webnovel

18 Semakin dilema

Jeni tampak tertunduk lesu. 'Maafkan aku, Wil. Kembali lagi aku harus membohongi kamu,' lirih Jeni dalam hatinya.

Wili yang masih terperangah dengan jumlah hutang Jeni yang terdengar banyak, segera memeluk tubuh kekasihnga itu seraya mengusap rambutnya yang lurus.

"Tenanglah, Jen. Ada aku di sini," bisik Wili di dekat telinga kekasihnya itu.

Wili tampak tersentuh dengan kisah hidup Jeni yang terdengar tragis yang sangat jauh berbeda dengan kehidupan dirinya yang serba mewah dan berkecukupan. Wili memang anak seorang konglomerat, akan tetapi uang yang bernilai lima ratus juta itu begitu besar baginya yang baru saja lulus sarjana satu dan belum memulai usahanya.

Tapi meski pun begitu, bukan Wili namanya jika tak mempunyai cara untuk mendapatkan uang yang terbilang banyak itu.

"Makasi ya, Wil. Kamu selalu bisa membuat perasaanku lebih tenang," balas Jeni berbisik.

Wili kemudian melonggarkan pelukannya. Ia menatap wajah Jeni yang sedu dengan kelopak matanya yang terlihat pucat. Wili bisa melihat jika kekasihnya itu memang tengah memikul beban yang amat besar.

Wili kemudian mengusap kedua belah pipi Jeni dengan lembut. Menatapnya penuh makna.

"Jangan pikirkan masalah ini lagi. Bebaskan bebanmu, ingatlah, Jen. Kamu harus tetap sehat karena minggu depan adalah acara widusa pertamaku. Kamu masih ingat, Jen! Kamu sudah berjanji akan hadir mendampingiku. Jangan pikirkan masalahmu itu, biarkan itu menjadi bebanku," ucap Wili dengan lembut.

Jeni pun mengangguk pelan. Ia baru saja ingat dengan janjinya yang akan menemani Wili pada acara wisudanya. Tentu Jeni tak ingin mengecewakan kekasihnya itu. Ia harus memikirkan langkah selanjutnya agar tetap menemani Wili tanpa diketahui oleh Jefri, sang mantan suami.

Setelah Wili berhasil membuat perasaan Jeni tenang, mereka kemudian melanjutkan perjalanannya untuk segera pulang karena Karin sudah mengkhawatikan Jeni.

Lagi dan lagi, pikiran Jeni berselimut rasa penyesalan. Andai waktu bisa diulang kembali tentu pernikahan kontrak itu tak akan ia lakukan agar Jeni tak terjerat oleh masalah yang serumit ini.

Di sepanjang perjalanan Jeni hanya membisu dengan tatapan ke depan tak tentu arah. Berkali-kali ia terus saja menyesal serta rasa bersalah di dalam dadanya kian berkecamuk. Ia merasa berat dengan Wili, berat untuk melepaskan Wili karena dia sangat mencintainya.

'Mengapa saat aku telah menemukan Cinta sejatiku di situ pula masalah besar datang menghampiriku. Mengapa Wili yang harus menjadi adiknya Mas Jefri. Ya Tuhan! Apakah ini balasan untuk orang kotor seperti aku,' lirih Jeni dalam hatinya. Ia tampak sedu dengan lamunannya, sampai tak terasa pintu di sampingnya sudah dibuka oleh Wili.

"Sudah sampai, Jen. Ayo kita turun," ajak Wili setelah ia membuka pintu mobilnya.

"Ih iya, Wil," sahut Jeni yang baru saja sadar dari lamunannya. Ia keluar dari mobil Wili karena mereka sudah sampai di depan rumah.

"Wil, terima kasih ya sudah membawaku ke klinik. Kamu pulang saja ya, ini sudah sore," pinta Jeni dengan tatapannya yang sayu.

"Oh iya, Jen. Aku paham kalau kamu memang harus istirahat," balas Wili. Ia yang selalu pengertian terhadap Jeni cukup mengerti akan kondisi kekasihnya.

Wili kemudian mengecup kening Jeni dengan lembut penuh kasih sayang.

"Aku pulang ya," ucapnya. Ia kemudian menyodorkan plastik yang berisi obat yang telah ia tebus di klinik tasi kemudian menyerahkannya pada Jeni.

"Ini obatnya, minum sesuai jadwal yang teratur ya."

Setelah menyerahkan obatnya, Wili kemudian membalikan badan, berjalan kembali masuk ke dalam mobilnya lalu melajukan kendaraan roda empatnya setelah sebelumnya melambaikan tangan sebagai tanda pamitnya pada Jeni.

Setelah memastikan kekasihnya pergi, Jeni kemudian berjalan dengan cepat masuk ke dalam rumahnya dengan perasaan was-was.

"Kamu dari mana saja, Jen?" tanya Karin saat Jeni telah menutup kembali dan mengunci pintu rumahnya.

Jeni membeliak terkejut mendengar suara mamahnya yang seketika mangagetkannya.

"Mamah," sahutnya terkejut diiringi helaan nafas.

Ia kemudian berjalan lalu duduk di sofa yang berada di ruang tamu.

"Aku mampir dulu ke restaurant, Mah. Tapi, satu jam kemudian ada Mas Jefri masuk ke restaurant tersebut. Aku sempat kelabakan. Beruntung aku masih bisa lari dari, Mas Jefri." Jeni bercerita dengan raut wajahnya yang lesu. Tentu, melihat Jefri membuatnya tegang dan lesu.

"Jeni, Jani! Satu masalah belum selesai, datang lagi masalah baru," sesal Karin sambil turut serta duduk di sofa yang sama.

"Bagaimana jadina, jika lelaki tadi mengetahui kehamilanmu? Anda saja dia belum beristri, sudah pasti Mamah akan meminta pertanggung jawabannya. percayalah, Jen. Hidup bagai buronan itu tidak akan tenang!" sambung Karin. Ia tampak menyenderkan kepalanya di bahu sofa. Karin tampak bingung, harus kemana ia menyandarkan bebannya yang hanya seorang diri tanpa seorang suami yang mendampingi.

"Mas Jefri, tak akan tahu kehamilan ini, Mah. Dan dia jangan sampai tahu. Aku tidak mau merusak rumah tangganya. Aku tidak mau kembali padanya. Aku tidak mau bersenang-senang di atas penderitaan istri dari, Mas Jefri," jawab Jeni berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Ia memang ingin hidup bahagia tapi tak ingin menyakiti orang lain, dan Wili adalah cinta sejatinya bukanlah Jefri.

"Sampai kapan kamu akan menutupi ini semua, Jen?" tanya Karin menegaskan.

"Aku tidak tahu, Mah. Aku hanya belum siap untuk kehilangan Wili," jawab Jeni.

"Lalu bagaimana dengan kondisi kehamilanmu, Jen?" Karin kembali bertanya. Sebagai orang tua tunggal bagi, Jeni. Tentu Karin merasa khawatir dengan keadaan putrinya.

"Janin ini begitu kuat dan masih dalam keadaan sehat," jawab Jeni semakin lesu. Ia tak menginginkan janinnya tetap hidup, akan tetapi kondisinya berbalik dengan harapannya. Janin itu cukup kuat mungkin sama seperti bapak biologisnya.

"Ya Tuhan, Jen. Mamah kan sudah bilang. Jangan ulangi dosa kamu. Janin itu bersalah, kamulah yang salah. Perbaiki diri kamu dan jangan mengulangi dosa yang sama!" tegas Karin dengan ucapannya. Ia memang tak mengharapkan Jeni menggugurkan kandungannya. Akan tetapi, bagaimana dengan bapaknya? Sampai saat ini mereka berdua pun masih belum menemukan jalan keluarnya.

Sepasang manik yang tampak berkaca-kaca itu, kembali meluruhkan bulir bening yang sedari tadi ia bendung di dalam dadanya. Jeni kembali menangis bersedih penuh rasa penyesalan.

"Lalu aku harus bagaimana, Mah. Aku tidak ingin kembali pada, Mas Jefri. Aku tidak mau mengulangi kisah kelamku yang buruk bersamanya. Tapi, bagaimana dengan anak yang berada dalam kandungan ini?" lirih Jeni dengan suara isak tangis yang mengiringi setiap perkataannya.

Jeni tampak menutup wajahnya yang basah oleh air mata, dengan kedua telapak tangannya. Dilema dan hancur itulah perasaan yang kini ia rasakan. Harapannya untuk bersama Wili seolah kian terpatahkan dengan kondisi kehamilannya saat ini.

Chương tiếp theo