Hari itu, matahari bersinar terik di langit Jakarta. Rangga baru saja selesai dengan presentasi penting di kantornya. Dalam usia 30 tahun, dia sudah berhasil mencapai posisi manajer di sebuah perusahaan teknologi ternama. Kariernya melesat cepat, tapi di balik kesuksesan itu, ada kekosongan yang tak bisa diisi dengan pekerjaan atau prestasi.
Saat jam kantor berakhir, Rangga memutuskan untuk mengunjungi kafe langganannya, Kafe Literasi, sebuah tempat kecil yang tenang dan nyaman di sudut kota. Kafe ini dikenal karena suasananya yang damai, ideal untuk membaca buku atau sekadar bersantai setelah hari yang panjang.
Sambil menyeruput kopi hitam yang panas, Rangga membuka sebuah novel klasik. Namun, pikirannya tak bisa fokus pada cerita dalam buku itu. Hatinya gelisah, merindukan sesuatu yang belum jelas bentuknya. Mungkin karena sudah lama dia tidak berhubungan serius dengan seorang wanita, atau mungkin dia hanya merasa lelah dengan rutinitas yang monoton.
Ketika dia tenggelam dalam pikirannya, suara familiar mengagetkannya. "Rangga? Lama tidak bertemu, bro!"
Rangga mengangkat kepalanya dan melihat Doni, sahabat lamanya sejak SMA, berdiri di depannya dengan senyum lebar. Doni, dengan gaya kasualnya, tampak segar dan penuh energi seperti biasanya.
"Doni! Apa kabar? Lama tidak ketemu!" Rangga menjawab dengan antusias. Mereka berdua berpelukan singkat, tanda persahabatan yang masih kuat meski waktu memisahkan mereka.
"Aku baik, cuma sibuk dengan perjalanan bisnis. Baru pulang dari Eropa beberapa minggu lalu. Kamu sendiri bagaimana?" tanya Doni sambil duduk di kursi seberang Rangga.
"Kamu tahu sendiri, sibuk kerja terus. Tapi ya, begitulah," jawab Rangga sambil tersenyum tipis.
Percakapan mereka berlangsung seru, penuh dengan nostalgia dan cerita-cerita lucu dari masa lalu. Doni bercerita tentang pengalamannya di luar negeri, bertemu dengan berbagai orang dan budaya. Sementara itu, Rangga berbagi tentang kemajuan kariernya dan tantangan yang dihadapinya di perusahaan.
"Kamu harus datang ke apartemenku nanti malam. Kita makan malam bersama. Aku punya kejutan buatmu," kata Doni tiba-tiba.
"Keputusan mendadak, tapi kenapa tidak? Aku ikut," jawab Rangga tanpa ragu. Dia merasa senang bisa bertemu lagi dengan sahabatnya dan penasaran dengan kejutan yang dimaksud Doni.
Malam itu, Rangga tiba di apartemen Doni yang terletak di sebuah gedung tinggi di pusat kota. Apartemen itu modern dan elegan, mencerminkan gaya hidup Doni yang dinamis dan kosmopolitan. Saat masuk, Rangga langsung disambut dengan aroma masakan yang menggugah selera.
"Rangga, ini kejutan yang aku maksud," kata Doni sambil menunjuk seorang wanita muda yang sedang sibuk di dapur. "Kenalkan, ini Dira, adikku. Dia baru pulang dari Melbourne setelah menyelesaikan studinya."
Dira berbalik dan tersenyum, wajahnya cerah dan ramah. "Halo, Kak Rangga. Senang akhirnya bisa bertemu denganmu," sapanya sambil mengulurkan tangan.
"Senang bertemu denganmu juga, Dira. Doni sering bercerita tentang kamu," jawab Rangga sambil menjabat tangan Dira.
Sepanjang malam, mereka bertiga menikmati hidangan lezat yang disiapkan oleh Dira. Suasana penuh dengan tawa dan cerita. Dira, dengan kepribadian yang ceria dan penuh semangat, dengan cepat membuat Rangga merasa nyaman. Dia bercerita tentang pengalamannya di Melbourne, kuliah, dan petualangan-petualangan kecilnya di sana.
"Jadi, apa rencana kamu sekarang setelah kembali ke Jakarta?" tanya Rangga penasaran.
"Aku ingin mencari pekerjaan yang sesuai dengan bidangku, manajemen bisnis. Tapi untuk saat ini, aku masih menikmati waktu santai dan menyesuaikan diri kembali dengan kota ini," jawab Dira sambil tersenyum.
Percakapan terus berlanjut hingga malam semakin larut. Doni, yang sudah sedikit mabuk setelah beberapa gelas anggur, mulai mengantuk dan akhirnya pamit untuk tidur lebih awal. "Kalian ngobrol saja. Aku sudah terlalu lelah," katanya sambil tertawa kecil.
Setelah Doni pergi, suasana menjadi lebih intim. Rangga dan Dira melanjutkan percakapan mereka, lebih dalam dan pribadi. Dira bertanya tentang kehidupan Rangga, pekerjaannya, dan pandangannya tentang berbagai hal. Rangga merasa nyaman berbicara dengan Dira, seolah-olah mereka sudah lama saling mengenal.
"Kak Rangga, kamu masih sendiri?" tanya Dira tiba-tiba, matanya tajam menatap Rangga.
Rangga tersenyum canggung. "Iya, masih sendiri. Terlalu sibuk dengan kerjaan, belum ketemu yang cocok saja."
"Hmm, mungkin kamu terlalu sibuk sampai lupa mencari yang cocok," balas Dira dengan nada menggoda.
Rangga tertawa kecil, mencoba mengalihkan perhatian dari topik yang mulai membuatnya sedikit gugup. "Mungkin kamu benar. Tapi aku yakin semuanya akan datang pada waktunya."
Mereka melanjutkan obrolan hingga larut malam, berbicara tentang mimpi, harapan, dan ketakutan mereka. Rangga semakin terpesona oleh kepribadian Dira yang kuat dan mandiri. Di balik sikap cerianya, Dira memiliki kedalaman yang membuat Rangga ingin tahu lebih banyak.
Saat malam semakin larut, Rangga sadar sudah waktunya pamit. "Terima kasih untuk malam yang menyenangkan, Dira. Aku harus pulang sekarang. Besok masih ada banyak pekerjaan menunggu."
"Terima kasih juga, Kak Rangga. Aku senang bisa mengobrol denganmu. Semoga kita bisa bertemu lagi," jawab Dira dengan senyum hangat.
Saat keluar dari apartemen, pikiran Rangga penuh dengan bayangan tentang Dira. Ada sesuatu yang berbeda dari pertemuan ini, sesuatu yang membuat hatinya berdebar lebih kencang. Rangga tahu, perasaannya ini bisa berbahaya, mengingat Dira adalah adik dari sahabat baiknya. Namun, dia tak bisa mengabaikan daya tarik yang begitu kuat.
Di hari-hari berikutnya, Rangga dan Dira terus berkomunikasi lewat pesan singkat dan telepon. Setiap kali menerima pesan dari Dira, Rangga merasa ada getaran yang berbeda, sesuatu yang membuat hari-harinya lebih berwarna. Mereka saling berbagi cerita, saling mendukung, dan perlahan tapi pasti, kedekatan mereka semakin tumbuh.
Di balik semua itu, Rangga berusaha menjaga jarak, menyadari betapa rumitnya situasi ini. Dia tidak ingin merusak persahabatannya dengan Doni. Namun, perasaan yang tumbuh dalam hatinya sulit diabaikan. Rangga tahu, pada akhirnya dia harus membuat keputusan yang sulit, antara mengikuti hatinya atau menjaga kesetiaan kepada sahabatnya.
Malam itu di apartemen, ketika Doni sudah tertidur, Dira kembali memikirkan percakapan mereka. Ada sesuatu dalam diri Rangga yang menarik perhatiannya, membuatnya merasa aman dan nyaman. Dira tahu, perasaan ini bukan sekadar ketertarikan fisik, tapi ada sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang membuatnya ingin mengenal Rangga lebih jauh.
---
Hari-hari berlalu, dan hubungan Rangga dan Dira semakin erat. Setiap kali mereka bertemu, ada percikan yang terasa, sebuah getaran yang semakin sulit diabaikan. Hingga suatu hari, Dira memberanikan diri untuk mengirim pesan yang lebih berani.
"Hai Kak Rangga, apa kabar? Ada waktu untuk minum kopi minggu ini?" tulis Dira di pesan singkatnya.
Rangga yang sedang sibuk di kantor terkejut melihat pesan dari Dira. Namun, tanpa berpikir panjang, ia membalas, "Hai Dira, tentu saja. Bagaimana kalau hari Sabtu ini?"
Pertemuan itu berlangsung di sebuah kafe kecil di sudut kota. Rangga tiba lebih awal dan menunggu dengan gugup. Ketika Dira datang, ia mengenakan gaun sederhana namun anggun, membuat Rangga semakin terpesona.
Mereka berbicara panjang lebar, membicarakan banyak hal dari kehidupan, mimpi, hingga hubungan pribadi. Setiap kata yang terucap, setiap senyuman, membuat Rangga semakin terjerat dalam pesona Dira. Begitu pula sebaliknya, Dira semakin terkesan dengan kedewasaan dan kebaikan hati Rangga.
Waktu berlalu begitu cepat. Saat hari mulai malam, Dira mengajak Rangga untuk berjalan-jalan di taman dekat kafe. Di bawah sinar bulan dan lampu taman yang temaram, mereka melanjutkan percakapan mereka. Tanpa disadari, tangan mereka bersentuhan dan sebuah getaran aneh namun menyenangkan terasa oleh keduanya.
Saat mereka berdiri di tepi danau kecil, Dira memberanikan diri untuk menatap dalam-dalam ke mata Rangga. "Kak Rangga, aku merasa ada sesuatu yang berbeda ketika bersamamu," kata Dira dengan suara lembut.
Rangga terdiam sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Aku juga merasakan hal yang sama, Dira. Tapi kamu tahu, ini tidak mudah. Kamu adik dari sahabatku," jawab Rangga dengan nada serius, matanya tak lepas dari tatapan Dira.Dira mendekat, matanya penuh dengan keyakinan.
"Tapi kita tidak bisa mengabaikan perasaan ini, kan? Aku ingin tahu lebih banyak tentangmu, lebih dari sekedar teman," katanya.Dengan ragu, Rangga mengangkat tangan dan menyentuh pipi Dira. Ada percikan listrik yang terasa di antara mereka.
Malam itu, di bawah cahaya bulan, mereka berbagi ciuman pertama yang penuh gairah dan kerinduan. Sebuah awal dari hubungan yang penuh tantangan namun juga penuh dengan keindahan yang tak terduga.
Nantikan kelanjutan cerita di atas.!
Terus ikuti kami dan jangan lupa,
Hadiah anda adalah motivasi untuk kreasi saya. Beri aku lebih banyak motivasi!