webnovel

Berasa Kaya Aku Yang Numpang!

Banyu berdehem lalu berkata, "namanya rumah di dekat hutan, wajar kalau dengar suara binatang malam." Pria yang tahun depan menginjak usia empat puluh lima itu melirik kearah putrinya yang sedang menikmati sarapan dengan kepala menunduk.

Seketika suasana sarapan sesuai nama putrinya, Hening. Tidak lagi seiuh pasar malam.

"Nggak mungkin pak, saya denger dengan jelas. Dengusannya buat mual, dan biasanya cuma babi hutan yang mendengus gitu. Entar malam kalo saya denger lagi, saya banguni bapak dan ibu. Biar dengar." Dipta memaksakan kalo pendapatnya itu benar.

'Kicep kan lo Jenong! Heh, liat apa yang bisa gue lakuin ke lo!' batin Dipta penuh dendam keramat. Siapa yang nggak dendam kalo di dzolimi masalah makanan. Mana semalam lapar sampe naek asam lambung.

Hening terus mendumal dalam hati. Sial kali, gara-gara orang luar ngorok nggak tenang. Kaya mana seandainya ntar malam anak monyet ini beneran nungguin suara babi hutan yang nggak lain suara ngoroknya sampe nggak tidur. Nggak mungkin dia begadang kan?

'Ya Allah …, aku capek serumah sama anak monyet ini. Berasa kaya aku yang numpang!' jerit batin Hening pilu. Anggap aja reaksi muka Hening kaya orang lagi nahan sak eek. Cemberut plus kecut.

Dan parahnya, Hening nggak sadar kalo Dipta sedang nyindir dia.

"HENI … YUHUUU!!!! WAKTUNYA BERANGKATTT!"

Hening mendesah lega karena di selamatkan jeritan Nur. Nur sama Bayu emang jemput Hening setiap mau pigi sekolah, sebab mereka jalan motong, jalan dari ladangnya Hening dekat, gitu jumpa jalan utama, langsung jumpa sekolah.

Nggak bakal telat, tapi yaitu kalo mau lewat situ kudu pake sendal dari rumah, sebab becek, sayang sepatu sekolahnya bisa basah. Kalo tiap hari di basahin cepat rusak, sementara jatah beli sepatu setiap kenaikkan kelas. Setahun sekali, harga tergantung nilai rapot.

Semakin tinggi nilai semakin mahal harga sepatu dan merk, gitu juga sama tas dan alat tulis. Hening yang paling bagus sebab nilainya selalu bagus, tapi namanya juga Hening, yang awet sama dia Cuma besi. Nggak heran kalo ibunya sering kali merepet perihal sepatu gadis itu lekang, padahal baru beberapa bulan di pakek.

Hening menyeruput teh manisnya dengan terburu, "Hening berangkat, assallamu'alaikum." Cepat-cepat dia berdiri dan salim terus langsung keluar rumah, ikat sepatu di tali tas, pake sendal habis tu langsung pigi.

"Walaikumussalam, hati-hati," ucap Banyu yang di anggkuki Hening sambil berlalu cepat.

"Kita juga Den, aden ikut saya hari ini."

Dipta yang baru mau nyendok-in nasi goreng ke dalam mulut langsung menoleh menatap pria paruh baya yang cukup di akuinya sangatlah tampan untuk orang miskin. Dipta jamin kalo aja abah si Jenong berada sikit, pesonanya sama kaya orang kerja kantoran.

Jarang-jarang Dipta muji orang, jadi kalo dia udah muji artinya itu benar. Ya emang, bapak Hening ganteng, kalo nggak gimana mungkin dapatin emaknya Hening, si kembang desa? Dan punya anak macam Hening.

Si ulet keket yang cantik jelita.

"Kemana?" tanyanya. Habis itu dia suap nasi goreng yang rasanya sangatlah enak. Mungkin karena lapar nasi sederhana gini rasanya jadi enak, di tambah lauk pauk yang nggak mungkin dia liat tersaji di atas meja makan yang ada di rumah besar, kecuali tempe.

Kakek-neneknya sangat suka tempe, pokoknya nggak boleh nggak ada benda itu di atas meja makan. Pelayan bisa kena amuk. Ah … mengingat neneknya, ingin rasanya Dipta menghubunginya, tapi nggak tau kemana. Saking niatnya buang dia jauh dari rumah, neneknya nggak di kasi pegang hp sama kakeknya.

"Ladang." Dipta hampir mati tersedak mendengar apa yang Banyu ucapkan. Demi apa dia harus ke ladang? Oh … nggak bisa di biarin.

Dipta menenggak habis teh angetnya lalu berkata, "gini ya pak, mungkin ada kesalah pahaman disini. Kakek memang mengantar saya kemari buat belajar hidup sederhana, menerima semua dengan lapang dada. Tapi, nggak beladang juga." Protesnya. Lalu dia melanjutkan, "saya orangnya belajar cepat, cuma semalam saya udah bisa menerima semua yang kakek saya inginkan. Hari ini saya akan pulang."

Banyu tidak membantah, "ya sudah kalau begitu saya akan pergi sendiri ke ladang. Tapi anda harus tau satu hal, dirumah ini tidak ada makan gratis. Yang bekerja baru boleh makan, seperti itulah hidup berjalan."

Nasi yang di kunyah Dipta belum habis, tapi karena ucapan Banyu yang to the point, tu nasi dengan sendirinya ketelen dan nyangkut di tenggorokkan. Sekali lagi, Dipta hampir mati kesedak, cepat-cepat dia minum.

Banyu menatap istrinya, "abah pergi."

"Ibu ikut, hari ini mau masak di ladang. Kok pengen ngeliwet ibu." Banyu mengangguk. Susi langsung membereskan tempat habis sarapan mereka. Dia melihat Dipta bengong, mirip orang yang kehilangan semangat hidup.

Ah … dia tau apa yang anak kota ini rasakan. Nggak bisa makan kalo nggak kerja, tentu nggak biasa buat anak orang kaya yang tebuka mata semua tersaji tanpa harus berusaha. Untung Heningnya nggak gitu, bisa mati penasaran dia kalo putrinya punya sifat manja yang sangat merugikan diri sendiri.

Setelah semuanya siap, Susi berkata, "kami tinggal ya Den."

Dipta masih diam nggak menjawab. Dalam otaknya sedang berpikir, kok … nasibnya gini amat.

***

Sementara itu, sepanjang perjalanan menuju sekolahnya, Hening terus mengumpat. Kali ini agak sadis, semua hewan liar keluar dari mulutnya. Nur sama Bayu mau nanya, tapi takut. Takut jadi sasaran kekesalan seorang Hening.

Bagus diam, kalo Hening cerita ya dengerin kalo nggak ya pura-pura nggak tau aja. Itu jalan jitu untuk menyelamatkan diri sendiri. Pikir mereka.

Hening mendengus kasar karena kelelahan mengumpat.

"Hen …, awas!" Tegur Bayu dengan suara keras. Gadis cantik itu kaget dan langsung melompat kecil, kalo nggak bisa masuk paret. Walau air paretnya sangat jernih tapi nggak mungkin nyemplung juga, baju sekolah basah yang ada nggak berangkat sekolah.

Nur merasa sekarang waktu yang tepat untuk masuk ke topik utama, ecek-eceknya kesal dengan sikap Hening, "napa sih Hen … dari kami jemput tadi muka nggak enak gitu? Sepanjang jalan juga mendumal, pamali. Kata ibuku kita sebagai perempuan nggak boleh mendumal."

Emang ibunya Nur agak ketat mendidik sikap putra-putrinya, tapi ya nggak kaya putri keraton juga. Dan pastinya nggak se bar-bar Hening juga.

"Anak monyet itu sumpah buat hidup aku kaya di neraka!" Dalam otak Hening sekarang ini berpikir kalo nanti malam si Dipta beneran begadang cuma buat dengerin suara ngoroknya, gimana coba?

Bayu dan Nur saling pandang dan sekarang tau akar masalah Hening pagi-pagi udah uring-uringan gini.

"Apa yang dia buat? Adu lah ke abah sama ibu!" Bayu ikutan kesal.

Eleh … kalo di adepin sama Dipta, nggak berani juga. Ototnya di adu sama otot Dipta mendadak jadi jelly.

Hening menggeleng frustasi, "di adupun percuma, sebab bukan salah dia. Mana mungkin abah sama ibu bela aku!"

"Apa rupanya?" tanya Nur nggak sabar. Dia pun gregetan jadinya.

"Dia bilang semalam dengar suara dengusan babi hutan, padahal itu suara ngorokku. Nanti malam mau di tungguinnya tu suara."

Mata Hening berkaca-kaca, mau nangis. Tapi apa yang di dapatnya dari kedua temannya? Bukannya simpati, malah terbahak sekuat-kuatnya. Orang-orang yang sedang meladang sampe liatin mereka, denga muka penuh tanya.

'Apa yang lucu?'

Hening kesal sampe mo meninggoy, sumpah!

Chương tiếp theo