Kampus
Anika
"Anika."
Aku mengalihkan pandangan, terlihat Ruby dan Lukas berlari menyusulku. Mereka kewalahan mengikutiku yang berjalan cepat ke kelas. Aku mengangkat alis, tak mengerti. Ada apa mereka memanggilku? Apa ada sesuatu yang penting?
"Kamu mana aja sih?"
Aku menggeleng. Dua hari itu aku memang sibuk membereskan kasus keluargaku bersama Om Sultan sehingga tak kuliah. Lagi pula, tak ada yang perlu kukejar di kampus. Tak ada hal penting yang mampu mengalihkan perhatianku di kampus, beda dengan dulu. Datang ke kampus hanya menyakiti hatiku.
Aku menggandeng Ruby, menarik gadis itu agar berjalan mendahului Lukas.
"Yuk ke kelas," ajakku tanpa peduli Lukas yang menatapku tak suka.
Ruby terperangah melihat perlakuanku. Dua hari tak bertemu membuatku mengalami perubahan drastis: aku mendekati Ruby.
"Tumben kamu sangat senang?"
AKU mengangguk sambil tersenyum. Kami terus melangkah dengan Lukas yang mengikuti dengan wajah cemberut.
Merasa tak nyaman, aku berhenti dan menoleh ke belakang.
"Kenapa?"
Lukas menatapku dengan kesal. "Kamu baru datang setelah menghilang, main gandeng-gandeng Ruby," ceplos Lukas asal, mengambil tempat di sebelah Ruby.
Aku melirik Ruby. "Oh, jadi kalian sudah baikan?" ucapku terang-terangan.
Aku mencibir, kemudian meninggalkan pasangan itu cepat-cepat. Masa bodoh.
Aku menggeleng pelan. Tugasku di Jakarta sudah selesai. Kalau tak mengingat Tesis akan dilaksanakan beberapa bulan lagi, aku pasti segera mengurus kepindahannya. Pindah ke Bandung, berada di dekat ibundanya, yang entah kapan akan sadar dari koma.
Aku menerawang merindukan ibuku. Aku begitu merindukan hingga ingin menangis. Sudah lebih dari setahun aku tak merasakan kasih sayang bunda. Walaupun di Hamburg dulu aku juga terpisah, tapi tak seberat ini rasanya.
Melihat ibu yang terbaring lemah dan tak bisa melakukan apa-apa, amat menyakitkan, lebih sakit daripada patah hati.
Patah hati?
Aku tak peduli.
***
Serena POV
Ketukan keras terdengar di pintu apartemen keluargaku, tepat ketika aku mengakhiri obrolanku dengan Tina yang sekaranng tinggal di asrama kampusnya.
Aku bergegas membuka pintu dan melihat Tante Anita memandangku dengan raut cemas.
"Serena..."
"Ada apa?"
"Nisya, dia... sekarat," ujar Tante Anita sangat pelan dengan sorot cemas terlihat di manik matanya.
Aku refleks menutup mulut. Mataku seketika memanas membayangkan nasib adik bungsuku, membuat air mataku luruh seketika. Saat ini, orangtuaku tidak perlu tahu tentang semua ini, beban mereka terlalu banyak akhir-akhir ini.
"Kita ke rumah sakit sekarang. Om Rama sudah menunggu di bawah," ajaknya seraya meraih tanganku.
Aku mengekori langkahnya menuju pelataran lobi depan di mana Om Rama telah duduk di belakang kemudi dengan mesin mobil yang sudah menyala. Tante Anita membuka pintu penumpang di depan, sementara aku membuka pintu belakang tepat di belakang Tante Anita. Setelah kami duduk di dalam mobil, Om Rama mengemudikan mobil dengan sigap. Tak ada yang mengeluarkan suara selama perjalanan. Kami semua larut dengan pikiran masing-masing. Pun aku tak berhenti berdoa agar adikku mampu bertahan. Berkali-kali air mataku jatuh tergelincir di pipi, selalu saja aku usap dengan tanganku. Tak ingin memperlihatkan kegundahan hati pada kedua orang baik di depanku.
***
Lima belas menit perjalanan, mobil yang dikendarai Om Rama berhenti di pintu masuk. Pria itu membiarkanku dan Tante Anita turun terlebih dahulu, sementara dia akan memarkirkan mobil di pelataran parkir rumah sakit. Setelah berlari aku menyusuri selasar rumah sakit menuju ruang ICU, diekori Tante Anita yang jauh tertinggal di belakang.
"Suster, bagaimana adik saya?" tanyaku begitu melihat seorang perawat keluar dari ruang ICU.
"Nama pasien?"
"Sonya Nisya Hilmar, korban kecelakaan tunggal kemarin."
Dahi sang perawat sedikit berkerut sesaat mengingat nama pasien. "Oh iya, pasien ada di ruang operasi. Tadi kami memberi kabar dan sudah ada persetujuan dari keluarga untuk operasi."
Aku tak mampu berkata apa-apa lagi. Tubuhku bergetar menahan tangis. Hampir saja luruh ke lantai jika saja Tante Anita tidak datang tepat waktu tidak mendekapku.
"Tadi, Mas Rama yang menyetujui Nisya dioperasi. Kita berdoa saja semoga operasinya berjalan lancar." Tante Anita berusaha menenangkanku, seraya mengajakku menuju ruang operasi.
Pikiranku melayang memikirkan nasib sang adik.
Lorong-lorong rumah sakit seolah gelap bagiku. Tubuhku serasa melayang, rasanya aku tak sanggup menahan gempuran cobaan yang bertubi-tubi.
"Ayo, kita duduk di sini," ajak Tante Anita, menuntunku duduk di kursi yang berada di depan ruang operasi. Lampu merah menyala di atas pintu ruangan tersebut.
Aku tak berhenti mengucapkan doa dalam hati, berharap resah yang mendekap jiwaku sedikit memberi longgar. Berulang kali menghela dan mengembuskan napas. Detik demi detik terasa sangat menyiksa, aku hanya berharap adikku kuat di dalam sana.
"Bagaimana?" tanya Om Rama yang datang menyusul, lalu duduk di sebelah Tante Anita.
"Masih dioperasi, Mas. Mudah-mudahan ada kabar baik," jawab Tante Anita seraya mengelus punggungku.
"Kamu yang sabar, Serena..." saran Om Rama padaku.
Aku hanya mampu mengangguk dalam diam. Ada sedikit kelegaan di dalam dada, di saat aku terpuruk, masih ada Tante Anita dan Om Rama yang terus mendukung diriku. Hatiku semakin yakin, tidak akan menjadi orang ketiga di antara hubungan Rangga dan Gwen. Aku akan berusaha membantu Tante Anita sembuh dari kanker yang menggerogoti tubuhnya dan tentang permintaan Rangga, entahlah.
To Be Continued