Hari itu, Zara merasa ada yang aneh dengan dirinya. Perasaan yang dia coba hindari mulai muncul lagi, dan kali ini rasanya berbeda. Dia nggak bisa menyangkal bahwa dia mulai merasa nyaman dan, entah kenapa, mulai tertarik sama Dylan. Tapi, Zara tuh tipe orang yang lebih suka menyembunyikan perasaan. Dia nggak suka ngerasa terlalu terbuka, apalagi kalau itu soal cinta.
Jadi, untuk mengalihkan perhatiannya, Zara mutusin buat ngabisin waktu sama teman-temannya di kafe. Lia, yang udah tahu segalanya soal Zara dan Dylan, udah pasti langsung ngegodain pas dia dateng.
"Gue tau deh, lo pasti mau cerita tentang Dylan, kan?" Lia langsung nyerang dengan senyumnya yang penuh misteri.
Zara menatap Lia dengan tatapan datar. "Nggak, sih. Cuma, gue pengen ngomong soal kerjaan doang. Gak ada hubungannya sama Dylan, kok."
Tapi Lia nggak gampang dibodohin. "Serius lo? Gue liat lo kayak mikirin Dylan mulu dari pagi, sih. Nggak percaya gue? Coba jawab jujur, lo udah mulai suka sama dia, kan?"
Zara menghela napas. "Gue nggak tau, Lia. Gini, gue tuh nggak pengen ribet soal perasaan. Gue nggak mau berharap banyak, karena, lo tau sendiri, kalau udah harapannya tinggi, jatuhnya lebih sakit kalau nggak terbalas."
Lia langsung menatapnya dengan serius. "Lo mikir terlalu jauh, Zara. Kadang kita nggak perlu mikirin hal yang rumit-rumit. Yang penting, nikmatin aja dulu, jangan terlalu serius."
Zara terdiam. Kata-kata Lia ada benarnya, sih. Tapi dia tetap nggak bisa menutupi rasa canggung yang muncul setiap kali dia berinteraksi sama Dylan.
---
Sementara itu, di sisi lain, Dylan juga lagi mikirin Zara. Dia ngerasa nyaman banget ngobrol sama Zara, tapi ada sesuatu yang dia nggak bisa jelasin. Nggak bisa bohong, sih, dia merasa ada ketertarikan lebih. Tapi, Dylan tipe orang yang nggak terburu-buru dalam urusan cinta. Jadi, dia mencoba menahan diri untuk nggak terlalu cepat menyatakan perasaannya.
Hari itu, Dylan ngajak Zara jalan lagi. Kali ini, mereka mutusin buat makan malam bareng di restoran yang cozy. Dari awal ketemu, suasana langsung jadi santai. Mereka ngobrol banyak hal, mulai dari kerjaan sampai film yang mereka tonton. Zara yang biasanya malu-malu, sekarang udah mulai merasa lebih nyaman sama Dylan. Rasanya kayak mereka udah kenal lama banget, meskipun baru beberapa kali ketemu.
Saat mereka makan dessert bareng, Dylan tiba-tiba ngomong hal yang cukup bikin Zara terkejut.
"Zara, gue rasa, kita udah kenal cukup lama, kan? Lo nggak ngerasa aneh atau canggung nggak sih, kalau kita ngobrol kayak gini terus?"
Zara terdiam sejenak, mencerna kata-kata Dylan. "Aneh, sih. Tapi gue ngerasa nyaman, kok. Kayak kita udah saling ngerti aja."
Dylan tersenyum lebar. "Gue juga ngerasain yang sama. Mungkin emang karena kita beda banget, ya? Tapi itu justru bikin kita punya cara sendiri buat ngobrol."
Zara tertawa. "Iya, sih. Lo yang bikin semua hal jadi kelihatan gampang. Gue kadang-kadang bingung sama lo, Dylan. Lo nggak pernah kelihatan stres atau khawatir. Kayak semuanya gampang buat lo."
Dylan merespons dengan gaya santainya. "Ah, itu karena gue udah terbiasa sama hal-hal yang nggak pasti. Gue percaya, semuanya pasti ada jalan keluarnya, tinggal gimana kita jalanin aja."
Zara cuma bisa geleng-geleng kepala. Dylan memang punya cara berpikir yang beda. Dan, anehnya, itu bikin Zara ngerasa nyaman. Dia nggak pernah merasa tertekan atau terbebani. Segala hal terasa ringan kalau sama Dylan. Canggung sih, pasti. Tapi, itu justru yang bikin semuanya jadi lucu.
---
Setelah selesai makan malam, mereka mutusin buat jalan kaki di sekitar taman. Udara malam itu sejuk, dan suasana di sekitar mereka terasa tenang. Zara merasakan perasaan yang jarang dia rasakan: ketenangan. Bukan cuma itu, ada juga rasa hangat yang tumbuh di dalam hatinya. Dia nggak bisa jelasin, tapi entah kenapa, bersama Dylan, dia merasa bisa jadi diri sendiri.
Saat mereka berjalan berdua, tiba-tiba Dylan berhenti dan memandang Zara.
"Zara, gue tahu kita baru kenal, tapi… Gue nggak bisa bohong. Gue ngerasa nyaman sama lo. Entah kenapa, gue ngerasa lo tuh beda dari yang lain."
Zara terkejut. Jantungnya berdetak lebih cepat. Apakah ini pertanda baik? Apa Dylan punya perasaan yang sama?
Sebelum Zara sempat menjawab, Dylan melanjutkan. "Gue nggak tahu ke depannya gimana, tapi gue pengen kita bisa terus kayak gini, tanpa harus mikirin apa yang bakal terjadi nanti."
Zara bingung, tapi di sisi lain, dia merasa hati kecilnya setuju. "Jadi, lo nggak takut buat… jatuh cinta?"
Dylan cuma senyum, "Mungkin gue takut, tapi itu bukan alasan buat nggak coba. Gue cuma pengen coba jalanin semuanya dengan lo. Kalau ternyata emang nggak cocok, yaudah, kita cari cara buat tetap jadi teman, kan?"
Zara merasa hangat di dadanya. Entah kenapa, kata-kata Dylan itu malah bikin dia merasa tenang. Mungkin dia nggak perlu terlalu khawatir. Mungkin, ini adalah awal dari sesuatu yang baru. Sesuatu yang nggak perlu terlalu dipikirkan, tapi dinikmati aja.