Bogor
Anika POV
Aku menggandeng Ruby masuk ke vila di Puncak. Ternyata keempat pemuda itu sudah mempersiapkan segalanya, walaupun hubungan Devan dan Satya tak juga membaik. Tentu ada kue ulang tahun dan surprise party.
Aku melirik ke belakang, merutuki keberadaan Tina dan Nisya di tengah-tengah mereka. Aku ingin membentak Satya saja rasanya. Benar-benar membentak hingga semua kekesalannya tersalurkan dengan baik. Kenapa dia harus mengajak Tina dan adiknya segala? Apa dia lupa apa yang baru saja mereka lakukan pada keluarga Hilmar?
"An, kamarmu di pojok kanan ya," ucap Devan memberitahu. Pemuda itu asyik memainkan PSP sambil rebahan di sofa.
Aku berjalan sendirian ke lantai atas, terdiam saat Satya dan Tina berjalan bergandengan di depannya. Rupanya Satya mengantar gadis itu menuju kamarnya, tanpa mengetahui aku berada di belakang mereka.
Aku menghela napas panjang, ingin lari saja dari kenyataan. Rasa sesak itu kembali menyergap. Aku pernah berada di posisi Tina sekarang, dan entah kenapa tak rela melepaskan posisi itu kepada siapa pun.
Aku terdiam, mengalihkan pandangan ke kotak yang kubawa sebagai hadiah ulang tahun Om Sultan dan Lukas. Untung aku sempat membeli hadiah di sebuah pusat perbelanjaan. Mereka berempat menghadiahkan jam bermerek ternama, sementara aku kebingungan mencari hadiah.
Aku mengangkat wajah saat kaki kedua manusia di depannya itu berhenti berjalan. Kakiku spontan berhenti dan menatap tepat ke manik mata Satya.
Demi Tuhan, aku merindukan lelaki itu dalam jangkauan.
Pemuda itu membalas tatapanku. Pandangan kami bertemu. Seolah dengan pandangan tersebut kami bisa menjelaskan apa yang masing-masing rasakan.
Buru-buru aku melewati mereka, membuka pintu kamar, lalu dengan cepat menutupnya kembali. Tubuhku sandarkan ke pintu, terdiam beberapa lama.
Saat pertahananku luntur, tubuhku merosot. Aku menunduk, duduk di lantai kayu yang dingin. Sakitnya begitu menyiksa batin.
Aku menutup wajah dengan kedua tangan, menangis. Bahkan dengan tangisan pun, sakit di hatiku belum juga hilang.
Aku terisak dalam diam. Aku ingin menghardik Satya, meminta lelaki itu kembali ke sisiku, meminta dia untuk menjauhi Tina, menagih segala ucapan lelaki itu kala kami bersama. Tak bisakah semua diulang kembali?
Satya berhasil memikat perhatianku, bahkan Satya berhasil memiliki hatiku. Lantas, puaskah dia mempermainkanku begitu dalam?
Kenyataannya, Aku sangat merindukannya. Titik!
***
Aku membuka pintu kamar dengan mata yang sedikit sembap saat seseorang mengetuk-ngetuk pintu dengan keras. Aku tak tahu apa yang terjadi padaku hingga bisa jatuh ke lantai dan ketiduran.
Aku kelelahan karena menangis. Saat aku melirik jam dinding, sudah pukul setengah sepuluh. Berarti aku ketiduran sekitar dua jam.
"Kamu kenapa sih nggak keluar kamar dari tadi?" tanya Dara menyelidik.
"Nggak apa-apa." Suaraku sedikit serak akibat menangis. Sesuatu yang sudah lama tak hadir di dalam hidupnya.
Ogah-ogahan aku mengikuti langkah Dara. Dia mengetuk pintu kamar Tina.
Beberapa saat kemudian, Tina keluar dari kamar dengan pakaian baru. Aku sendiri belum sempat berganti pakaian karena ketiduran.
Kami menuruni tangga pelan-pelan. Satya, Lukas, Devan, dan Rangga sudah menunggu mereka di bawah. Pakaian mereka rapi-rapi.
Aku memperhatikan penampilanku. Hanya aku sendiri yang belum rapi. Aku menepuk punggung Dara, membuat gadis berambut ikal tersebut menoleh padaku.
"Aku ganti baju dulu ya," bisikku. Tina juga menoleh ke arahku.
Dara tertawa. "Oke, tolong sekalian panggil Ruby dan Nisya yaa."
Aku menggangguk sambil melirik Tina.
Sejak kejadian di ruang UKS, Aku dan Tina tak pernah lagi bertegur sapa, bahkan kami tak saling melihat. Status "rival" yang diam-diam tersemat di antara kami memperlebar jarak.
Lalu apa yang mesti ditutupi saat kami tak menginginkan kehadiran satu sama lain?
Aku kembali ke kamar, mengganti pakaian dengan cepat, menyisir rambut, kemudian membawa kado yang sempat dilupakan.
***
"HAPPY birthday to you... happy birthday to you... happy birthday... happy birthday... happy birthday to you!"
Kami segera bernyanyi saat Om Sultan memasuki vila. Aku membawakan kue kepada Om Sultan dengan tersenyum. Om Sultan benar-benar kaget, tapi tampak semringah. Dia menatapku, menyelidik. Seingatnya tadi aku mengatakan bahwa dia izin ke Puncak untuk mengambil sesuatu yang berhubungan dengan rencana kami sehingga Om Sultan setuju saja saat aku memintanya menjemput di vila yang aku sebutkan sepulang kantor.
Om Sultan meniup lilin dengan cepat, kemudian kembali menatapku. "Sudah pandai berbohong sama Om, An?"
Aku tersenyum miring, menatap Devan, Lukas, Rangga, dan Satya yang nyengir-nyengir tak jelas. "Ide mereka tuh!" Aku mengatakan sejujurnya, menunjuk keempat pemuda itu dengan dagunya.
Om Sultan tersenyum, kemudian mengacak-acak rambutku. Dia memandang Devan, Lukas, Rangga, dan Satya secara bergantian. Tersenyum puas. "Saya hampir lupa hari ini ulang tahun saya," ucapnya.
Devan mendekati Om Sultan. "Makanya kami rayakan. Kan tahun kemarin nggak jadi karena Om harus ke Hamburg."
Aku memberikan kado kepada Om Sultan. "Happy birthday, Om!" Om Ben memeluk keponakan satu per satu itu dengan hangat.
"Terima kasih semunya."
"Rekaman video beberapa tahun lalu itu telah didapatkan, nanti Om akan menjemputnya," bisik Om Sultan.
Aku menatap Om Sultan setengah tak percaya.
"Secepat itu? Om udah tahu karyawan Papa itu tinggal di mana?"
Om Sultan mengangguk, membuatku kembali ternganga.
***
Ruby POV
Tidak ada dekorasi khusus perayaan ulang tahun om Sultan malam ini. Yang ada hanyalah dekorasi Natal di berbagai sudut villa.
Baru tadi sore aku mengetahui ulang tahun om Sultan dan Lukas ternyata bertepatan dengan malam Natal. Lukas terlihat sangat ceria saat aku tiba di villa bersama Anika. Saat aku menyodorkan kado, Lukas tidak terlihat canggung. Alih-alih menghiraukan diriku. laki-laki itu malah memelukku dengan hangat. Seakan kami kawan lama.
Sepanjang acara makan malam, Lukas banyak bergurau dengan saudaranya, tanpa menghiraukanku. Membuatku merasa sedih. Rasanya semudah itu Lukas melupakan diriku. Aku sangat bodoh, sudah berharap laki-laki seperti Lukas bisa bertekuk lutut padaku.
Makan malam itu tidak membuatku antusias karena tidak ada mbak Gwen dan Lukas yang terlihat cuek padaku. Aku duduk beberapa meter dari Lukas hanya memainkan garpu di atas piring.
"Kamu tidak mau makan dessert-nya?" Anika tiba-tiba menyenggol sikuku.
"Eh?" Aku mengangkat wajah, menatap Anika yang menunjuk dessert di meja saji. Kemudian menggeleng pelan.
"Jangan katakan kamu mau diet lagi? Apa kamu tidak kapok pingsan?" tanya Anika kesal.
"Lidahku mati rasa." ucapku, lesu. Mataku kembali terpaku ke potongan-potongan daging yang masih ada di piring.
"Aku ingin mengambil cheesecake. Apa kamu mau, Anika?" Dara yang duduk di sisiku langsung ikut bicara. "Kamu juga mau, Ruby?"
Aku melirik Dara. "Aku sedang tidak berselera, Dara." tolakku dengan tidak bersemangat.
Ting... Ting.... Tong
Belum sempat aku membuka mulut, Satya muncul, menggoyangkan lonceng kecil di tangan. Membuat semua mata teralih memandangnya, dan sepertinya semua orang juga kebetulan berada di dekat meja kami ikut melihat.
"HAPPY birthday to you... happy birthday to you... happy birthday... happy birthday... happy birthday to you!"
Sebuah kue ulang tahun dengan lilin tetancap di tengah-tengahnya muncul bersamaan dengan iringan lagu yang dinyanyikan kembali hampir semua orang di villa. Aku spontan ikut menepukkan tangan dan bernyanyi lagi sambil memperhatikan semua orang yang mengerumuni meja makan.
"Sebelum kita minta Lukas meniup lilin ini..." Satya merangkul bahu sepupunya itu dengan erat. "Semua anggota keluarga kita, yang sudah bersama-sama dalam suka dan duka ini ingin mengucapkan beberapa kata...."
"Sudahlah, aku akan meniup lilin ini dan kalian semua bisa kembali ke aktivitas masing-masing," ujar Lukas pada anggota keluarganya.
Devan ikut melingkarkan tangannya di sekeliling bahu Lukas. "Katakan kamu akan memikirkan baik-baik tindakanmu sebelum meninggalkan sahabatmu ini." gurau Devan, menahan elakan Lukas. Semua orang tertawa melihat mereka.
"Kalian seperti anak kecil," teriak Dara, lalu memalingkan wajahnya kepadaku. "Bagaimana menurutmu, Ruby?" tanyanya tiba-tiba.
Aku mendongak menatap Dara.
"Apakah menurutmu sebaiknya Lukas melepaskan semua bisnis dunia malamnya ini?" tanya Dara dengan serius. Suasana berubah menjadi sangat tenang. Mereka semua menanti jawabanku.
Jantungku berdetak kencang, tidak hanya wajahku yang terasa memanas. Sekujur tubuhku juga. Aku yang membisu selama beberapa detik mencoba melirik Lukas. Mata kami bertemu. Hatiku seperti melayang.
"A-aku aku..." Sekarang aku bingung, menatap Lukas dan Dara bergantian. "A-aku rasa mung-mungkin... hal itu tidak perlu dilakukan."
Seketika suasana kembali ramai.
"Sekarang biarkan kita yang make a wish sebelum Lukas meniup lilinnya!" teriak Devan. Ia merangkul semakin erat pundak Lukas. "Aku harap kamu tidak akan meninggalkanku sendirian dan aku harap kamu segera memenangkan cintamu, buddy!"
Semua orang tertawa dan mulai berseru riun meminta Lukas segera meniup lilin. Sebuah pisau kue sudah terulur di hadapan Lukas begitu lilin padam. Lalu ia memotong bagian kue yang berbentuk buah apel, meletakkannya ke piring kecil. Aku menoleh, mencari Om Sultan atau Ka Rangga yang duduk di deretan meja panjang di belakangkku. Entah bagaimana laki-laki itu sudah berdiri tepat di depanku. Lukas tersenyum kecil. Tangannya yang memegang piring berisi potongan kue itu terulur kepadaku.
"Untukmu, sweetheart"