Wardana's House
Author POV
"Mas." Gwen membangunkan Rangga yang tengah tertidur nyenyak di sampingnya. Pria itu tampak lelah karena seharian sangat sibuk di kantor.
"Hm." Rangga bergumam pelan, memeluk pinggang Gwen dan menyembunyikan wajah di leher istrinya.
"Bangun."
"Kamu haus?" Rangga berjuang membuka matanya yang sangat mengantuk.
Gwen mengangguk. Rangga menarik napas dan bangkit duduk dengan mata terpejam.
"Aku juga lapar."
"Kamu mau makan apa?"
"Ubi jalar." ujar Gwen.
Rangga membuka matanya lebar-lebar, lalu melirik jam dinding. Pukul dua dini hari? Dimana ada yang menjual ubi jalar semalam ini?
"Sekarang?"
Gwen kembali mengangguk, Rangga lagi-lagi menarik napas dalam-dalam. "Tunggu disini." Ujarnya meraih celana yang tergeletak begitu saja di lantai akibat percintaan mereka menjelang tidur. Ia juga meraih kaus dan mengenakannya.
"Tunggu ya." Ia membungkuk untuk mengecup kening Gwen, lalu melangkah keluar kamar.
Rangga menghabiskan waktu hampir satu jam untuk mencari ubi jalar untuk Gwen. Tapi bukan itu permasalahannya. Begitu ia sampai di rumah membawa martabak itu, Gwen tidak lagi tertarik memakannya.
"Aku tidak mau. Sudah tidak tertarik." Gwen memilih berbaring dengan wajah masam.
Rangga kembali menarik napas dalam-dalam. Ia sudah hafal sekali dengan sikap Gwen akhir-akhir ini, wanita itu benar-benar menguji kesabarannya.
"Maka satu suap saja, Sayang." Bujuknya mendekatkan martabak itu ke mulut Gwen.
"Mas saja yang makan," Gwen menatapnya.
"Tapi kamu yang mau."
"Aku mau Mas yang makan."
Rangga tidak suka ubi jalar. Tapi demi Gwen, ia terpaksa memakannya beberapa suap, Gwen mengamatinya dengan wajah bahagia.
Demi anak. Itulah yang Rangga pikirkan.
Tapi rupanya, belum cukup sampai disana Gwen menguji kesabarannya. Setiap hari, ada saja hal yang membuatnya menatik napas dalam-dalam. Dan Gwen juga menjadi jauh lebih cengeng.
Ia memaksa Rangga menonton film yang sama nyaris setiap malam. Rangga sudah bosan setengah mati melihat film itu, nyaris muak. Tapi Gwen begitu menyukainya.
Rangga sekarang sungguh-sungguh membenci Timothée Chalamet karena filmnya itu.
***
Serena POV
"Tidak makan, non?" tanya bibi ketika aku keluar dari dalam kamar.
"Tolong kupaskan mangga saja, Bi."
"Hanya mangga?"
"Tidak lapar."
"Ada telepon untuk saya, Bi?"
"Banyak, Non. Itu saya catat di kertas." Sebenarnya aku malas melihat tulisan bibi malam-malam begini. Tulisannya kecil-kecil dan rapat.
Tetapi aku masih memaksakan diri untuk melihat catatan pembantuku ini. Karena tidak ada orang lain di apartemen yang dapat kusuruh menerima telepon. Sementara kedua adikku selalu keluyuran dan pulang malam.
Aku memang hanya tinggal bertiga dengan adikku. Dalam sebuah apartemen yang tidak terlalu besar. Tetapi apik dan rapi. Dalam lingkungan yang tenang dan asri. Sesuai dengan yang aku idam-idamkan. Ya, seandainya saja ada Om Rama di sini.... alangkah senangnya dapat menempati apartemen seperti ini ...
Entah sudah berapa puluh kali aku membayangkan. Duduk berdua dengan Om Rama di sofa ini. Dalam keheningan yang membuai. Kemesraan yang memukau. Kehangatan cinta yang menggelora. Hanya mereka berdua. Dalam rumah yang tidak terlalu besar. Tetapi selalu hangat diliputi, cinta dan kemesraan.
Kalau aku melayangkan pandangan ke ruang makan, aku juga mengkhayalkan Om Rama duduk di kepala meja. Aku sendiri yang akan menghidangkan makanan untuknya. Menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Menyeka bibirnya.
Lalu kami akan saling rangkul. Melangkah ke kamar. Dan ... tanganku yang sedang memegang kertas yang bertuliskan nama-nama orang yang menelponku hari ini mendadak mengerjang.
Dua nama yang paling atas aku lewatkan dengan cepat. Tetapi nama yang ketiga ... Nicky. Kenapa ayahku menelepon?
"Hanya menanyakan kesehatan Non Serena," sahut bibi lugu, ketika aku menanyakannya.
"Tidak bilang apa-apa lagi?" desakku penasaran.
"Tidak, Non. Besok kalau telepon lagi saya tanya ..."
"Tidak usah!" potongku, agak terlalu kasar sampai bibi mengerutkan dahinya dengan heran.
Lho, kok marah?
Tentu saja Bibi tidak tahu betapa benci aku pada ayah.... Ayah yang telah menghancurkan hidup anak-anaknya dengan tindakan bejatnya kepada keluarga Wardana, membuatku tidak bisa menginjakan kaki lagi ke rumah itu.
Seandainya saja laki-laki itu bukan ayahku .... jika saja Om Rama mau menikahiku... dan aku meremas kertas di tangan dengan gemas.
***
Lombok
Karina POV
"Tidak usah dibalikin." Mbak Nia menyeruput cangkir teh di depanku. "Simpan saja. Nanti mungkin ada gunanya kalau kamu mau bikin usaha. Lagian, barang-barang itu tidak mungkin Juan pakai sendiri juga, kan?"
Sekarang aku sedang facetime dengan Mbak Nia. Aku meminta pendapatnya tentang perhiasaan yang diberikan Juan kepadaku.
"Tapi lihat barang-barang itu bikin aku malah jadi lebih sering ingat dia. Aku tidak suka itu."
"Tanpa benda itu juga kamu masih ingat dia."
Aku mendesah. "Kalau ada kontes perempuan paling tolol sedunia, kayaknya aku harus ikut. Kemungkinan besar aku pasti menang."
"Kamu mencintai dia, bukan tolol."
"Kalau pintar, aku sudah melupakan dia. Kami sudah berpisah cukup lama."
"Mungkin kamu belum ikhlas menerima perpisahan. Itu wajah. Juan laki-laki pertama untuk kamu. Orangtuanya sudah menganggap kamu seperti anak mereka sendiri. Itu ikatan emosional yang tidak gampang dilepas."
"Tetap saja menyebalkan!" Aku menatap Mbak Nia frustasi. "Mungkin aku memang seharusnya tidak usah maksa tetap tinggal disini. Ini buruk untukku."
"Kamu sudah mikir untung ruginya sebelum ambil keputusan untuk tinggal, Rin. Kadang-kadang, kita memang labil kalau berhadapan dengan kenangan. Tapi kamu pasti bisa mengatasinya."
Aku sama sekali tidak yakin. "Aku tidak suka perasaanku sekarang."
Mbak Nia menenangkan. "Oh ya, kamu sedang apa?" Dia mengalihkan percakapan.
"Aku baru selesai kerja, mau pulang." Aku sudah terbiasa tinggal di sini. Bangun pagi dan berkeliling perkebunan menjadi rutinitas yang sangat aku nikmati. Salah satu alasan kenapa aku memilih bertahan.
"Mau bertemu Juna sebelum pulang?" Mbak Nia mengingatkanku pada Juna.
Aku menggeleng lesu. Menghubungi Juna hanya akan menumbukan harapannya. Apa yang bisa kutawarkan kalau perasaanku masih galau seperti sekarang? Menyakiti hati orang lain untuk mencoba mengobati luka hatiku sama sekali tidak adil.
"Aku tidak yakin lagi soal Juna. Setidaknya sekarang. Mungkin nanti kalau aku benaran sudah move on, dan dia belum keburu ketemu perempuan lain. Orang seperti dia tidak kekurangan pengagum."
***
Jakarta
Hara POV
Di restoran, aku panik. Aku tidak bisa menemukan cincin Anika dimana-mana. Aku sudah meminta tolong pada teman-teman kerjan untuk mencarinya. Mereka mencari cincin itu di seluruh restoran. Tapi cincin tersebut tetap tidak ditemukan.
Bahkan ada beberapa pelayan yang mencari di jalanan luar restoran, tapi tetap tanpa hasil. "Aku tidak boleh menghilangkan cincin itu," kataku panik pada Sarah.
Sarah berusaha menenangkanku. "Mungkin masih ada di apartemen Mika. Kamu sudah mencarinya di kamarmu?"
Aku menggeleng.
"Nah, tenangkan dirimu. Cincin itu pasti ada disana." Sarah tersenyum.
Sarah benar, aku tidak boleh panik. tahu cincin itu sangat berarti bagi Anika. Pemberian pertamanya. Dan aku sudah berjanji akan mengenakannya setiap hari. Anika pasti sedih kalau aku menghilangkannya.
Tapi sekarang aku tidak bisa memikirkan hal itu. Ada banyak pesanan untuk restoran. Aku akan mencari cincin itu di kamar apartemen Mika. Aku yakin cincin itu pasti ada di sana.
Aku sampai ke apartemen Mika sekitar pukul satu dini hari. Ia lansung berlari menuju kamarnya dan menyalakan lampu. Ia mencari-cari di setiap sudut kamar. Tapi cincin tersebut tetap tidak ditemukan. Terakhir kali aku ingat masih mengenakannya saat berbelanja di supermarket kemarin. Hatiku langsung lemas. Cincinku pasti hilang di supermarket. Aku
tidak bisa menemukannya kembali. Aku benar-benar panik sekarang. Aku tidak tahu harus bilang apa pada Anika kalau anakku itu tidak melihat cincin pemberiannya di jemariku. Anika pasti kecewa.
Hanya ada satu solusi. Aku membulatkan tekad dan bergegas menuju rumah keluarga Wardana. Setelah
satu dering tidak mendapat reaksi apa-apa, aku menekannya sekali lagi.
To Be Continued