Wardana's House
Anika POV
Aku menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Beberapa minggu berada di kampus ini, aku belum juga menemukan seorang pun yang layak disebut teman. Aku memang berteman dengan empat lelaki itu. Setidaknya aku juga harus memiliki teman perempuan yang bisa sedikit nyambung saat mengobrol. Itu jauh lebih seru daripada keempat lelaki itu, kan?
Teman?
Aku menelan ludah. Sepertinya aku sudah lupa cara berteman.
Aku tak yakin orang-orang di depannya itu memang baik. Di dunia tak ada yang namanya sahabat, vonisnya masa bodoh.
Mendadak aku merasakan rindu yang luar biasa pada kedua orangtuaku sambil menunduk, menahan gejolak yang terasa. Gejolak emosi aku rasakan paling pedih adalah saat melihat pernikahan Rangga dan Gwen tempo hari, pernikahan sederhana namun begitu khidmat. Semua yang aku lihat meremang, mengabur begitu saja.
"Anika?"
Aku mengangkat wajah ketika panggilan itu memenuhi telingaku, tersadar dari kepahitan. Perempuan yang tadi aku pikirkan sekarang berdiri di depanku, sambil tersenyum tipis.
Aku mengernyit.
"Kamu kenapa?" tanya perempuan itu.
Aku menggeleng lemah.
"Kita belum kenalan, ya? Aku Gwen," ujarnya lagi, sambil menyodorkan tangan.
Aku membalas jabatan itu ramah. "Anika," ucapnya.
Gwen mengangguk. "Kalau butuh apa-apa, bilang aku saja. Pasti susah ya menyesuaikan lingkungan di Jakarta?"
Aku tersenyum tipis. "No. Aku lahir di Jakarta."
Gwen mengangguk-angguk canggung. "Oh," jawabnya seadanya.
Aku hanya tersenyum masam menanggapi respons Gwen. Aku mengalihkan pandangan saat empat lelaki yang tadi makan bersamanya masuk ke kelas. Sesaat kemudian melengos sambil memutar bola mata. Masih belum bisa menerima posisi empat kancil itu sebagai idola.
"Kamu kenapa?" tanya Gwen dengan pertanyaan yang sama lagi.
"Bagaimana rasanya? Menjadi salah satu istri dari keempat idola kampus itu?"
Entah kenapa, aku merasa pertanyaan barusan seperti membawa efek negatif bagi Gwen, karena tubuhnya seketika menegang saat aku bertanya.
"Hm.. Anika. Aku tidak begitu tertarik pada kehidupan orang kaya seperti mereka" jelasnya.
Aku tersenyum menanggapi. "Akhirnya, ada juga orang yang satu pandangan denganku."
***
Satya POV
Aku berpaling dan mendapati anak baru itu tengah tersenyum. Pemandangan itu membuatku sedikit tersentak. Sejak kapan gadis itu bisa tersenyum?
"Sedang lihat apa bro?" tanya Lukas yang mungkin aneh melihat ekspresi bingungku.
Aku menggeleng. "Tidak. Bukan apa-apa." Kemudian aku melempar pandangan ke arah lapangan futsal yang terlihat jelas dari jendela kelas. Pikiranku melayang saat melihat seorang gadis berjalan bersama beberapa temannya. Gadis yang begitu aku kenal, yang bisa membuat hatiku seketika bergemuruh.
Devan terkekeh. "Ya udah, kamu balikan aja sama dia."
Aku menoleh, menatap Devan dengan pandangan tak suka. "Dia aku anggap sebagai adikku sendiri." Jawaban yang memberi penekanan bahwa 'antara kami sudah tak ada hubungan cinta lagi'
Rangga tertawa hambar. "Kalau begitu, kau sister-complex, suka sama adik sendiri!"
Aku memukul lengan Rangga. "Sial!"
Lukas ikut memperhatikan gadis yang ditatap teman-temannya.
"Bro, tidak ada salahnya beri dia second chance."
Aku hanya menghela napas. Tak berani menanggapi. Baiklah, kisah cinta pertamanya yang bodoh, pikirnya. Ia kembali memperhatikan gadis itu.
To Be Continued