Wardana's House
Gwen POV
Percayalah, semesta tidak
akan pernah kehabisan
cara untuk memberi jalan
pada hati yang baik untuk
menemukan cinta yang baik.
"Hariku membosankan, Mas." Aku berujar pelan, menatap kertas yang terselip pada novel ketiga pemberian Mas Rangga.
Kali ini bunga Gardenia yang ada di depan pintu kamar. Dan novel Little Women karya Louisa May Alcott yang berkisah tentang rumah tangga (keluarga), pekerjaan, dan cinta sejati. Ketiga tema itu saling bergantung dan masing-masing diperlukan untuk mencapai identitas individu pahlawan wanita.
Professor Sastra pernah membahas buku ini secara singkat, dan sejak itu aku sangat ingin membacanya. Jadi menemukan buku ini berada di depan pintu kamar, aku tersenyum begitu lebar.
Aku jadi menanti-nantikan novel apa lagi yang ada di depan pintu kamarku besok malam. Kisah siapa lagi yang akan aku baca.
Keesokan malamnya, aku buru-buru membuka pintu kamar dan menemukan bunga mawar putih, tapi tidak ada novel disana.
Aku mendesah kecewa, membawa mawar itu ke dalam kamar. Aku menatap ke pintu, apa malam ini tidak ada novel yang dia berikan? Apa Mas Rangga sudah kehabisan novel klasik koleksinya? Tidak ada novel klasik juga tidak apa-apa, novel lainnya juga tidak masalah.
Saat aku tengah termenung, sebuah ketukan pelan mengagetkanku. Aku menunggu hingga ketukan itu berhenti dan melangkah perlahan lalu membuka pintu kamar. Tidak ada siapa-siapa dan aku menunduk, menemukan novel berada di atas lantai. Buru-buru aku mengambilnya dan menutup kembali pintu.
Aku segera membuka halaman pertama dan membaca tulisan yang ada disana.
Maaf terlambat...
Aku tahu, aku terjebak dengan perasaan yang kubangun sendiri, yang semakin lama sulit untuk melepasnya.
Aku tersenyum membacanya, aku memeluk novel itu dan merangkak naik ke atas ranjang. Tidurku akhir-akhir ini sedikit nyenyak, mimpi buruk tidak menghampiriku setiap malam seperti sebelumnya. Saat terbangun keesokan paginya, lagi-lagi novel yang aku baca berada di atas bantal di sebelahku.
Aku selalu saja ketiduran saat membaca.
"Kurasa aku ketagihan dengan custard ini." ujarku memasukkan suapan terakhir ke mulut. "Kalau aku tahu sejak awal custard bibi akan seenak ini, lebih baik aku biarkan saja bibi yang memasak."
Bibi hanya tertawa pelan.
"Nyonya Muda ingin makan malam apa hari ini?"
"Wagyu." ujarku tanpa pikir panjang. "Aku ingin makan steak wagyu."
"Baiklah, selamat belajar, Nyonya Muda jangan lupa istirahat."
"Iya." Aku melangkah keluar. Mataku menatap mobil Mas Rangga. Sudah hampir sebulan ini Mas Rangga tidak pergi pagi-pagi sekali seperti biasanya.
Apa pria itu baik-baik saja?
Nyaris dua bulan kami tidak bertatap muka. Sejak kejadian hari itu aku tidak pernah melihat Mas Rangga lagi.
Apa pria itu baik-baik saja?
Apa pria itu makan dengan teratur?
Bagaimana kuliah dan pekerjaannya?
Seringkali aku bertanya-tanya, tapi hatiku takut untuk memikirkan pria itu. Karena setiap kali mengingat Mas Rangga, kenangan pahitlah yang lebih dulu muncul.
To Be Continued