webnovel

Bab 5: Ketika Semua Menjadi Lebih Rumit

Hari-hari berlalu, dan Dylan semakin merasa nyaman berada di dekat Zara. Meski ada banyak perasaan yang mulai tumbuh di dalam hatinya, dia tahu betul kalau Zara belum siap untuk membuka hati sepenuhnya. Tapi, Dylan tetap santai, tidak memaksakan diri. Mereka menjalani hubungan ini dengan cara yang unik—terkadang lebih seperti teman dekat yang saling menggoda, kadang juga seperti pasangan yang sudah saling mengenal jauh. Semua berjalan dengan lancar, meskipun ada saat-saat canggung di antara mereka.

Namun, semua mulai berubah ketika sebuah kejadian tak terduga menghampiri mereka.

Pada suatu Jumat sore, setelah seharian penuh bekerja di kantor, Dylan memutuskan untuk menjemput Zara seperti biasa. Biasanya, Zara sudah selesai bekerja lebih dulu, dan mereka bisa langsung pergi makan atau sekadar nongkrong santai. Tapi hari itu, ada yang berbeda. Ketika Dylan tiba di kantor, dia melihat Zara sedang berdiri di depan ruang rapat dengan ekspresi yang tampak... tegang.

"Zara? Kenapa lo kelihatan pusing gitu?" tanya Dylan sambil mendekat.

Zara langsung menoleh, dan senyumannya terlihat agak dipaksakan. "Oh, nggak apa-apa kok, Dylan. Lagi ada meeting sama klien besar, jadi agak deg-degan."

Dylan menatapnya dengan penuh perhatian. "Lo kelihatan nggak nyaman. Lo tahu kan, lo nggak harus sok-sokan tampak baik-baik aja di depan gue. Gue bisa bantu, kalau perlu."

Zara terkekeh kecil. "Gue nggak pengen merepotin lo, Dylan. Lagipula, semuanya masih terkendali kok."

Tapi, jelas ada yang nggak beres. Dylan bisa merasakan itu. "Lo nggak perlu pura-pura, Zara. Gue tahu, ada sesuatu yang lo sembunyikan. Boleh gue bantu?"

Zara memutar matanya, berusaha menghindar. "Gue nggak mau lo ikut campur. Nanti kalau gue nggak berhasil, gue bakal malu. Gimana sih, lo ini? Beneran pengen banget bantu gue?"

Dylan menahan tawa, merasa heran dengan sikap Zara yang cenderung keras kepala. "Lo ini, Zara. Nggak ngerti lagi deh. Yaudah deh, gue tunggu di luar aja. Tapi kalau lo butuh bantuan, lo tahu harus kemana."

Zara tersenyum canggung dan mengangguk, meski matanya jelas nggak sepenuhnya setuju. Dylan pergi ke luar ruangan, tapi dia tetap memperhatikan Zara dari kejauhan. Tidak lama, dia melihat beberapa rekan kerja Zara keluar dari ruang rapat, dan akhirnya, Zara sendiri keluar dengan ekspresi yang lebih lega.

"Tapi, lo berhasil kan? Laporannya oke?" Dylan langsung menyergap Zara dengan penuh rasa ingin tahu.

Zara mengangguk, kali ini senyumnya lebih tulus. "Iya, gue berhasil. Mungkin gue lebay, ya. Tapi, gue suka aja merasa kalau gue harus bisa ngerjain semuanya sendiri tanpa bantuan orang lain."

Dylan cuma mengangkat bahu. "Lo emang keras kepala, ya. Tapi itu yang gue suka dari lo."

Zara melirik Dylan dengan tatapan aneh. "Hah? Lo suka? Kenapa, gue nggak paham."

Dylan tersenyum dengan nakal. "Ya, karena lo nggak gampang diatur. Gue suka lo yang mandiri kayak gitu."

Zara mendengus, tidak tahu harus bagaimana menghadapi pernyataan itu. "Lo ini, Dylan. Bikin gue bingung deh."

Dylan tertawa ringan. "Mudah-mudahan itu berarti gue berhasil bikin lo merasa nyaman."

Namun, saat mereka berdua berjalan keluar dari kantor, suasana tiba-tiba menjadi agak canggung. Zara merasa ada sesuatu yang aneh, tapi dia tidak bisa mengidentifikasinya. Apakah perasaan itu... ada sesuatu yang lebih? Ataukah dia cuma kebawa suasana? Zara tidak bisa memastikannya.

---

Beberapa hari kemudian, Dylan kembali menunjukkan perhatian yang lebih pada Zara. Dia sengaja datang ke kantor untuk mengantarkan makan siang atau bahkan hanya untuk mengobrol sebentar setelah kerja. Zara mulai terbiasa dengan perhatian ini, meski dia tidak tahu harus merespons seperti apa.

Suatu sore, mereka duduk berdua di sebuah kafe favorit mereka setelah seharian bekerja. Dylan sedang bercanda tentang pekerjaan yang kadang bikin dia bosan, sementara Zara hanya mengangguk, lebih suka mendengarkan.

Tiba-tiba, saat mereka sedang asyik ngobrol, seorang wanita muda mendekati mereka. Zara langsung mengenal wanita itu.

"Zara, Dylan, hai!" wanita itu menyapa dengan ceria. Zara terkejut, karena wanita ini adalah mantan rekan kerja Dylan di perusahaan sebelumnya, yaitu Amanda.

Amanda tersenyum lebar dan langsung duduk di meja mereka. "Nggak nyangka bisa ketemu kalian di sini. Lama nggak ketemu, Dylan. Gimana kabarnya?"

Dylan tersenyum dan mengangguk. "Amanda, lama nggak ketemu. Baik kok, lo sendiri gimana?"

Sementara Amanda dan Dylan asyik ngobrol, Zara merasa ada yang aneh. Amanda sepertinya terlalu dekat dengan Dylan. Zara merasa sedikit cemburu, meskipun dia tidak ingin mengakuinya.

"Amanda, lo masih kerja di perusahaan yang sama, kan?" tanya Zara dengan suara yang agak ketus, tanpa sadar.

Amanda menoleh ke Zara dan tertawa. "Iya, masih kok. Tapi, kayaknya Dylan lebih sibuk sekarang, ya?"

Zara menatap Amanda, merasa ada sedikit ketegangan. Dia tahu Amanda ini tipe wanita yang bisa sangat menggoda. Dan, dia sedikit merasa cemas, walaupun tidak mau menunjukkannya.

Dylan merasakan ketegangan itu. Dia langsung menoleh ke Zara, yang jelas terlihat cemberut. "Zara, kenapa lo jadi bete gitu? Gue kan cuma ngobrol sama Amanda sebentar."

Zara mencoba tersenyum dan mengubah topik pembicaraan, meskipun hatinya sedikit terganggu. "Nggak, gue baik-baik aja. Cuma capek aja dari kerjaan tadi."

Dylan melihat Zara, tahu betul ada yang mengganjal di hati Zara, meski dia nggak bisa menebaknya. Untuk pertama kalinya, Dylan merasa seolah-olah hubungan mereka sedang memasuki jalur yang lebih rumit dari yang dia kira.

Chương tiếp theo