Ruby's Store
Ruby POV
Pagi itu aku hanya bisa mendesah sambil menatap diri di cermin ruang ganti. Rambutku masih penuh rol, celana pendek rumah masih aku kenakan dan wajahku tengah aku pasrahkan ke tangan salah satu asisten, Brina yang memang bertugas mengurus tata rias.
"Ada apa Nona?" tanya Brina, memperhatikanku yang sering menghela napas.
Aku merasa gemas dengan pertanyaan Brina. "Tidak apa-apa. Lanjutkan saja!"
Dulu aku menganggap berlebihan saat melihat beberapa model di bawah naungan agensi yang selalu dikelilingi asisten dalam semua kegiatan. Sekarang aku memahami arti kerja tim setelah mencoba merintis kariernya.
"Kali ini rambutmu harus terlihat natural." Nilam, sebagai asisten penata rambut, membawa beberapa perlengkapannya, berdiri di belakangku.
Aku tersenyum. "Terserahlah, yang penting cepat selesaikan rambutku."
Dari balik sekat ruangan, Meera dan Adis, asisten khusus untuk wardrobe, menarik dua koper yang sudah terbiasa mereka gunakan. Sesuai jadwal, aku hari ini syuting untuk W Resort. Aku merasa sangat tidak profesional karena tidak begitu menguasai pekerjaanku kali ini. Mungkin karena ada Lukas. Sekarang yang ada di benaknya adalah bagaimana jika nanti harus berhadapan dengan Lukas.
Jangan cium aku lagi. Kalimat itu terdengar lemah. Malah nanti Lukas mengira ia menantangnya.
Saat ia sibuk dengan pikirannya, pintu ruangan tiba-tiba terbuka lebar. Fira, yang bertanggung jawab sebagai public relation, melangkah masuk dengan file holder di tangan. "Kalian sudah siap? Lukas sudah di bawah. Kita harus berangkat ke lokasi syuting sekarang."
Aku sontak berdiri saat Nilam berusaha melepaskan satu per satu rol di rambutnya. "Apa yang Lukas lakukan di sini?" aku melangkah menghampiri Nilam.
Semua yang ada di ruangan itu tertegun karena tidak ada Lukas dalam rencana sehari sebelumnya.
"Entahlah. Lukas menelponku beberapa saat yang lalu dan sekarang ia sudah ada di bawah. Ia ingin kamu berangkat bersamanya dan kami akan membuntuti kalian dengan mobil kantor." Fira menunjuk kedua tas koper besar yang sudah siap mereka bawa. "Kalian bisa mulai memasukkan semuanya ke dalam mobil. Gina sudah siap di sana."
Sebenarnya Nilam juga bertanggung jawab menjadi sopir karena hanya dia satu-satunya asisten yang mempunyai SIM. Aku berusaha kembali menatap Fira. "Kenapa aku harus bersamanya?" Saat itu jantungku sedikit berdebar. Aku teringat kembali dengan kejadian malam itu dan ciuman dua hari yang lalu.
"Sudahlah. Lakukan saja. Aku tidak dapat berbuat apa-apa." Kedua bahu Fira mengedik pasrah.
Suara Lina, asistenku, terdengar mendekat. "Saya akan bertanggung jawab untuk segala hal yang berhubungan dengan social media dan dokumentasi, seperti akun Karina di Instagram dan Twitter?"
Kali ini aku jelas-jelas tahu siapa yang sedang berbicara dengan Lina di depan ruangan.
Lukas tersenyum ramah kepada mereka sebelum satu per satu mulai menghilang ke luar ruangan. Sambil berkacak pinggang dengan beberapa rol masih menyangkut di rambutku, aku menatap Lukas serius. Lukas membalas tatapan Ruby setelah ia berdecak kagum melihat gaya ruangan itu.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyaku.
Lukas mendekat. "Memang tidak salah dengan reputasi Mom Anita. Kamu bahkan punya ruangan khusus seperti ini. Aku jamin semua pakaian di sana adalah koleksi paling baru dari Mom." Lukas menunjuk ke balik sekat yang memisahkan area makeup dengan ruangan yang dipenuhi pakaian, sepatu dan berbagai aksesori lainnya.
Daguku terangkat spontan. Tanganku terlipat di dada. "Sekarang katakan kenapa kau harus menjemputku?"
"Aku menjemput pacarku untuk berangkat kerja bersama," jawab Lukas cepat dan penuh percaya diri.
"Pacar?" pekikku.
Lukas mengerucutkan bibirnya. "Kita sudah pernah tidur bahkan sampai kamu hampir melahirkan anak kita dan kamu sudah mencuri ciuman dari bibirku di halaman belakang rumahku dua hari yang lalu. Itu semua sudah cukup kan? bertanggung jawablah"
"Aku?" pekikku sambil menunjuk diri sendiri. Kepalaku memanas.
"Iya kamu," balasnya tidak kalas kerasnya.
"Kamu yang meniduriku, kamu yang menciumku. Bagaimana bisa kamu minta aku yang bertanggung jawab? Kamu yang harusnya bertanggung jawab."
"Oke. Oke. Aku akan bertanggung jawab," sambung Lukas cepat kemudian menarik tubuhku ke dalam dekapannya. Membuat Ruby langsung menahan napas. Kepala Lukas sudah menunduk, akan melakukan hal yang sama seperti dua hari lalu. Namun, aku bergerak spontan dengan langsung menelengkan wajah ke kanan, membuat bibirnya mendarat ke pipi kiriku. Lalu dengan sangat cepat aku menoleh ke kiri dan menekan kepalanya, sehingga kepala Lukas sempat terjepit di antara leher dan bahuku.
Kesempatan itu malah membuatnya dengan sengaja menyapukan bibirnya sekilas ke leherku sebelum aku mengangkat wajah dan tersenyum jail. Napasku terengah-engah karena jantungku berdebar kencang. Seketika bulu kudukku berdiri.
"K-kau..." aku berusaha mengendalikan debaran jantung.
"Jangan lagi kamu ulangi," ujarku sambil menunjuk ke mukanya dengan marah.
Lukas mengangguk kecil seakan aku hanya bergurau.
"Aku serius." bibirku tertarik jijik. Aku yang terlihat bergidik membuatnya bingung.
"Tidakkah kamu berpikir bahwa kamu terangsang?"
"Enak aja! Terangsang bagaimana? Jelas-jelas aku merinding."
Lukas tergelak.
Mataku menyipit. "Sepertinya kamu harus berpikir ulang. Aku jadi meragukan prestasimu yang terkenal nomor satu dalam menaklukkan hati para wanita."
Tangannya makin mengerat di tubuhku. Wajahku terasa panas. Dan aku yakin itu karena embusan napas Lukas di wajahnya. Aku menunduk dan mendapati lekukan payudara yang kentara. Lalu aku menoleh ke cermin menatap diriku dan Lukas yang tengah berpelukan, memperlihatkan kakiku yang jenjang.
Lukas melepaskanku dari dekapannya, lalu menangkup wajahku yang memerah. Beberapa rol yang masih tersangkut di rambut membuatku malu. Lukas menarik wajahku mendekat. "Cepat ganti pakaianmu. Aku akan menunggu di bawah." Lukas melepaskan tangannya dan berbalik santai melangkah ke luar.
Suara pekik kaget asisten-asistenku terdengar di luar. Rupanya mereka menguping dan kini berebut masuk.
Nilam kembali melepas satu per satu rol rambutku. Meera yang sudah membawa setelan di tangannya berdiri di depanku bersama Adis yang membawa sepatu dan tas.
"Kamu pacaran sama Tuan Lukas?" tanya Fira.
"Kalian berciuman?" Meera tidak mau kalah.
"Dua hari yang lalu? Benarkah? Bagaimana rasanya?" Adis cekikikan.
Aku memandangi mereka bergantian, sambil menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaan para wanita itu. "Sudah. Sudah. Aku juga tidak mengharapkan hal itu terjadi."
"Apakah Nyonya Anita tahu tentang hal ini?" tanya Fira, sekaan mengingatkan.
Mataku beradu dengan Fira. "Kalian semua harus tutup mulut. Jangan sampai Nyonya Anita tahu. Lukas hanya menganggapku sebagai tantangan karena selama ini tidak ada yang pernah menolaknya."
Nilam yang sedari tadi berkutat dengan rambutku langsung mendekatkan kepala. Berbisik serius. "Jadi apa yang harus kami lakukan?"
"Kalian harus membantuku menyadarkan manusia menjijikan bernama Lukas itu. Menyadarkan bahwa tidak semua wanita takluk padanya. Apalagi aku."
To Be Continued