Sesampainya di pekarangan rumah, Alana menghampiri Jefri diikuti dengan Dirga yang masih setia di belakangnya. "Ikuti aku." Pinta Alana, baik Dirga maupun Jefri, keduanya berjalan mengekori Alana untuk memasuki rumah.
"Bundaaa! Huhu El takut bunda!" teriakan Elena menggema di seluruh ruangan, dengan raut wajah khawatir sang ibu menghampiri anaknya yang sedang ada dipangkuan kakeknya
"El, kenapa sayang? ada yang sakit? jangan buat Bunda khawatir nak."
"El takut bunda pergi huaaaa huhu." Alana mengernyit, ia menoleh kepada ibu dan ayahnya berusaha meminta penjelasan. Mengapa anaknya bisa setakut itu?
"Sepertinya dia bermimpi buruk." jelas ibu.
Alana tampak terkejut, hanya karena itukah anaknya menangis? detik berikutnya Alana merubah raut wajahnya, tersenyum ke arah Elena dan mengambil alih Elena dari pangkuan sang ayah.
"Ssst, berhenti menangis ya? Bunda di sini, Bunda nggak akan ke mana-mana El karena Bunda akan selalu bersama El." dielusnya sayang surai sang putri dengan lembut kemudian menghapus air mata yang masih setia mengalir dari kedua mata gadis kecilnya.
Sungguh sangat menggemaskan hingga harus membuatnya khawatir. Apa yang sebenarnya Elena impikan sampai membuatnya meraung seperti tadi?
"Alana?"
Alana menoleh kepada sang ibu yang sedang menatap Jefri, sepertinya kedua orang tuanya baru menyadari kehadiran pria yang merupakan ayah dari Elena. Ada perasaan bersalah di hatinya karena baru bisa mempertemukan Jefri dengan anaknya.
"Om yang ada di sebelah papa siapa?" tanya Elena.
Terdiam, tak ada suara dari siapapun, Alana sendiri terlihat ragu untuk menjelaskan kepada Elena bahwa yang ada di hadapannya itu adalah ayahnya.
Ayah yang selalu ia tanyakan di setiap malamnya, meskipun dirinya tidak tahu bagaimana wajah sang ayah.
"Bunda?" panggilan Elena lagi-lagi membuat Alana menatap kedua mata cantik Putrinya. Meski Elena baru menginjak usia 6 Tahun, Elena sangat pintar seperti Ayahnya terlihat jelas dari caranya berbicara dan caranya dalam membaca situasi.
Alana menurunkan Elena dari pangkuannya lalu menghela nafasnya pelan. Mungkin ini sudah waktunya, Ia yakin bahwa sekarang adalah waktu yang tepat untuk mempertemukan mereka kembali.
"El, dengarkan bunda, om yang ada di sebelah papa Dirga itu Ayah kamu." katanya to the point seraya menunjuk ke arah Jefri yang sedari tadi sedang menatap Elena dengan mendamba, sarat akan kerinduan— Kerinduan sang Ayah terhadap putrinya.
Elena tak bergeming, matanya mengarah kepada Jefri. Elena melirik Dirga yang juga terdiam. Anak kecil berusia Enam tahun itu berjalan pelan menghampiri keduanya.
Mata Alana terpejam, dalam hati ia merapalkan do'a berharap agar anaknya dapat menerima kehadiran sang ayah.
Namun, siapa sangka setelah Alana sampai di hadapan Jefri, anak gadisnya itu justru berbelok menghampiri Dirga dan meraih tangan papanya.
"Papa.... Apa benar om itu ayah?" tanyanya dengan wajah polosnya. Dirga terkesiap, matanya beralih menatap Alana seakan meminta persetujuan.
"Iya, katakan mas." ujar Alana tanpa suara.
Setelah mendapatkan persetujuan, Dirga sedikit membungkukkan tubuhnya, mensejejajarkan dirinya di depan Elena, "Elena, ini Ayah Jefri, Ayah yang selalu Elena tanyakan di setiap malam. Ayo beri salam pada Ayah." katanya lalu mendekatkan Elena pada Jefri.
Jefri memposisikan dirinya berjongkok di depan Elena dengan bertumpu pada sebelah kakinya, ekspresinya berubah menjadi sendu kala menatap putrinya yang begitu polos.
"Elena... putri Ayah." Jefri nyaris menangis, nada suaranya bergetar. Dia menarik Elena ke dalam pelukannya, mengecup surai lembut milik putrinya dan membisikkan kata maaf sebagai penyesalannya. "Ini Ayah, maafin ayah baru bisa menemui kamu."
Tidak ada balasan dari Elena membuat semuanya kebingungan sampai sepersekian detik berikutnya Elena membalas pelukan sang Ayah.
"A-yaaahhh." katanya menangis terisak. "A-Ayahh dari ma-na saja."
Alana memperhatikan keduanya, tangisnya seketika pecah, tak kuasa untuk menahannya, tentu dirinya juga merasa bersalah. Karena keputusannya dan Jefri, Elena yang menjadi korban keegoisan mereka.
"Maafkan ayah dan bunda nak." cicitnya pelan.
Alana merasakan rengkuhan Dirga yang kembali mengerat, pria itu membisikkan kata-kata yang dapat menenangkan hati.
Dirga mengerti jika hati sang kekasih sedang goyah. Alana takut jika Jefri akan mengambil alih hak asuh Elena, itu yang ditakutinya sejak dulu. Sebuah alasan kuat seorang Alana melarang Jefri untuk bertemu dengan anaknya.
•••
"Sudah tenang?" tanya Dirga, pria itu mengurai pelukannya untuk menatap wajah sang kekasih, "Jangan menangis lagi Al, Elena hanya pergi bersama Jefri sebentar untuk bertemu dengan kakek dan neneknya yang lain, biar bagaimanapun dia tetap Ayah dari anakmu."
Menurut Dirga memberikan pengertian kepada Alana adalah hal yang harus dia lakukan, dikecupnya lembut dahi sang kekasih untuk memberikan kekuatan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
"Tapi mas?"
"Kalau itu yang kamu takuti, itu nggak akan mungkin terjadi Al karena aku mengenal Jefri. Kalau dia bertindak lebih biar aku yang bicara dengannya."
Alana terdiam, matanya menatap Dirga untuk meminta penjelasan. Apa yang dimaksud dengan kalimatnya barusan? tersirat makna lain di sana dan Alana menyadari itu.
Seakan mengerti, Dirga kembali melontarkan kalimatnya, "Oke akan aku jelaskan tapi sebelum itu kamu harus makan karena sedari tadi perutmu belum diisi."
Satu jam kemudian setelah mereka menghabiskan santapan makan siang, Alana mendudukkan dirinya tepat di sebelah Dirga yang sedang fokus dengan laptopnya lalu menyandarkan kepalanya di bahu pria itu. "Mana janjimu?"
Dirga menghentikan aktivitasnya, "hmm? janji apa yang kamu maksud? bukannya kamu yang masih memiliki janji?" tanyanya balik.
"Oke aku akan cerita tapi ceritakan dulu maksud mas yang mengenal Jefri itu apa? sejak kapan mas mengenal dia?"
Tangannya dengan cekatan menyimpan file yang dia kerjakan tadi lalu menutup laptopnya pelan dan menyimpannya di atas meja.
Dirga menarik tubuh Alana agar bisa berhadapan dengannya, ia memilih menumpu salah satu tangannya dengan siku di sofa dan satu tangannya lagi memainkan rambut sang kekasih, lebih tepatnya mengelus rambut Alana pelan.
"Janji jangan marah ya?" tanyanya.
"Tergantung." jawab Alana singkat membuat Dirga berdecak pelan, "Iya, iya aku nggak akan marah."
"Sebenarnya aku udah lama tahu mantan suami kamu itu Jefri dan aku juga udah tahu kalau Jefri yang menggantikan Yudha sebagai Kepala Divisi Pemasaran karena Jefri itu sepupu aku."
Kedua mata Alana melebar, tak percaya jika Dirga dapat menyembunyikan hal sebesar itu darinya, untuk masalah Jefri yang menggantikan pak Yudha sebagai Kepala Divisi ia tidak mempermasalahkan itu, tapi yang membuatnya semakin tak percaya adalah : mantan suaminya merupakan sepupu dari kekasihnya sendiri, terlebih tak ada niatan dari Dirga untuk memberitahunya seakan mereka tidak saling mengenal satu sama lain.
Apa kata keluarga Dirga nanti jika mereka tahu Alana adalah mantan istri dari sepupu Dirga sendiri.
Apa Dirga sudah gila? dan bagaimana Alana tidak mengenal Dirga selama dirinya berstatus sebagai istri dari Jefri?
"Mas, kenapa kamu nggak pernah membicarakan soal ini sebelumnya sama aku?"
"Yang mana? perihal Jefri sepupuku? Masalah Jefri yang menggantikan Yudha? Atau masalah aku yang tahu kalau Jefri adalah mantan suami kamu?"
"Untuk yang 2 itu aku nggak akan mempermasalahkannya mas tapi kenapa kamu menutupinya dariku bahwa ayah Elena adalah sepupu kamu? Aku malu mas dengan keluarga kalian." lirihnya, kedua tangannya pun sudah menutupi wajahnya.
Dirga mencoba meraih ke dua tangan Alana, "Apa yang membuat kamu malu?" Alana tak bisa menjawab, dipalingkan wajahnya dari hadapan Dirga,
"Hey dengar ini, terlepas dari siapa aku. Apa salah kalau aku mencintai seorang wanita yang memang nggak terikat oleh siapapun? Saat itu kamu udah sendiri Alana dan Aku nggak merebut kamu dari Jefri, kamu juga sama sekali nggak menggoda aku, kalian berpisah memang itu udah keputusan dari kalian, nggak ada sangkut pautnya denganku, jadi untuk apa kamu malu? aku dan Jefri memang saudara jauh dan keluargaku nggak se-kuno itu sayang." tangan Dirga tergerak untuk mengelus pipi Alana pelan.
"Kamu nggak akan ngerti mas karena kamu nggak merasakan apa yang aku rasain."
"Apa yang buat kamu ragu dengan hubungan ini? Kamu nggak pernah seperti ini sebelumnya."
"Papa kamu mas, Papa kamu bahkan curiga dengan hubungan kita dan memintaku untuk menjauhi kamu. Mas... sebelum semuanya terlambat akan lebih baik kalau kita berpisah, iya kan? jangan pernah menentang perintah papamu mas kalau memang mereka nggak merestui kita."
Karena ketika kita membangun hubungan cinta dengan seseorang yang telah menjadi pilihan hati, pastikan untuk meminta restu kedua orangtua. Apalagi, jika hubungan tersebut akan dibawa ke arah yang lebih serius yakni sebuah hubungan pernikahan.
Sebuah hubungan yang mendapat restu dari orangtua, maka akan menjadi hubungan yang begitu mengesankan, yang Alana inginkan hanya itu. Ia takut jika kejadian yang dulu akan terulang lagi. Ibu dari Jefri yang terpaksa memberikan restu saat mereka menikah dahulu.
Dan sebuah hubungan yang mendapatkan restu orangtua akan mengantarkan kita untuk meraih kebahagiaan. Ingatlah bahwa saat orang tua merestui kita, secara tidak langsung mereka memberikan do'a yang terbaik untuk kita.