Bali
Author POV
"Tadi pagi mukamu masih terlihat cerah. Saat fashion show dan acara pembukaan kamu juga masih terlihat sumringah. Kenapa sekarang kamu malah kelihatan superbete?" Tanya Anika sambil memperhatikan wajah Ruby.
Ruby yang malam ini seharusnya menjadi ikon acara peresmian W Resort di Bali, hanya melengos dan meraih gelas minumannya di meja di depan mereka. Ia berusaha menghindar dari tatapan penuh selidik Anika yang duduk di sampingnya. Perempuan dingin yang satu itu memang punya insting tajam.
"Apa karena Lukas baru saja lewat dengan model-model Bali tadi?" tanya Anika sambil tersenyum simpul. Pertanyaannya terlontar santai. Namun, benar-benar membuat Ruby gusar.
Ruby bersandar di kursi, menyilangkan kakinya yang mengenakan hak sepatu sangat tinggi. Gaunnya yang ketat di bagian kaki membuatnya tidak dapat bergerak banyak.
"Apa kamu sudah termakan pesona buaya Lukas?" Gwen yang baru saja tiba langsung menyambar.
"Siapa bilang?!" Ruby mencubit lengan Gwen lalu menggigitnya. Membuat Gwen mengerang kesakitan dan beberapa undangan menoleh memandang mereka. Anika langsung memukulkan Ruby lalu melotot memperingatkan.
"Jaga tingkah kalian!"
Gwen meraba lengannya yang memerah lalu mengeplak pundak Ruby. "Aku sebetulnya senang jika kalian benar-benar jadian. Itu berarti ikatan kita semakin erat. Tapi mengingat sejarah percintaan Lukas selama ini, aku hanya tidak ingin Lukas malah membuat hubungan keluarga di antara kita menjadi runyam."
"Dia bukan anak kecil lagi," ucap Anika cepat, lalu meminum tehnya dengan gaya anggun. Semua yang ada di after party itu sibuk menggenggam gelas minuman beralkohol, hanya mereka bertiga yang menikmati teh hangat.
"Oh, bisakah kita mengganti topik pembicaraan?" Ruby tidak ingin mengingat laki-laki yang sudah membuatnya jengkel malam itu. Setelah apa yang mereka lewatkan kemarin, hari ini perasaannya seperti berbalik seratus delapan puluh derajat.
"Aku bilang Lukas bukan anak kecil lagi. Dan aku rasa jika memang Lukas berusaha mendekatimu berarti dia benar-benar serius." Kali ini Anika menekankan suaranya agar Ruby maupun Gwen mendengarkan pemikirannya. Tina dan Nisya yang duduk di hadapan mereka saling mengedikkan bahu.
"Tapi Lukas tidak pernah serius dengan satu wanita. Masih lebih baik Devan menurut pendapatku." Gwen menggoyangkan bahu Anika. Ruby yang melihat kakak dan sahabat di sampingnya saling silang pendapat malah membuatnya penasaran. Selama ini ia sudah terlalu terlena sehingga lupa mencari tahu masa lalu Lukas. Apa yang dikatakan Anika maupun Gwen membuka pikirannya.
"Apa yang terjadi bertahun-tahun lalu tetap kesalahan Lukas. Dan Lukas-lah yang membuat Devan menjadi sama seperti dirinya sekarang ini. Hobi gonta-ganti perempuan." ujar Tina yang tiba-tiba bergabung dalam pembicaraan itu
"Memang apa yang terjadi bertahun-tahun lalu?"
Pertanyaan Nisya itu membuat Ruby menoleh, menatap Nisya sejenak.
"Lukas murid pindahan dari Jakarta waktu SMA. Waktu itu mereka sudah hampir tamat SMA. Entah bagaimana ceritanya Lukas selalu pindah-pindah sekolah tidak seperti kedua sepupunya. Kebetulan pada saat itu Devan menjalin hubungan dengan Dara, adiknya Satya. Devan dan Dara selalu bersama sejak kecil. Cinta monyet gitulah," jelas Tina yang tentu saja, mengerti cerita percintaan tuan muda keluarga Wardana.
"Menurut Mas Rangga, entah bagaimana ceritanya, sampai akhirnya Dara menduakan Devan dengan Lukas, kakak sepupunya sendiri. Mereka sempat adu pukul." potong Gwen dengan antusias sambil memperagakan kepalan tangannya terulur ke udara.
Tina tidak mau kalah menimpali. "Salah satu gigi Lukas ada yang copot kalau tidak salah. Entah yang sebelah mana. Tapi yang pasti salah satu gigi Lukas sekarang palsu."
Mau tidak mau Ruby menahan tawa, membayangkan salah satu gigi Lukas ternyata copot. Ia harus mengejeknya nanti saat bertemu. Pasti Lukas akan malu. Ia beralih menatap Gwen yang masih berdiri di belakang sofa yang ia duduki. Gwen terlihat makin bersemangat menceritakan masa lalu Lukas dan Devan.
"Mereka sampai dibawa ke rumah sakit oleh pihak sekolah. Yang pasti semenjak kejadian itu, Lukas dan Devan ibarat saudara kembar. Menurut Mas Rangga, karena dia dan Satya sudah tidak lagi di London saat hal itu terjadi. Lukas seperti saudara bagi Devan. Mereka bahkan memiliki tato di lengan dan sama-sama menindik salah satu telinga."
"Tato?" tanya Ruby kaget.
Gwen menjawab masih penuh semangat. "Ya. Di lengan mereka. Kamu tidak memperhatikan?"
Ruby termangu untuk beberapa saat. "Aku tidak tahu ada tato di lengannya. Selama ini dia tidak pernah mengenakan baju dengan lengan terlalu pendek."
"Selama ini?" Alis Anika terangkat penuh selidik. Matanya melirik Ruby, membuat Ruby salah tingkah.
Untung saja Gwen masih melanjutkan ceritanya. "Yang pasti Lukas membuat Devan berubah seratus delapan puluh derajat. Saat mereka berdua menyusul Mas Rangga untuk melanjutkan sekolah di London, Lukas dan Devan seperti duet maut casanova. Mereka terkenal di mana-mana. Selalu berpesta dan menjadi bahan pembicaraan. Nyaris tidak ada wanita yang tidak menyukai mereka."
Pandangan Ruby menerawang jauh. Malam itu ia merasa tidak mengenal Lukas. Laki-laki yang mereka bicarakan saat itu tidak terdengar seperti Ruby yang selama ini ia kenal.
"Aku selalu mengajaknya putus, tapi selama ini dia berusaha keras agar kami tetap bersama." Akhirnya mulut Ruby terbuka, tanpa sadar mengeluarkan apa yang ada di hatinya.
"Mengajaknya putus? Hubungan seperti apa antara kamu dan dia?" Suara penasaran Anika memecah lamunan Ruby. Ruby menggeleng perlahan lalu menatap empat wanita di hadapannya bergantian. Kakak dan teman-temannya itu tampak terkejut.
"Aku sudah pacaran dengan Lukas semenjak hari pernikahanmu, Mbak Nia."
Gwen, Anika, Tina dan Nisya serentak memekik dan segera menutup mulut mereka yang ternganga lebar. Tina langsung bangkit berdiri, menghampiri Ruby. Nisya tidak mau kalah, ikut mendesak Anika sehingga mereka berempat duduk berimpitan di sofa panjang lounge mewah itu. Mereka mengabaikan suasana formal acara itu.
"Kenapa kamu tidak pernah bilang?"
"Putus berapa kali?"
"Apa saja yang sudah kalian lakukan?"
Ruby menatap bergantian pada Anika, Tina dan Nisya. Deretan pertanyaan yang menyerangnya bertubi-tubi itu malah membuatnya menyesal keceplosan. Hanya Gwen yang menatapnya sambil senyum-senyum.
"Aku tidak tahu mau komentar apa. Tapi yang pasti aku akan selalu mendukungmu." ucap Gwen lembut.
Ruby tersenyum dengan jawaban kakaknya, kemudian melanjutkan. "Lukas ingin membuktikan bahwa ia bisa serius dengan satu wanita. Dan aku merasa ia mungkin akan menyerah setelah berpacaran denganku. Kalian tahu sendiri aku paling jijik dengan rayuan gombal. Tapi dia bisa menyesuaikan diri denganku dan kami akhirnya merasa fun. Dan dia juga mulai kelihatan serius."
"Aku belum pernah mendengar Lukas bisa berkomitmen dengan seorang wanita," ucap Tina lebih untuk diri sendiri.
"Aku bahkan selalu menggodanya karena aku tahu Lukas paling cepat terbakar emosi. Aku sering mengajaknya putus hanya karena perkara sepele. Namun, Lukas tetap sabar dengan ulahku. Tapi setelah aku melihat dia lewat dengan dua model tadi, aku menjadi kecewa."
Nisya menggeliat. Raut wajahnya kusut. Cubitan Nisya di pipi membuat Ruby berpaling. "Aku mencoba menyadarkanmu," sungut Nisya sambil cemberut.
"Aku rasa kamu benar-benar cemburu," sela Anika. Ruby menatapnya lekat-lekat.
"Aku mendukung kalian karena kalian sudah dewasa. Dan aku yakin tidak mungkin selamanya Lukas menjadi don juan yang tidak pernah bisa jatuh cinta atau setia pada satu wanita."
"Bagaimana kamu bisa yakin?" tanya Nisya berusaha tidak ketinggalan cerita meski ia tidak sepenuhnya mengenal Lukas.
"Huh! Aku yakin Lukas tidak akan bisa jatuh cinta sedikit pun. Ketakutanku benar-benar terjadi karena Ruby sudah termakan rayuannya." Tina menjatuhkan diri di sofa yang tadinya ditempati Nisya.
"Aku tidak termakan rayuannya," bantah Ruby tidak mau kalah. "Lukas tidak merayuku seperti laki-laki kebanyakan." Ruby merasa perlu membela diri saat ini. Harga dirinya sedikit tergores mendengar bahwa ia terkena pesona Lukas.
Gwen memberikan kode pada Anika agar melihatnya. "Menurutmu, Lukas sengaja menempel dengan model-model itu untuk membuat Ruby kita ini cemburu?"
Sebelum Anika menjawab, Ruby sudah mendengus. "Aku?! Cemburu?" Tangannya terlambai di depan dada. Sambil memperlihatkan senyum yang dibuat-buat. Ruby mengambil gelas minumannya. "Aku tidak pernah cemburu. Aku sudah berkali-kali melihatnya bersama wanita lain."
"Iya, setelah itu kamu mengancamnya putus," sanggah Gwen cepat.
Ruby menatap Gwen dengan kesal. Kakaknya itu benar-benar mengenalnya dengan baik.
"Itu sama saja dengan cemburu."
Ruby menatap Anika dan Gwen bergantian.
"Kali ini tunjukkan saja perasanmu yang sebenarnya pada Lukas. Kalian hanya perlu menjalani pendekatan dengan dewasa." Anika menepuk pundak Ruby sekilas lalu mengerling.
Tina yang duduk di sebelahnya menepuk pahanya. "Aku tidak bisa menjamin Lukas benar-benar serius. Jika kali ini ia benar-benar jatuh cinta padamu berarti kamu adalah cinta pertamanya."
"Oh! Aku tidak pernah berpikir kalau Ruby cinta pertama Lukas." Nisya menyodorkan gelas Tina lalu mengamati gelasnya sendiri.
To Be Continued