Wardana's House
Sultan duduk lemas. Lelaki itu menatap lantai, lemah. Ia sama sekali tak tahu apa yang terjadi. Yang dia tahu, pelayan di rumah meneleponnya panik. Tentu saja dia langsung menghubungi empat mahasiswa yang dia kenal baik itu untuk meminta penjelasan.
Keempat lelaki tersebut berlari menuju ke arah Sultan yang masih duduk lemas di sofa.
Sultan segera berdiri. Bukan, bukan untuk menemui empat pemuda yang baru datang itu. Namun karena mendengar pintu kamar Anika terbuka dan dokter keluar.
Sultan merasakan tubuhnya tegang dan wajahnya pucat pasi.
"Terlambat semenit, dia benar-benar sudah tidak ada," komentar dokter itu pelan. Ia sedikit lega karena berhasil menyelamatkan nyawa manusia.
Sultan terdiam kaku. Rasanya kakinya tak kuat menopang tubuhnya. Anika, kenapa kamu harus melakukan hal bodoh seperti itu? batinnya penuh sesal.
Sultan memang tak pernah membayangkan seperti apa derita yang ditanggungnya selama itu. Di matanya Anika terlihat lebih kuat semakin hari, tapi ternyata beban yang dia tanggung terlalu berat. Beban yang seharunya belum ditanggung anak seumurnya. Kengapa dia bisa sebuta dan selengah itu? Sultan bertanya-tanya dalam hati.
"Dia sudah sadar, Dok," lapor Gwen yang baru keluar dari kamar Anika, atas persetujuan Rangga.
Dokter itu mengernyitkan dahi. "Kenapa bisa secepat itu?" ujar Dokter, terdengar kaget. Ia kembali masuk ke kamar Anika dan pintu ditutup.
Sultan hanya diam. Menatap kosong ke arah tiga keponakan dan satu sahabat mereka.
"Dia..." ucap Sultan menggantung, "Dia... kalau saja tak terselamatkan, saya benar-benar merasa bersalah pada ayahnya," lanjutnya sambil memandang foto Anika sekeluarga.
Para lelaki itu sontak saling pandang.
Tunggu, hanya ada Devan, Rangga, dan Lukas. Ke mana Satya? Di mana pemuda yang semestinya bertanggung jawab atas masalah ini? Di mana pemuda yang membuat Anika bunuh diri?
Dokter keluar dari kamar Anika. Dari raut wajahnya, ia tak setegang seperti saat pertama tadi. Terlihat jelas bahwa keadaan Anika membaik.
"Dia sudah siuman. Jahitan di pergelangan tangannya masih rentan. Jadi tolong diawasi agar dia tak merabanya. Oh ya, Sultan dia stres berat. Tolong jaga pola makannya juga."
Sultan mengangguk dan membiarkan dokter keluarga itu berlalu.
Pelan-pelan Sultan memasuki kamar Anika dan menemukan gadis itu sedang menatap kosong ke arah jendela.
Menyadari keberadaan orang lain selain Gwen, Anika menengok, tersenyum miris. "Kenapa aku diselamatkan?" ujarnya lemah. Wajahnya terlihat sangat pucat, antara menahan lelah, menahan sakit, dan kecewa atas kejadian itu.
Sultan menahan air mata yang akan keluar. Pertanyaan Anika menggambarkan betapa frustrasi keponakannya itu menjalani hidup.
"Kenapa aku masih hidup setelah sekian lama aku berpikir untuk melakukan ini? Kenapa?" tanya Anika lemah, suaranya serak. Ia kehabisan tenaga. Bibirnya putih dan kering.
Sultan membelai rambut Anika lembut. "Karena Tuhan tahu kamu bisa menghadapinya."
Anika menatap Sultan. "Tapi aku tidak kuat lagi, Om. Aku sudah coba, tapi tidak bisa."
Sultan membelai rambut Anika, tersenyum. Matanya basah.
"Kamu spesial. Kamu terlalu berharga untuk meninggalkan dunia. Om mohon, sampai waktunya tiba, kamu harus terus bertahan. Kamu tidak boleh melakukan hal ini lagi."
Anika terdiam.
"Ayahmu… ibumu… selalu melakukan yang terbaik untukmu dan juga Mina, Anika. Mereka ingin kamu bahagia di masa depan. Walaupun mereka sudah tidak ada di sampingmu, tetaplah buat mereka dan Om bangga."
Anika melirik pergelangan tangan kiri yang kini dibalut perban.
Entahlah. Dia tak tahu apakah dia merasa menyesal melakukan ini atau tidak. Dia menyerah.
To Be Continued