webnovel

Keluarga Samudera

BRAK!

Pintu mobil tertutup dengan kasar. Reyhan membanting pintu mobilnya lalu masuk ke dalam. Di dalam, Fiona cemberut karena Reyhan tidak menuruti permintaannya membelikan gaun itu.

"Pelit!" Fiona menyindir Reyhan.

"Pelit?? Ratu Fiona Atmadja!! Kamu dengar sendiri berapa harga gaun itu!!! Gaun itu harganya sama dengan satu mobil mewah!! Dan kamu sesumbar ingin membelinya dengan harga dua kali lipat!!" Reyhan menyentak galak. Wajahnya merah padam lantara malu dan juga gengsi melebur menjadi satu. Gara-gara Fiona meminta designer untuk memberikan gaun milik Hera padanya. Beruntung, designer itu menolak dengan keras. Kalau tidak, Reyhan harus merogoh koceknya dalam-dalam hanya untuk sebuah gaun.

"Uang segitu tidak ada artinya buatmukan?!!" ketus Fiona, benar sih, apalah artinya mengeluarkan dua milyar bagi keluarga Dirgantara? Keluarga Reyhan pasti punya. Tapi Reyhan bukanlah pemilik perusahaan Dirgantara, statusnya masih bekerja pada sang ayah. Bisma belum mau mewariskan semua hartanya pada Reyhan atau pun adiknya. Jadi, Reyhan hidup dengan menggunakan gaji dari sang ayah. Uang dua milyar untuk membeli gaun hanya akan membuatnya miskin seketika.

Lagi pula, di luar harga gaun yang mahal, ada yang lebih Reyhan khawatirkan. Reyhan tak sampai hati bila ia harus mengusik Hera dan keluarganya.

"Jangan bertingkah lagi, Fiona! Huft!! Kamu hampir saja membuat keributan dengan Hera." Reyhan mengacak rambutnya dengan kasar karena gemas dengan kebodohan Fiona.

"Memang apa hebatnya sih keluarga itu??" Fiona mendengus kesal, masih merajuk. Reyhan pun menghidupkan mesin mobilnya dan pergi dari bridal itu.

"Apa hebatnya?? Bahkan semua hotel milik Dirgantara di bangun dengan meminjam uang dari bank milik mereka!" seru Reyhan.

*******

.

.

.

Sore hari. Kembali ke MIR.

Beberapa pasien rawat inap keluar dari dalam ruang perawatan untuk menghirup udara sore yang hangat. Mereka sengaja berjalan-jalan di taman rumah sakit untuk sekedar merenggangkan badan atau pun mengusir rasa bosan.

Matahari sore berwarna jingga kemerahan, hangat dan membuat hati tenang. Para lansia sampai anak-anak menikmati mandi sinar matahari sore di dampingi oleh sanak keluraga atau perawat.

Felicia duduk di bangku taman, ia menjadi salah satu penikmat senja kala itu. Masih dengan satu cup kopi yang mengepul hangat di tangannya, gadis manis itu sesekali tersenyum saat ada perawat atau pun teman sejawat yang mengenalnya melintas.

"Ehem. Boleh duduk di sini?" tanya seorang pria. Felicia menoleh, ia melihat seorang pria dengan rambut penuh uban dan sedikit tipis di bagian tengah. Masih dengan tiang dorong infus melekat dipergelangan tangannya, kakek tua itu nekat berjalan-jalan sendirian.

"Tentu saja, Kek. Duduklah, mari saya bantu." Felicia menawarkan bantuan. Dengan cekatan dan juga telaten ia membantu pria malang itu duduk di bangku taman.

"Bangku ini memang sangat pas untuk menikmati sore. Mataharinya terlihat namun tidak terlalu silau," ujarnya begitu duduk.

"Kakek benar, di sini tempat favorit saya juga saat menunggu jam istirahat berakhir." Felicia kembali duduk di samping pria tua itu.

"Jam istirahat? Bukankah sudah seharusnya kamu pulang? Apa tidak ada dokter di shift selanjutnya?"

"Ahaha … Hari ini aku melemburkan diri karena tiga hari membolos." Felicia menggaruk dahinya, malu juga mengatakan pada orang lain tentang kesalahannya.

"Kenapa membolos?"

"Well … ada masalah pribadi." Wajah Felicia menjadi sendu. Ia memang tak pernah menyangka bahwa hidupnya yang sempurna akan terbolak balik seratus delapan puluh derajat, tunggang langgang dalam waktu singkat. Bahkan kehilangan segalanya.

"Dengan pria?"

"Bagaimana Kakek tahu?" Felicia melongo.

"Hanya ada dua hal yang membuat wanita menangis sedih. Satu keriput di wajah, dan kedua adalah pria. Bahkan wanita tidak menangis saat merasakan sakitnya melahirkan. Tapi untuk masalah perasaan, mereka sangatlah cengeng."

"Hahaha!! Kakek bisa saja, mirip pujangga. Memang sih, aku bahkan tidak menangis saat terjatuh dari sepeda. Tapi aku selalu menangis saat mengingatnya. Sampai seorang pria lain mengatakan kalau aku begitu cengeng." Felicia teringat ucapan Kaisar, ia terus mengatakan Felicia mudah sekali menangis. Ah, kenapa sih kepikiran mulu sama Kisar?

"Siapa namamu, Nak?"

"Felicia."

"Namaku Alfendy, cucu-cucuku biasa memanggilku Kakek Al."

Keduanya kembali mengobrol, Felicia tenggelam dalam obrolan panjang lebar bersama dengan pria tua itu. Tanpa terasa sudah hampir satu jam berlalu. Pukul empat sore, Felicia harus lekas kembali ke UGD.

"Maaf Kakek Al, saya harus kembali ke UGD. Apa Anda butuh bantuan untuk kembali ke kamar? Saya akan mengantarkan Anda sebelum kembali bekerja." Tawar Felicia.

"Tidak usah, kembali saja sana. Aku masih betah menikmati udara sore," tolaknya halus.

"Baiklah kalau begitu. Jangan lama-lama, terpapar angin dingin juga tidaklah baik untuk kesehatan, apalagi Anda baru proses penyembuhan." Felicia memberi wejangan.

"Iya, hah … bahkan cucuku saja tidak sebawel dirimu. Sana pergilah." Alfendy terkikih dan mengusir Felicia pergi. Ia terus melihat gadis itu menghilang dari pandangan matanya.

Wajah pria tua itu terlihat bersahaja, helaan napas yang panjang membuatnya lega. Matanya teduh menatap taman luas yang mulai menguning karena efek senja. Teringat ucapan cucunya saat meeting bersama siang tadi.

.

.

.

[Alfendy Samudera - VVIP] status pengobatan: Recovery program pasca operasi.

Para sekretaris dan dewan direksi mengundurkan diri begitu selesai membereskan semua dokumen. Rapat dewan direksi terpaksa diadakan singkat di kamar rumah sakit karena sang CEO masih tergeletak lemah pasca operasi empat hari lalu.

"Hari ini Kaisar datang kemari." Hera membantu Alfendy kembali merebahkan diri di atas ranjang begitu meeting mereka siang ini selesai.

"Kaisar?" Mata Alfendy membelalak.

"Benar, dia mengantarkan dokter bernama Felicia. Entah apa hubungan antara mereka berdua. Pembicaraan kami terputus karena rapat hari ini." Hera duduk di samping sang kakek dan mulai mengupas apel. Devina Hera Samudera adalah cucu pertama dari Alfendy Samudera. Pemilik Grup Samudera, bank terbesar se asia tenggara.

"Hmm … Kaisar menemui seorang gadis?" Alfendy sedikit tidak percaya, beruang kutub yang dingin itu bisa dekat dengan seorang gadis? Wajah Alfendy terlihat berseri, penasaran gadis seperti apa yang berhasil menundukkan Kaisarnya.

"Sampai kapan Kakek akan membiarkannya berkeliaran tidak jelas dan menjadi gembel di jalanan?? Kenapa kalian berdua begitu keras kepala?!" Hera menghenyakkan diri di sandaran kursi dan memakan apel, ternyata ia tak mengupasnya untuk sang kakek.

"Bukan Kakek yang keras kepala, Hera. Adikmu sendiri yang pergi dari rumah!! Kamu tahukan bagaimana watak Kaisar?! Dia mirip dengan Papa kalian." Alfendy mencomot apel dari tangan Hera.

"Tapi dia pewaris perusahaan Samudera, Kek!! Dia satu-satunya cucu lelaki di keluarga ini! Pewaris tunggal semua perusahaan Samudera. Well … Kecuali kalau Kakek ingin membawa Papa kami pulang dan menyuruhnya membuat anak laki-laki lain." Sindir Hera.

"Ck! Berhentilah mengoceh. Aku tak bisa beristirahat. Mending kamu pergi pacaran saja sana." Alfendy mengusir Hera.

"Dasar, tiga generasi sama semua! Sama-sama keras kepala!" Hera bangkit dan meninggalkan ruang VVIP. Sebelum keluar ia mengatakan, "Dasar kelapa, makin tua makin keras."

Alfendy merenung sejenak, ia menatap ke arah langit-langit ruangan.

"Bambang!" Alfendy memanggil pengawalnya.

"Ya, Tuan Al."

"Antarkan aku berjalan-jalan di rumah sakit. Aku ingin mencari tahu sesuatu." Pinta Alfendy juga ingin tahu siapa Felicia. Kenapa bisa cucunya mengatar gadis itu pergi bekerja?

.

.

.

Jadi begitulah, tanpa sengaja Alfendy justru bertemu sendiri dengan Felicia di taman rumah sakit. Mengobrol dan menilai gadisnya. Kedatangan Bambang membuyarkan lamunananya. Pria tua itu terlihat puas karena Felicia sepertinya gadis yang baik.

"Sudah hampir magrib, Tuan Al. Ayo kita kembali ke kamar." Bambang mendorong kursi roda. Alfendy mengangguk setuju.

*******

Chương tiếp theo