Dengan hati yang terbakar oleh pengkhianatan dan mata yang terpaku pada keadilan, Miguel Zakon kembali ke medan perang. Kali ini, bukan hanya sebagai prajurit Soraz, tetapi sebagai simbol perlawanan terhadap tipu daya dan kekejaman Xraptar. Bab ketiga ini membuka lembaran baru dalam perjuangan Miguel, di mana setiap langkahnya adalah langkah menuju kemenangan atau kehancuran.
Miguel berdiri di atas bukit, mengawasi pasukannya yang bersiap untuk serangan balasan. Api unggun memantulkan bayangan mereka di tanah, seperti penari dalam pertunjukan yang mengerikan. "Kita akan menyerang mereka dengan segala yang kita miliki," ucap Miguel, suaranya keras dan tegas. "Kita akan menunjukkan kepada Xraptar bahwa Soraz tidak akan pernah tunduk pada pengkhianatan."
Letnan Garcia mendekat, wajahnya penuh dengan kekhawatiran. "Tapi Miguel, pasukan kita sudah lelah dan kita kekurangan persediaan. Apakah kita siap untuk ini?"
Miguel menoleh, matanya menyala dengan tekad yang tak tergoyahkan. "Kita tidak punya pilihan, Garcia. Jika kita tidak bertindak sekarang, Xraptar akan mengira kita lemah. Kita harus bertarung, tidak hanya untuk Soraz, tetapi juga untuk kehormatan kita."
Di tengah malam, Miguel memimpin pasukannya melalui lembah yang gelap menuju benteng Xraptar yang baru saja mereka tinggalkan. Mereka bergerak dalam kesunyian, setiap prajurit menyimpan amarah dan keinginan untuk membalas dendam.
Saat fajar menyingsing, Miguel memberikan isyarat, dan serangan dimulai. Panah-panah memenuhi langit, menghujani benteng dengan hujan api. Prajurit-prajurit Soraz menyerbu dengan teriakan perang yang menggelegar, pedang dan perisai mereka bersinar di bawah sinar matahari pagi.
Pertempuran itu lebih sengit daripada sebelumnya. Miguel bertarung di garis depan, mengayunkan pedangnya dengan kekuatan yang tampaknya berasal dari api yang membakar di dalam jiwanya. Setiap serangan Xraptar dijawab dengan serangan balasan yang lebih dahsyat.
Di tengah pertempuran, Miguel bertemu dengan Jenderal Zorin sekali lagi. Kali ini, tidak ada kata-kata yang terucap, hanya suara baja yang bertabrakan. Miguel, dengan kemarahan yang telah lama terpendam, bertarung dengan keganasan yang belum pernah dilihat sebelumnya.
"Kau akan membayar untuk pengkhianatanmu, Zorin!" teriak Miguel, saat pedangnya menemukan jalan melalui pertahanan Jenderal Xraptar.
Pertempuran berakhir dengan kemenangan Soraz, tetapi kemenangan itu pahit. Benteng Xraptar hancur, dan banyak nyawa hilang di kedua sisi. Miguel, meskipun berhasil membalas pengkhianatan, merasakan beratnya harga yang harus dibayar.
Di atas bukit yang menghadap ke reruntuhan benteng Xraptar, Miguel Zakon berdiri seorang diri, merenungkan pertempuran yang baru saja terjadi. Asap hitam mengepul ke langit, membawa dengan mereka nyawa-nyawa yang telah gugur. Kemenangan yang diraihnya terasa hampa, seakan setiap nyawa yang hilang mengambil bagian dari jiwanya.
"Kita telah menang, Miguel," suara Letnan Garcia memecah kesunyian. "Tapi mengapa kau tampak seolah kalah?"
Miguel memalingkan wajahnya, menatap api yang masih berkobar di kejauhan. "Karena setiap kemenangan dalam perang ini adalah kekalahan bagi kemanusiaan kita, Garcia. Kita telah menjadi bayangan dari diri kita sendiri."
Garcia mendekat, menepuk bahu Miguel dengan lembut. "Kita bertarung untuk masa depan Soraz, untuk anak-anak kita, untuk dunia yang lebih baik."
"Tapi apakah dunia yang dibangun di atas puing dan darah bisa disebut lebih baik?" Miguel bertanya, suaranya hampir tidak terdengar.
Sebelum Garcia bisa menjawab, seorang kurir tiba dengan berita baru. "Jenderal Armand memanggilmu, Miguel. Ada perkembangan baru yang harus kau ketahui."
Miguel mengikuti kurir itu kembali ke kamp, meninggalkan Garcia yang masih berdiri di bukit, memandangi api yang tak kunjung padam.
Di tenda komando, Jenderal Armand menunggu dengan ekspresi yang serius. "Xraptar telah mengirim utusan baru, Miguel. Mereka mengaku tidak tahu tentang serangan yang terjadi saat gencatan senjata."
Miguel mengerutkan kening. "Bagaimana mungkin? Zorin sendiri yang memimpin serangan itu."
"Ada kemungkinan Zorin bertindak tanpa perintah dari pemerintahannya," Jenderal Armand menjelaskan. "Kita harus menyelidiki ini lebih lanjut sebelum melanjutkan perang."
Miguel merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Aku akan bertemu dengan utusan itu," katanya. "Aku ingin mendengar sendiri apa yang mereka katakan."
Pertemuan dengan utusan Xraptar terjadi di bawah tenda putih yang didirikan di tengah-tengah kamp. Utusan itu, seorang wanita dengan mata yang menunjukkan kelelahan perang, berdiri tegak di hadapan Miguel.
"Nama saya Lysandra," katanya. "Saya di sini untuk berbicara atas nama rakyat Xraptar yang tidak ingin perang ini berlanjut."
Miguel memperhatikan wanita itu dengan seksama. "Dan apa yang kau tawarkan, Lysandra?"
"Kebenaran," jawabnya. "Zorin telah digulingkan karena pengkhianatannya. Xraptar ingin perdamaian, dan kami bersedia untuk membayar ganti rugi atas kerusakan yang telah kami sebabkan."
Miguel tidak yakin apakah dia bisa mempercayai kata-kata Lysandra, tetapi dia juga tahu bahwa jika ada kesempatan untuk perdamaian, dia tidak boleh mengabaikannya.