernah berkata padaku: Kau merasa begitu hanya karena belum menemukan muse versimu sendiri."
(Paing Takhon)
***
12 Menit Lalu ....
________________________
BRAKKHHH!!
"TIDAK MAU! TIDAAAAAAAAAK! POKOK TIDAK AKAN KUBUKAKAN PINTUNYA SAMPAI KIAMAT!" jerit Yuzu, adik angkat Paing dari dalam kamar. Omega yang hampir menikah itu kini kembali menjadi bocah. Dia mencuri kotak kado Paing dari dalam loker. Dia mengambil dompet serta ponsel Paing pada pagi buta. Bahkan juga kunci mobil lelaki itu.
Kata Yuzu, dia benci kebiasaan baru Paing semenjak pulang dari rumah sakit. Dia tidak suka sang kakak kesayangan jadi over dalam olahraga. Baik boxing, judo, atau latihan berpedang di dojo pribadi mereka.
Tadinya Yuzu pikir sang kakak sedang melepas stress dari pekerjaan. Dia pun menemani sambil coret-coret sketsa, sesekali mengajak ngobrol meski jarang ditanggapi.
"Phi, Phi ... tau tidak? Kemarin Wen memberiku kalung baru loh. Padahal sudah kubilang jangan ada hadiah lagi. Tapi dia tetap saja melakukannya. Lihat? Sekarang sudah kupakai. Cantik tidak? Cantik kan ...."
Yuzu tahu, kalau sang kakak sudah terlanjur fokus, melirik pun tidak dilakukan samasekali. Dia tetap menebas udara dengan kekuatan besar, melompat, berteriak, lalu mengheningkan cipta untuk gerakan tertentu.
"HIAH! HARRGH! HRRMH! HIAH!"
BRAKHHHHHHHH!!
Akhirnya, Yuzu tetap mengoceh sesuka hati. Dia tak masalah selama tetap bermain bersama sang kakak, toh selama ini mereka jarang bersama.
"Phi tahu? Aku dulu benci memikirkan pernikahan. Tapi karena pacarku adalah Wen, rasanya tepat saja kalau kita hidup bersama. Hihihi. Jadi, buat apa lama-lama? Pikirku. Toh aku seorang Omega. Nanti pasti jadi istri juga."
Sayang, semakin hari aura Paing semakin berat. Gerakannya juga jadi kasar, tapi dia tidak mengatakan apa-apa.
DEG
"Tunggu, tunggu, tunggu. Phi ini sedang ada masalah, ya?" pikir Yuzu kemudian. Dia pun mulai berhenti menggambar, lalu memperhatikan ekspresi Paing yang tampak tertekan beban.
Yuzu bingung karena sang kakak sepertinya sangat memaksakan diri. Terlihat bagaimana mimisan mengalir dari hidungnya, tapi tak ada kata berhenti.
BUAGH! BUAGH! BUAGH!
Paing tetap meninju samsak hingga keringat bercucuran ke lantai. Dia juga berganti sarung tinju beberapa kali. Bahkan membiarkan rambutnya berantakan begitu saja.
Oh, tidak, tidak. Yuzu semakin tak bisa melihat sang kakak seperti itu. Apalagi dia menyadari piring makanan yang dibawa tak pernah disentuh Paing selama ini."
"Tapi aku tidak berani bertanya," batin Yuzu khawatir. Dia pun memendam kemelut itu sendiri, sampai suatu hari memergoki Paing baru berpedang setelah pulang bekerja.
"HIAH!"
BRAKH!
"HIAH! HARGH!"
SRAAAAAAKHH! BRAKH!
Pukul 2 pagi, bayangkan. Diantara gelapnya lampu dojo yang hanya menyala satu, Yuzu pun menjatuhkan boneka yang dia peluk sambil menangis.
Blukh!
"Phi, Phi ... tolong cerita padaku ... hiks, hiks ... hiks ...." Bahu Yuzu sampai gemetar hebat. Air matanya juga susah berhenti, sementara piama kucing yang dikenakan mulai basah karena dipakai mengusap wajah. "Phi, please. Bicara saja denganku, Phi. Aku kan masih ada di sini. Aku belum pergi dengan Wen, Phi. Aku masih bisa mendengarkan apapun ... hiks ... hiks ....."
Barulah setelah Yuzu begitu lima menitan, Paing pun melempar pedangnya begitu saja.
Prakh!
Dia menghela napas panjang yang terdengar berat. Masih diam, tapi mendekati Yuzu dengan pelukan.
Brugh!
"Umnn, unn, hikss ... hiks ... hiks ...." isak Yuzu yang langsung balas memeluk. Dia meremas hakama sang kakak begitu kuat, padahal bukan dirinya yang memiliki masalah di tempat itu. "Phi tahu kan? Aku ini sayang Phi. Pokoknya Phi paling best sejagat bumi. Idolaku! Saudaraku! Keluargaku! Panutanku! Segala-galanya buatku. Hiks ... hiks ... hiks ... jadi jangan menyimpannya sendiri. Aku ini, kan--hks ... mau jadi adikmu bukan untuk membuat Phi tetap begini."
Paing mengelus-elus rambut Yuzu dengan jemari yang sudah lecet. Dia berbisik "Ssshh, shhh" begitu pelan. Lalu menepuk punggungnya seperti bayi. Meskipun begitu, bukannya tenang tangisan Yuzu malah semakin kencang. Dia membuat dojo itu jadi tak sepi lagi, bahkan suaranya sampai menembus keluar dinding.
Satu jam kemudian, Yuzu baru sepenuhnya tenang dalam kondisi tiduran di pangkuan Paing. Dia meringkuk di kursi dojo sambil memeluk boneka. Sesekali juga mengucek mata bengkaknya. "Jadi Phi suka Omega itu? Kok bisa? Aku tahu loh wajahnya. Dia kan bos sepupuku. Menurutku lebih good looking mantan Phi yang waktu itu."
Paing terkekeh mendengar pendapat Yuzu. "Mantanku yang waktu itu? Yang mana?"
Yuzu refleks mengerucutkan bibir. "Ck. Mantan Phi kan cuma dua," katanya. "Ya, yang good looking lah. Satunya kan sangat jelek--"
DEG
"Heh, mulutnya. Ha ha ha ha ...." sela Paing sampai tertawa. Dia memang tidak ribet memilih pasangan selama ini. Mungkin karena tidak punya kriteria khusus, jadi asal merasa "klik", maka Paing akan menerima. Sayang, tidak ribet bukan berarti mudah jatuh cinta. Paing kadang heran kenapa jarang tertarik dengan seseorang. Namun, memang begitulah dia. "Hei, memang siapa yang ingin suka? Dasar. Phi saja tidak benar-benar paham. Kau pikir kenapa aku melampiaskannya di tempat ini?" katanya sambil mencubit hidung merah Yuzu.
"Ya sudah. Kalau begitu tidak perlu datang ke acara resepsinya, Phi. Buat apa. Nanti malah makin cemburu," kata Yuzu dengan nada geramnya. "Aku melarangmu loh. Jangan, ya. Pokoknya Phi tidak boleh begini lagi."
"Huh? Tidak lah. Semua kan sudah kusiapkan. Tentu saja harus datang. Lagipula dia dulu adik tingkatku. Hubungan baik itu tak boleh dirusak begitu saja," kata Paing.
Yuzu langsung menatapnya dengan mata marah-marah. "Seriusan, Phi?" katanya sampai terduduk kaget.
"Of course. Kau lihat parfum yang baru dibungkus pelayan di meja? Itu kado untuk pernikahan mereka."
DEG
"WHAT THE FUCK--?!" kata Yuzu dengan mata membola. "Yang benar saja, Phi?!"
Bagaimana tidak, Yuzu pikir parfum Clive Christian Imperial Majesty dan Shumukh Prix tadi siang merupakan hadiah untuk calon kolega penting. Jadi, tujuannya memang untuk kepentingan bisnis. Tapi kenapa malah seperti ini? (*)
(*) Yang pertama, jenis parfum yang dibanderol sekitar $21.000 setara (2,5 miliyar rupiah) per 30 ml-nya. Yang kedua, parfum yang dibanderol $1,2 juta (setara 18 miliyar rupiah). Mobil Mile sama Apo kalah mahal sama ini parfum.
"Why?"
"Why, why demi apa sih? Phi, pokoknya aku tidak suka kalau sampai nanti datang ke sana!" bentak Yuzu. Jarang-jarang sang adik angkat begitu, tapi kali ini Paing sampai harus menangkup dua bahunya.
"Listen, Zu," kata Paing. "Dia adalah Omega dengan seorang Alpha sah, tiga baby, dan keluarga yang utuh. Phi salah besar kalau suka seseorang sepertinya, dan cemburu itu lebih keliru lagi. So, anggaplah ini bentuk permintaan maaf. Dua parfum bukan apa-apa dibandingkan pikiranku yang terus terganggu. And Phi just wanna be ok setelah beberapa hari lalu, do you feel me?"
Yuzu pun akhirnya mengangguk kecil. "Ok, I feel you," katanya. "Tapi tetap jangan datang, ya. Dikirimkan kan bisa. Aku tidak mau Phi kelihatan sedih lagi."
"No, I'm ok."
"No, you're not ok." Yuzu tetap menggeleng pelan. Tapi Paing juga mengimbangi kekeras-kepalaan gadis itu.
"No, I'm ok now, trust me," kata Paing. "Semua emosi buruk sudah Phi buang setelah merenung beberapa hari ini. Jadi jangan buat usaha itu malah sia-sia."
Yuzu pun terdiam saja. Dia tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi Paing cepat-cepat menepuk ubunnya. "Sudah, sana. Tidur lagi. Phi akan pergi ke kamar juga. Sleep tight."
Cup. Setelah mengecup kening sang adik, Paing berdiri untuk beres-beres dojo. Dia kelihatan lelah sekali, tapi juga lega dalam waktu bersamaan. Namun, Yuzu yang tidak bisa memahami isi pikirannya berakhir memilih lari dari tempat itu.
Brakhh!
Dia membanting pintu dojo, terisak, tapi Paing tidak mengejarnya samasekali. Sang Alpha tetap ingin menjalankan apa yang sudah direncanakan. Karena menurutnya Yuzu nanti akan mengerti.
"Tidak ingin potong rambut, huh? Omong kosong macam apa itu," batin Paing setelah empat hari berlalu. Sang Alpha sempat menatap potretnya sendiri di depan cermin, walau yang keluar adalah senyuman miris. Di sana di memutuskan untuk potong rambut, bersih-bersih, cukuran hingga benar-benar rapi, lalu mandi ribut untuk persiapan pergi.
Kres-kres-kres-kres-kres-kres
Sebenarnya, Paing tidak kepikiran apa-apa saat mulai mulai menggunting rambutnya. Dia hanya merasa sedikit aneh karena kepalanya perlahan menjadi ringan, tapi itu bukan sensasi baru. Toh dulu Yuzu pernah memaksanya ganti penampilan. Jadi, kini rasanya biasa saja.
Namun, setelah memandang sosok barunya di depan cermin, tidak dipungkiri obrolan dengan Apo sempat terbayang lagi sekilas.
"Bagaimana menurutmu? Cocok? Walau jujur aku kurang nyaman setelah itu. Mungkin karena kebiasaan. Jadi, kupanjangkan lagi saja. Ha ha ha ha. Ringan sekali kalau tak ada yang bisa kuikat. Wkwk."
"Well, bagus saja semuanya. Phi kan basic-nya model. Mana ada terlihat jelek."
"Goddammit, really?"
"Hm"
"Well, sepertinya memang tidak buruk," kata Paing dngan dengusan pelan. "Apa salahnya memulai hal baru. Tapi memang konyol kalau ingat langsung stress setelah jatuh cinta. Ha ha ha." Lelaki itu tampak puas menertawakan diri sendiri.
Sayang, yang terjadi malah benar-benar di luar rencana. Pagi itu hampir pukul tujuh. Tiba-tiba saja Yuzu membuat keributan di rumah. Dia melakukan segala hal untuk mencegahnya pergi, dan sekarang jadilah seperti ini.
Yuzu berteriak tanpa kendali. Dia melempar barang-barang dalam kamarnya ke pintu, lalu mengancam sambil menangis.
BRAKH! PRAKH! PRAKH!
"POKOKNYA SEKALI TIDAK YA TIDAK, PHI! JANGAN PERGI KE SANA! ATAU AKU PECAHKAN KADO-NYA SEKARANG JUGA!"
DEG
Sial. Mungkin sang adik sekarang sudah dalam mode siap melempar. Sehingga kepanikan Paing menular ke bodyguard-nya di belakang sana.
"Apa? Wait, Yuzu. Jangan begitu, tolonglah," kata Paing yang mendekat ke pintu. Dia benar-benar dalam kondisi siap berangkat, tapi bagaimana jika semua piranti pentingnya disita? Mereka benar-benar mencerminkan saudara meski tidak sedarah.
"NO! NEVER! KARENA SIAPA PUN DIA, KALAU MENYAKITI KAKAKKU PASTI KUBENCI! MAU CEO, ARTIS, ORANG SUCI, ATAU BAHKAN DEWA-DEWA--TAK PEDULI! KE SANA SAJA ATAU AKU YANG MENGHUKUMNYA SUATU HARI NANTI!"
Oh, benar-benar pahlawan cilik. Paing pun akhirnya memutar otak, lalu menyuruh seorang bodyguard menelpon untuk kepentingan RSVP.
"Fine, oke. Sekarang Dew akan bilang ke petugasnya kalau Phi tak jadi datang," kata Paing berusaha merayu.
DEG
"S-Sungguh?" tanya Yuzu sambil menurunkan kotak kadonya.
"Iya, iya. Tentu. Yang penting kau tenang dulu di dalam sana," kata Paing. "Dengarkan, oke? Ini, Dew dalam proses menghubungi mereka."
Yuzu pun berjalan mendekat ke pintu, lalu melakukan apa yang Paing bilang. Dia lega karena sang kakak memang menuruti maunya, bahkan berbohong kepada Apo soal pergi ke luar negeri.
"Sudah, Tuan Takhon," kata Dew setelah menutup telepon dengan sang pramugari. "Mereka mencatat Anda tidak hadir dan pesawatnya akan segera landas."
DEG
"Oh, oke. Bagus," kata Paing. Dia pun tersenyum masam, tapi lega setelah Yuzu keluar kamar untuk memeluknya begitu erat.
BRUGH!
"PHIIII!" jerit Yuzu sambil menangis. Dia pun membenamkan wajah di dada sang kakak, walau ekspresi Paing benar-benar sulit dideskripsikan. "Maaf, huhuhu ... aku cuma tidak mau Phi kenapa-napa. Hiks, ya ampun. Hiks ... hiks ... hiks ...."
Paing pun mengeluh ubun gadis kecilnya. "Hm, hm. Iya, tak masalah," katanya dengan tepukan lembut di punggung. "Tapi izinkan Dew untuk mengirimkan kadonya sekarang juga, oke? Itu kan perjanjian diantara kita."
"Umn," kata Yuzu yang lansung mengangguk pelan. "Silahkan. Ambil saja. Aku sudah tak peduli lagi!" serunya dengan nada kesal. "Ajak aku jalan-jalan, Phi. Kemana saja. Yang penting aku ingin melihat Phi senang hari ini."
"Oke, oke. Ayo." Paing pun mengusap wajah Yuzu sehingga adiknya berhenti menangis. "Kemana bagusnya tujuan kita? Taman hiburan? Nonton? Atau melihat opera lukis?"
Yuzu malah memarahinya. "Kan sudah kubilang kemana saja! Aaah! Phi ini benar-benar bodoh!"
Paing hanya tertawa karena tingkah Omega itu. "Ha ha ha, good. Kalau begitu ketiga-tiganya." Lelaki itu kemudian menggandeng sang adik keluar rumah. "Tapi mungkin ... pertama-tama kita harus mendandanimu dulu sebelum pergi mendadak seperti ini."
Yuzu pun langsung nyengir. "Oke!"
"Dan jangan lupa beritahu Wen sekarang kau jalan-jalan dengan kakakmu."
"Siap!"
"Dasar ...."
"Ha ha ha ha ha."
Hanya tawa yang terdengar seperti biasa, memang. Namun saat Paing melihat adiknya bahagia kembali. Rasanya keputusan ini juga tidak terlalu buruk.