Airport
Gwen POV
Jadwal penerbanganku masih jam tujuh malam nanti, aku memeriksa jam di pergelangan tangan. Masih ada waktu untuk duduk di lounge sambil menunggu pesawat yang akan membawanya ke Surabaya.
Setengah melamun aku melewati security check dan berjalan menuju ruang tunggu.
Aku manatap iri pada seorang wanita yang sedang menenangkan anaknya yang sedang menangis. Dadanya terasa sakit dan sesak mengingat semuanya. Pernikahannya. Anaknya. Tidak ada lagi kepala kecil yang menempel di dadanya, tidak ada lagi tubuh kecil yang disangga dengan lengannya. Semua sekarang terasa berbeda. Hampa.
***
Ballroom Hotel
Author POV
Anika berlari maju, menabrak semua orang yang menghalanginya. Dara tidak sempat lagi menahannya.
"SATYA!!"
Dara terpaku di tempat. Gambar Satya dan Tina di layar besar berhenti berciuman. Sekarang wajah Anika tampak jelas di layar besar itu.
Satya tampak sangat terkejut melihat Anika. Tangan Tina masih bergelayut manja di leher Satya. Dengan kasar Satya menepis tangan Tina dan menghampiri Anika.
"Sayang..." panggilnya. Wajah Satya tegang, terlebih ketika dia melihat wajah Anika yang pucat dan penuh amarah itu.
Orang-orang di sana mulai menyadari aura cemburu pada diri Anika. Suasana jadi hening. Setiap pasang mata terpaku pada tiga tokoh drama baru ini: Satya, Anika dan Tina.
"Kenapa dia ada di sini?!!" tanya Anika. Dadanya bergetar naik-turun, menahan amarah yang bergejolak dalam dirinya.
"Aku juga tidak tahu. Mom yang ajak dia ke sini," jawab Satya panik.
"Hi, Anika..." Tina tersenyum sambil melangkah maju, lengannya kembali menggelayut manja di lengan Satya. Tingkah lakunya, kentara sekali, menantang Anika.
Satya menepis tangan Tina dengan kasar. "Kamu apa-apaan sih?!" bentaknya.
Dara merangsek maju. Tampak sosok Tante Namira, wanita itu tengah mengamati perseteruan antara Satya dan Anika. Senyum kecil tersungging di bibirnya. Sepertinya dia bahagia karena rencanya untuk merusak hubungan Satya dan Anika tampaknya berhasil.
"Anika, udah yaa..." bisik Dara yang sudah berhasil mengejar calon kakak iparnya itu. "Ini sudah direncakan. Ka Satya tidak salah sama sekali." Dara berusaha meredam amarah Anika. Dia tidak ingin hal yang buruk terjadi, hanya beberapa hari sebelum pernikahan mereka diselenggarakan. Biar semuanya dibicarakan dengan kepala dingin. Biar semuanya diselesaikan secara dewasa.
Anika menatap Satya. Tatapannya menghujam. Terluka. Kecewa. Lalu dia beranjak pergi. Dara langsung mengekor Anika.
"Anika..." panggil Satya panik dan buru-buru mengikuti Anika.
Dara mendengar Tina sedang berusaha mencegah Satya mengejar Anika.
"Ini kan pesta kamu. Satya. Kamu tidak boleh meninggalkan tamu-tamu lain begitu saja..." ujarnya merajuk.
Anika masuk mobil dan memacunya dengan kencang. Dia menginjak gas dalam-dalam ketika mobil Satya mengikutinya.
"Anika, hati-hati!" Karina berteriak panik.
***
Anika POV
"Anika, jangan gegabah!" Dara berusaha mengingatkan.
Tapi aku tidak peduli. Aku terus memacu mobil.
Ponselku berdering. Aku melirik sekilas pada ponsel kemudian mematikannya. Ponsel itu berdering lagi. Aku kembali mematikannya. Untuk ketiga kallinya, ponsel itu berdering. Aku membuka kaca jendela dan melemparkan ponsel itu ke luar jendela.
Terdengar suara klakson berulang-ulang dari arah belakang, Dara menoleh cemas. Satya ternyata mengikutiku, berusaha mengejarku. Dara terlihat khawatir dengan kakaknya. Karena, Satya tidak terlalu mahir mengebut.
"Anika, berhenti dulu! Dengar dulu penjelasan Ka Satya," bujuk Dara.
Aku tetap membisu. Tatapanku berkonsentrasi ke jalanan. Dengan mahir aku memainkan setir mobil. Di belakang, mobil Satya tertinggal. Semakin jauh dan semakin jauh.
"Kamu sebenarnya mau ke mana?" desak Dara. Terus terang aku tahu, dia paling tidak tahan berlama-lama berada di mobil yang mengebut kencang.
"Anika, pelan-pelan, aku takut..." Rupanya Karina juga merasakan hal yang sama.
Anika membelokkan mobil dengan cepat. Rem berdecit, bersinggungan dengan aspal jalanan. Dara dan Karina berpegangan pada apa saja yang dapat mereka raih. Menggantungkan keselamatan mereka pada kekuatan cengkeraman tangan mereka.
"Ini kan..." suara Karina terengah-engah, berbaur dengan rasa takut.
"Bandara?!" Dara menyelesaikan ucapan Karina. "Ngapain kita ke bandara?"
Aku tidak menjawab. Aku masih mengendarai mobil seperti orang gila. Kemudian, tiba-tiba, aku menghentikan mobil dan berlari keluar.
Dara dan Karina ikut berlari mengejarku. Kami tidak memedulikan mobil yang diparkir sembarangan.
Aku berlari kencang menuju tempat penjualan tiket.
"Selamat malam..." sapa petugas penjual tiket dengan gayaa profesional. "Mau ke mana?"
Bali? Tidak mereka akan mudah menemukanku kalau aku pergi ke Bali. Sementara aku tidak ingin bertemu mereka semua termasuk Dara dan Karina
Sembari berpikir, sudut mataku melihat sosok Gwen sedang duduk di ruang tunggu lantai dua, seketika ide itu terlintas dalam otakku.
"Surabaya. Penerbangan berikutnya!" sambarku.
"Anika!" Dara terengah-engah berdiri di samping Anika. "Kamu mau ke mana?"
"Ekonomi atau bisnis?" tanya si petugas.
"Yang mana saja! Penerbangan berikutnya!" teriakku.
"Anika... mau ke mana?"
Petugas penjual tiket sekilas melirik Dara.
"Cepat, Mbak!" bentakku sambil melemparkan kartu kredit.
"Oh, maaf. Baik, bu." Si petugas penjual tiket buru-buru menyelesaikan pekerjaannya.
"Silahkan, ini tiketnya. Satu tiket kelas ekonomi untuk penerbangan ke Surabaya pada pukul tujuh malam," ujar si petugas dengan gaya profesional.
***
Author POV
"Satu lagi untuk saya. Penerbangan yang sama dengan dia!" Dara juga melemparkan kartu kreditnya.
Si petugas penjual tiket tampak bingung, tapi kemudian buru-buru melayani pesanan Dara. Anika sudah beranjak pergi.
"Karina!" teriak Dara. "Kejar Anika!"
Karina mengangguk, lalu buru-buru menyusul Anika.
"Dia sudah naik ke ruang tunggu..." kata Karina begitu melihat Dara berlari-lari menghampirinya.
"Aku harus kejar dia. Kamu tolong bilang sama Ka Satya dan Ka Devan. Tidak usah bilang ke mana kami pergi. Bilang saja. Anika baik-baik saja dan aku sama Anika, Oke?"
Karina mengangguk. "Hati-hati yaa..."
Dara mengangguk dan naik ke ruang tunggu.
To Be Continued