Kampus
Author POV
Anika mengedarkan pandangan ke seluruh ruang kelas, mendapati Satya sibuk memainkan ponsel. Sesekali pemuda itu tersenyum simpul. Anika yakin Satya sedang ber-texting ria dengan Tina.
Anika menghela napas berat. Dia ingin mendekati Satya, meskipun sekadar menanyakan apakah ia baik-baik saja. Atau mungkin untuk berbicara yang ringan-ringan saja. Anika rindu. Dan rindunya itu menusuk tulang, membuat dirinya menjadi lemah. Tidakkah Satya merasakan hal yang sama? Apa kebersamaan mereka akhir-akhir itu hanya dirasakan sebagai angin lalu yang
mudah dilupakannya?
"Ehm…."
Anika menengok dan mendapati Gwen menatapnya. Anika sebisa mungkin memasang tampang datar. Namun Gwen melihat gambaran sedih yang terpancar dari mata Anika, persis seperti saat Anika datang ke kelas pertama kali.
"Kamu nggak apa-apa?"
Anika malah berpura-pura mengerutkan dahi, seolah tidak mengerti. Dia menggeleng. "Emangnya ada alasan buat merasa apa-apa?"
Gwen melotot. "An...," ucapnya setengah merajuk, "please…cerita sama aku."
Anika menggeleng lagi. "Aku nggak apa-apa, wen. Ada atau tidak dia di hidupku, nggak akan mengubah apa-apa."
Gwen terdiam mendengar perkataan Anika. Di dalam hati dia merutuki Satya yang jelas-jelas tahu perasaan Anika terhadapnya tapi lebih memilih Tina yang pernah menyelingkuhinya. Satya benar-benar bodoh.
Kini gantian Anika mengamati Gwen yang terdiam. Dia tahu Gwen sedang menebak perasaannya. Gwen memang selalu mengerti apa yang tidak dia katakan. Tapi, sudahlah.
Anika melirik Satya, yang sepertinya akan beranjak dari kelas. Buru-buru dia berdiri, kemudian mencegat lelaki itu.
Jangan tanya betapa kagetnya Gwen melihat tindakan Anika.
Buru-buru dia mengikuti Anika, berdiri tak jauh dari perempuan itu yang
menunduk dan membisu.
"Sat," panggil Anika lemah. "Aku mau bilang..." Ucapan Anika terhenti dering ponsel Satya. Pemuda itu langsung mengetik sesuatu.
Satya menatap Anika dengan tatapan memohon. "An, kali ini aja aku keluar sebentar ya. Emergency nih," ucap Satya setengah memohon, lalu segera keluar dari kelas dengan tersenyum lebar.
"Aku mau ngomong sebentar, lima belas detik." Satya berbalik, menumpukan kedua tangan di bahu Anika. "Aku harus ketemu Tina dulu. Kamu bisa ngerti, kan?"
Anika menghela napas. Kehadirannya ditolak. Satya benar-benar tak menganggapnya. Apa kehadirannya selama ini memang seperti itu? Menjadi angin yang tak tersentuh, terlalu abstrak dalam kehidupan Satya?
Apa memang hanya Tina yang Satya perhatikan? Kalau begitu kenapa dia masih mengharapkan lelaki itu?
Ah, jatuh cinta ternyata menyakitkan. Seharusnya dia tak perlu membuat dirinya terjatuh kalau akhirnya berdiri saja akan sesulit itu.
Anika berjalan gontai menuju kursinya. Dia melewati Gwen tanpa melihat gadis itu sedikit pun. Semua orang di kelas juga pasti tahu apa yang Anika rasakan.
Mungkin akan ada lagi luka yang menganga lebar-lebar, luka di dalam hatinya. Egois! Satya hanya berani berucap dan berbuat, tapi tak berani bertanggung jawab. Ke mana janji yang pernah dia lontarkan?
***
Wardana's House
Anika duduk di tepi kolam renang. Anika memainkan kakinya di dalam kolam. Airnya dingin. Sama seperti dirinya: dingin dan kesepian. Anika rindu kehangatan keluarga. Anika rindu kasih sayang kedua orangtuanya.
Dadanya sesak. Tangannya terkepal kuat. Lihat saja nanti, kalau
tiba waktunya, keluarga Hilmar akan dia hancurkan sampai tak
bersisa.
Anika menutup mata pelan, merasakan sepoi angin yang seakan membisikkan kidung kesunyian padanya. Ia membuka mata. Dia sudah terlalu lama seorang diri.
"An."
Anika menoleh, mendapati Devan yang kesulitan berjalan ke arahnya karena membawa kotak besar. Begitu sampai di depan Anika, Devan mengeluarkan isi kotak tersebut dengan cepat.
Teddy Bear cokelat hadir di antara mereka.
Anika menatap Devan, ragu. "Buat aku?"
Devan terkekeh pelan. "Bukan, buat Bi Inem," jawabnya asal sambil menyerahkan Teddy Bear kepada Anika.
Anika manggut-manggut saat menerima Teddy Bear. Ia menatap boneka itu, memeluknya sebentar, lalu menghela napas panjang.
Devan duduk di samping Anika. "Kamu suka?"
Anika menoleh, mengangguk. "Kenapa kamu kasih aku boneka?"
Devan tertawa kecil. "Soalnya beberapa hari ini kamu keliatan sedih, kayak kesepian. Menurut penelitian, memeluk Teddy Bear bisa mengurangi rasa kesepian." Devan menelan ludah, "Yah… kalau perempuan tipe kayak kamu, aku nggak tahu juga, suka boneka atau nggak."
Anika tersenyum miring, kemudian menggeleng. "Like every other girl, aku suka boneka," jelasnya, kemudian memeluk boneka itu erat-erat, berharap bisa menyalurkan rasa kesepiannya pada boneka itu.
"Syukur deh. Jadi kamu nggak bakalan buang boneka itu, kan?"
Anika memajukan bibir. "Emangnya aku nggak punya perasaan?"
Devan tertawa mendengar ucapan Anika. Anika ikut tersenyum. Namun Devan tahu senyum itu hambar, senyum tipu yang Anika tampilkan di depannya dan teman-teman lain. Devan mengenali, saat Anika bersama Satya, senyum gadis itu berbeda, lebih tulus dan memancarkan aura sayang.
Anika melirik Devan yang terdiam. "Kenapa, Dev?" Devan terkejut, kembali tersadar pada Anika yang ada di dekatnya.
"Nggak apa-apa. Mmm… tanda persahabatan kita ya?"
Anika hanya tersenyum miring, kemudian mengalihkan pandangan dari mata Devan. Dia tak terlalu percaya pada persahabatan. Sahabat yang dulu dia miliki sekarang hanya menjadi omong kosong belaka. Ia tak ingin terjebak dalam persahabatan kosong lagi.
"Anika!"
Anika dan Devan sama-sama menoleh. Anika terbelalak ketika mendapati Satya berada di ambang pintu menuju kolam renang.
Anika berdiri, dan Devan mengikuti. Dia menahan napas saat Satya dengan cepat menghampirinya. Seluruh dunia pun tahu tatapan Satya adalah tatapan tidak suka. Satya melirik Teddy Bear yang dipegang Anika, kemudian menarik
napas panjang. Tangannya terkepal kuat.
"Ikut aku," ucap Satya sambil menarik tangan Anika. Sayangnya, tangan itu langsung ditahan Devan. "Mau bawa Anika ke mana?" ucap Devan lantang.
Satya melirik Devan dengan tajam. Ketegangan terasa sangat jelas di antara kedua lelaki itu. "Akudisuruh Om Sultan nganter Anika ke kantor."
Devan menggeleng. "Biar aku aja yang nganter!"
Anika hanya memperhatikan Satya dan Devan secara bergantian, tidak tahu apa yang harus dia lakukan.
Rahang Satya mengeras. "Nggak bisa! Om Sultan minta aku yang jemput Anika. Yuk, An!"
Devan kembali menahan mereka dengan tangannya. "Kamu kenapa
maksa gitu sih, Sat? Belum tentu Anika mau pergi sama kamu."
Buk!
Tahu-tahu Devan tersungkur. Wajahnya memerah akibat bogeman mulus Satya mendarat tepat sasaran. Devan segera berdiri, ingin membalas pukulan, tapi Anika segera menahannya.
"Cukup!" seru Anika.
Devan menatap Satya yang sama-sama diselimuti emosi. Sudut bibirnya terangkat. "Liat, Sat! Bahkan setelah kamu mengabaikan dia, dia masih belain kamu! Di mana otakmu, hah?!" Devan berdecak, kemudian pergi dari hadapan Satya dan Anika. Hatinya jengkel karena Satya tak bisa mengendalikan emosi.
Di sisi lain Anika masih terdiam atas kejadian tadi. Dia melepas dengan kasar cengkeraman Satya di pergelangan tangannya, dengan mengucapkan dengan lirih. "Aku nggak mau pergi. Apalagi sama kamu."
To Be Continued