Wardana's House
Hari beranjak malam, sebenarnya Rangga masih enggan untuk pulang. Namun, jika ia tidak pulang maka hanya akan menambah masalah. Bahkan tadi Qais mengusirnya secara terang-terangan, karena tidak mau ada masalah dengan ayahnya Rangga.
Cukup sudah satu kejadian yang membuatnya malu. Saat Rangga memutuskan untuk bekerja sesuai dengan hobinya daripada kuliah, tapi Pak Rama-ayahnya menghancurkan semuanya.
-Flashback-
"Kamu itu memang anak tidak tahu diri, ya? tidak tahu di untung. Tinggal ikuti apa kata Papa, apa susahnya?"
"Orang lain mau kuliah itu susah Nak, harus banting tulang untuk mencari biayanya. Sedangkan kamu, berasal dari keluarga terpandang, tapi memilih bekerja menjadi pelukis dan fotografer murahan seperti ini daripada kuliah."
"Ayahmu punya perusahan besar, harusnya kamu belajar yang rajin supaya bisa menggantikan ayah nanti. Bukannya main-main tidak jelas, mau jadi apa kamu?!"
"Jangan membuat ayah malu dengan pekerjaan rendahan seperti ini. Kalau kamu mau ayah bisa memberikan posisi yang bagus di kantor, bukan keluyuran memotret jalanan seperti ini."
"Lihat abangmu, Carlo. Dia selalu menurut, mau melakukan apa yang ayah minta. Tidak seperti kamu, kerjanya membantah saja belum lagi selalu membuat onar. Dasar pembangkang!"
***
Rangga menghela napas pelan, ia tidak tahu bagaimana lagi agar benar-benar bebas dari tekanan ayahnya. Ia ingin menikmati hidup sesuai dengan jalan yang dipilihnya, tanpa tertekan apapun. Pernah mencoba pergi dari rumah, tapi ayahnya masih bisa menemukannya dan membuat orang di sekitarnya berada dalam masalah besar.
Sampai rumah, ia melihat Satya sedang masuk ke rumah dengan langkah angkuh tanpa memperdulikan seorang perempuan muda yang sedang berdiri celingukan seperti tengah mencari seseorang. Entah kenapa, langkah kakinya tergerak untuk mendekati.
"Cari siapa?" tanya Rangga.
"Hmm... itu cari Mas Carlo, ada?"
Rangga mengernyit. "Siapanya Carlo?"
"Kamu tidak tahu siapa aku?" Perempuan itu mencebik kesal saat melihat pria di hadapannya mengangkat sepasang bahu bersamaan. Ia juga tidak begitu mengenal lelaki di hadapannya, tapi setidaknya ia tahu kalau lelaki di hadapannya itu adik tirinya Carlo. Lalu dengan santainya Rangga mengatakan kalau tidak tahu siapa dia?
"Saya Gwen. Calon istrinya Mas Carlo."
Rangga menganggukan kepalanya beberapa kali. Ia tidak tahu, sebab tidak pernah bertemu calon istri kakaknya sekali saja. Bahkan tidak pernah tertarik untuk mendengar sedikit saja kisah cinta kakaknya itu.
"Ka Carlo belakangan ini jarang pulang. Dan dua hari terakhir dia tidak pulang sama sekali."
Perempuan itu menghela napas gusar. Sudah beberapa hari Carlo, calon suaminya, mendadak sulit dihubungi. Malam ini sepulang bekerja, Gwen menyempatkan diri untuk datang menemui calon suaminya. Namun, apa yang ia dapat?
"Kamu, tidak apa-apa?"
"Kamu benar tidak tahu Mas Carlo kemana?" tanya Gwen dengan tatapan mengiba. Rangga menggeleng.
"Aku pamit saja langsung ke paviliun, semoga ada kabar dari Mas Carlo setelah ini," ucapnya lesu.
Gwen kembali pergi meninggalkan kediaman calon suaminya. Semoga ada kabar baik sebelum lusa pernikahan mereka akan dilaksanakan, semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk terhadap keksaihnya itu.
Rangga masih menatap punggung wanita yang baru saja berbicara dengannya. Entahlah, ini bukan pertama kali ia mendengar Carlo mempermainkan perempuan. Namun, kenapa kali ini ada rasa tidak rela?
"Anak dan ibu sama saja," gumam Rangga sambil masuk ke dalam. Ia bersiul memainkan kunci motornya, siulannya terhenti begitu sampai di dalam ayahnya sedang menatap tajam ke arahnya sambil melipat kedua tangan di dada.
"Anak kuliahan macam apa yang baru pulang jam segini?"
Rangga mengangkat lengannya, melihat jam yang melingkar di tangannya. Sepuluh lebih lima belas menit, belum terlalu malam sepertinya.
"Urus saja anak kesayangan ayah itu. Dia tidak pulang sejak kemarin, jangan-jangan dia kabur dengan selingkuhannya dan kembali memberi harapan palsu pada anak..."
Ucapannya terhenti saat satu tamparan mendarat di pipinya. Sakitnya masih sama, tapi refleks terkejutnya sudah berkurang. Ini, bukan lagi hal yang mengejutkan untuknya.
"Ayah sedang bicara sama kamu, jangan bawa-bawa Carlo! Dia anak baik, paling juga dia sedang mempersiapkan pernikahannya."
"Anak baik?" Rangga tersenyum sinis. "Oh, tentu. Dia anak paling baik."
"Carlo itu sudah dewasa, berbeda denganmu."
"Masih bocah? Labil, tidak punya pendirian, prinsip atau aturan, bukan? Aku sudah dewasa. Bahkan aku berhak menentukan jalan hidupku sendiri," tegasnya.
"Jalan hidup sendiri katamu? Mau jadi apa kamu kalau menentukan jalan hidup sendiri? Berandalan? Preman? Atau apa?"
Rangga mengantur napasnya, tangannya terkepal kuat dengan gigi yang bergemeletak. Ia tidak ingin ribut malam ini, lelah. Lelah terus bertengkar dengan seseorang yang seharusnya ia hormati.
Ayah dan anak itu serempak menoleh saat mendengar suara pintu kembali terbuka dan ketukan sepatu hak menginteruspsi. Rangga tersenyum sinis melihat mama tirinya yang baru saja pulang, entah dari mana.
"Urus saja istri kesayangan ayah itu. Istri macam apa yang pulang jam segini?" tanya Rangga setengah berbisik.
Tanpa menghiraukan ayahnya, Rangga memilih masuk kamar. Masih terdengar jelas suara ribut-ribut antara mama dan ayahnya di luar sana, pasti mereka bertengkar lagi. Sampai di dalam ia mengempaskan bokongnya di bibir ranjang. Tangan besarnya terulur meraih foto di atas nakas, foto seorang anak kecil berpegangan tangan pada wanita dewasa di sebelahnya.
"Harusnya ayah saja yang meninggal, bukan Bunda. Aku lebih rela kehilangan Ayah, daripada harus kehilangan Bunda." ucapnya, "Bunda, aku kangen." Rangga memejamkan matanya.
Rangga kembali meletakan foto sang bunda. Tenggorokannya terasa kering membuatnya mengayunkan langkah kaki ke dapur, tapi suara ribut-ribut di luar membuat ia mengurungkan niatnya.
"Mana Carlo? Seenaknya saja dia membatalkan pernikahan. Kalian semua mau menghina saya?!"
"Mentang-mentang saya hanya orang kampung, kalian pikir bisa mempermainkan saya dan Gwen? Keterlaluan!"
Rangga membuang napas kasar sambil menggaruk pelipisnya. "Sepertinya anak baik itu kembali membuat ulah."
To Be Continued