Ruby POV
Seminggu berlalu, aku sudah kembali ke kosan. Sejak insiden pengusiran, Lukas tak muncul lagi di hadapanku. Antara benci dan kecewa. Aku mendengus, terasa konyol dengan diriku. Memang aku mau mengharapkan apa? Apa yang bisa diharapkan dari seorang playboy kelas kakap macam Lukas?
"Ruby, makananmu sudah siap. Mau kubawa ke sini?"
"Tidak usah, biar aku ke depan saja. Thanks."
"Sudahlah, jangan dipikirkan. Pikirkan kesehatanmu."
"Aku sungguh bodoh." Aku memukul-mukul kepala.
"Sudahlah. Aku minta maaf sudah memarahimu tempo hari."
"Aku memang layak dimarahi, maaf mengecewakanmu." Aku memasang wajah penyesalan, karena aku memang teramat menyesal.
"Apa kamu masih tidak mau memberitahuku siapa lelaki itu?"
Aku menggeleng pelan. Untuk apa memberi tahu jika tak akan merubah apapun. Lukas tak akan mencintaiku, yang aku butuhkan bukan tanggung jawab tapi kasih sayang. Pengharapan muluk yang sia-sia, hanya seperti pungguk merindukan bulan. Lagipula dari awal aku sudah bertekad tak mengharap apapun jadi sekarang aku harus melenyapkan harapan konyol itu.
"Ya sudah, ayo kita makan."
Makan siang kali ini lebih terasa nikmat dibanding saat makan makanan rumah sakit, aku menikmatinya. Aku tersenyum saat Akram mengusap kepalaku.
"Kamu sungguh bodoh, kamu tahu itu?"
Aku mengangguk kembali memberikan senyuman, mengenyahkan perasaan sedih dan kecewa.
"Sangat." Dia mengakui kebodohanku.
"Akram."
"Hmm..."
"Jadilah pacarku," pintaku.
Akram tersedak makanannya dengan permintaanku yang tiba-tiba. Kuraih gelas dan meminumnya hingga tandas.
"Pura-pura saja, sebulan. Please." Aku memasang wajah memelas bak kucing yang meminta makanan.
"Aku tahu aku wanita menjijikan, aku sudah tidak perawan. Membunuh calon bayiku walaupun itu tidak sengaja. Tapi boleh kan aku meminta tolong untuk terakhir kali. Setelah itu aku tidak akan mengganggumu lagi. Janji."
"Kamu ini kerasukan jin penunggu rumah sakit kah?" Akram mengetuk keningku seraya menggeleng pelan.
"Aku serius."
"Jangan menakutiku, Ruby."
"Ya sudahlah kalau kamu tidak mau, aku mengerti." kataku menunduk lesu.
"B-bukannya aku tidak mau. Hanya saja ini konyol."
"Aku tahu, aku juga merasa aku konyol." Aku nyengir memamerkan deretan gigi putih.
Saat ini perasaanku sedang buruk, bukan karena penolakan Akram tapi aku masih sakit hati oleh penolakan Lukas. Rasanya ingin menenggelamkan diri ke Samudera Hindia.
"Ruby."
"Iya."
"Kamu baik-baik saja kan?"
"Tentu, lihat senyumku."
Aku memaksakan senyum lalu bangkit membawa piring kotor ke dapur. Menghindari tatapan kasihan dari Akram. Aku harus terlihat baik-baik saja, bahkan sangat baik walau hatiku berantakan. Besok aku harus mendaftar ke kampus tempat kakakku kuliah yang berarti ada kemungkinan bertemu Lukas walaupun kami tidak satu jurusan tapi kami masih dalam satu gedung.
Aku menghela napas berat saat mencuci piring kotor. Ingatan semua yang telah terjadi membuatku merasa malu untuk menampakkan diri pada siapapun. Betapa buruknya aku, betapa hinanya diriku saat ini. Sebut saja aku gila, karena memang itulah aku.
To Be Continued