Pagi yang cerah setelah semalaman hujan mengguyur kota. Beberapa manusia masih terlihat malas-malasan berangkat bekerja. Bahkan ada yang tak jarang menguap. Tangan mereka bergelantung di pegangan bus sementara kepala mereka menunduk karena kantuk.
Bus pagi yang ditumpangi oleh Kaisar penuh dengan para pekerja kantoran yang berangkat pagi supaya tidak terlambat karena macet.
Beberapa gadis SMA yang juga berangkat sekolah —mengenakan bus yang sama— saling senggol. Mereka membicarakan Kaisar yang begitu tampan. Tipe badboy yang digandrungi oleh seantero wanita. Seorang gadis SMA memberanikan diri untuk duduk di samping Kaisar begitu penumpang di sebelahnya pergi. Ia mengira Kaisar sudah lelap sehingga mencuri selfie bersama dengan pemuda itu.
Kaisar —yang kesal— menutup wajah tampannya dengan topi, dengan acuh ia mengabaikan tingkah gadis tadi. Kaisar memilih untuk mengisi waktu perjalanan dengan tidur. Semalam ia baru bisa tidur jam tiga pagi karena bertanding. Dan pukul 8 pagi dia sudah harus datang ke proyek pembangunan untuk bekerja. Yah, lumayan, perjalanan tiga puluh menit bisa ia gunakan untuk menghimpun energi sebelum berkutat dengan adukan semen dan juga cat.
.
.
.
Kaisar tiba di proyek pembangunan.
"Ngopi-ngopi dulu, sini!" Seorang pekerja bangunan lain langsung menyodorkan secangkir kopi tubruk hitam pekat pada Kaisar begitu pemuda itu datang.
"Makasih, Bang. Tahu aja saya lagi butuh asupan kafein." Kaisar menerima cangkir enamel berisikan cairan hitam. Ia menghirup aroma kopi yang elegan sebelum mencecapnya penuh kenikmatan.
"Habis tanding semalam?" tanya Budi, pekerja bangunan yang sudah lumayan lama menggeluti profesi sebagai kuli bangunan. Dia juga pemilik rumah tempat Kaisar tinggal saat ini. Kaisar mengontrak rumah subsidi itu dari Budi.
"Iya, Bang."
"Menang nggak?"
"Menanglah, Bang. Sayakan belum pernah kalah," ucap Kaisar, [dan aku nggak boleh kalah], imbuhnya di dalam batin.
"Baguslah kalau menang, jangan sampai kalah. Sayang banget sudah luka masih nggak dapet duit. Lihat saja wajahmu bonyok-bonyok kayak gitu." Budi menunjuk luka lebam di pipi Kaisar.
Kaisar menyentuhnya sekilas dan tersenyum. Dengan segera ia menyelesaikan ritualnya meminum kopi karena mandor sudah datang. Pak Usman langsung mengumpulkan para kuli bangunan dan membagi tugas.
"Kamu itu aneh, Kai. Sudah punya wajah setampan ini. Ngapain masih jadi kuli bangunan atau petinju ilegal? Cari aja wanita kaya raya yang mau menikahimu. Hidup enak, foya-foya, toh asetmu ini nggak akan hilang kalau cuma dua puluh tahun ke depan." Budi menepuk pelan pipi Kaisar sampai pria itu meringis nyeri. Pas banget di lukanya yang lebam. Nyeri-nyeri sedap jadinya.
Well ... memang wajah setampan ini sangatlah sayang bila harus terluka. Apa lagi kepanasan saat bekerja di lapangan. Tapi entah kenapa Kisar enggan menjalankan ide Budi, ia lebih memilih bekerja keras dan menikmati uang jerih payahnya sendiri.
[ Sepertinya obat yang aku pakai kurang manjur, masih sakit.] batin Kaisar saat menyentuh wajahnya yang lebam.
Panas matahari pagi mulai terik, terasa membakar kulit. Kulit Kaisar yang coklat terlihat berkilat karena keringat. Sangking panasnya Kaisar ingin cepat turun begitu ia selesai mengecat sisi facade rumah. Pemuda itu tak menyadari bahwa Felicia kebetulan datang ke rumah.
Bump!
Kaisar meloncat dan berdiri tepat di samping Felicia. Membut gadis itu berjengit kaget, ia bahkan sampai ikutan melompat sangking syoknya dengan tingkah Kaisar.
"Eh ... ayam ... ayam ... bebek ... wa ... monyet!!" Felicia berseru-seru latah dan menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan agar tidak melantur ke mana-mana.
"Wkwkwk!!" Semua pekerja di sana tertawa saat mendengar Felicia memanggil Kaisar dengan sebutan monyet. Memang mirip monyet sih, gelantungan terus loncat sembarangan dan bikin jantung mau copot.
"Sory, Mbak! Sory. Kebiasaan, biar cepet." Kaisar panik saat ternyata ia tanpa sadar mengusik sang pemilik rumah.
"Nggak apa! Lain kali hati-hati! Lihat-lihat ke bawah dulu, kek. Biar nggak ada korban lagi," kata Felicia, mau marah namun juga nggak ada gunanya. Jadi ia mending jaga kondisi hati dari pada kena darah tinggi.
"Maaf, ya, Mbak."
Suara bunyi ponsel Felicia membuat gadis itu memilih pergi meninggalkan Kaisar. Felicia mengangkat ponselnya, telepon dari sang ayah. Mereka bercakap singkat tentang pekerjaan sebelum akhirnya mengusik hubungan anatara Reyhan dan Felicia yang belakangan ini terlihat jarang bersama.
"Ya kan Reyhan punya kesibukannya sendiri, Pa." Felicia masuk ke dalam rumah, melihat-lihat sekeliling dengan ponsel masih tertempel di telinganya.
"Reyhan yang sibuk atau kamu, Cia?" Rangga menegur putrinya, Reyhan adalah pemilik perusahaan, sesibuk apa pun dia, waktu sepenuhnya adalah milik Reyhan, bahkan tak akan ada yang marah bila Reyhan membawa Felicia ikut bekerja.
"Well, Papa benar. Aku yang terlalu sibuk belakangan ini. Papa kan tahu sendiri seperti apa sibuknya UGD." Felicia duduk di sofa, ia heran kenapa gordennya berubah menjadi warna lilac. Tapi Felicia belum bisa bertanya karena Papanya masih berbicara di ujung telepon.
"Pokoknya kamu harus meluangkan waktu untuk Reyhan, Cia! Ingat, kami para pria suka mendapatkan perhatian. Temani dan layani dia makan malam saja itu sudah cukup, Cia. Jangan sampai kamu menyesal bila ada wanita lain yang memberinya perhatian!" Nasehat sang Ayah mengalir deras bak air bah memenuhi telinga Felicia.
"Iya, iya, Pa. Cia tahu."
"Cepat ajak dia keluar makan malam hari ini!" Rangga mengutus putrinya.
"Hari ini Cia ada jadwal operasi, dokter Lui meminta Cia membantunya." Felicia mengingat jadwal pekerjaannya. Felicia yang gila kerja dan belajar tak pernah mau berhenti menimba ilmu, apa lagi cita-citanya menjadi dokter bedah, ia tak mungkin menyia-yiakan kesempatan untuk belajar dengan para seniornya di Rumah Sakit.
"Kalau begitu BESOK!!" Rangga menekankan nada suaranya sampai Felicia terpaksa menjauhkan telinganya dari speaker ponsel.
"Kamu ngertikan, Cia??"
"Iya, Pa! Cia tahu! Felicia akan mengajak Reyhan makan malam besok." Felicia menghela napas panjang menurut agar ayahnya tak lagi mengomel.
"Good, Papa bangga sama kamu."
"Ok. Bye, Pa. Muach!"
Rangga menutup panggilannya begitu Felicia memberikan ciuman jauh. Caranya berpamitan tak pernah berubah bahkan sejak kecil.
Felicia mengetik pesan untuk Reyhan, mengajaknya makan malam di weekend ini. Besok adalah malam minggu dan keduanya memang sudah lama tidak berkencan, jujur saja, Felicia merindukan aroma tubuh Reyhan dan juga ciuman manis nan hangat dari bibir pria itu.
[REYHAN: OK, Jm 7 malam di hotel.]
"Ih … mikiran apa sih aku?!" Felicia berjingkrak, wajahnya bersemu semerah delima hanya karena Reyhan membalas pesannya dengan cepat. Sepertinya sang Papa tidak salah, Felicia memang sudah lama tak bertemu dan rasa kangen membuncah dari dalm hatinya.
Kaisar yang melihat dan tak sengaja mendengar pembicaraan Felicia di telepon hanya bisa diam. Sebagai orang yang tahu kebusukan Reyhan dan juga Fiona, tingkah kasmaran Felicia membuat pemuda ini tidak enak hati.
Felicia menoleh ke arah Kaisar sebelum ia pergi. Mengamati wajah tampan pemuda itu beberapa saat.
"Hei, Mas!" Felicia memanggil Kaisar.
"Eh, saya, Mbak?"
"Iya, kamu, Mas." Felicia memanggil Kaisar.
"Ada apa, ya?" Kaisar mendekati Felicia.
"Ini, obati lukanya pakai ini, kebetulan aku punya karena kemarin sempat jatuh dari sepeda." Felicia mengeluarkan salep anti lebam dan memberikannya pada Kaisar. Kaisar melongo saat menerima obat itu dari tangan Felicia.
"Kok diem aja?? Sini aku pakaiin." Felicia memencet sedikit isi salep dan mengoleskannya dengan lembut pada permukaan wajah Kisar yang lebam.
Kaisar berjengit, rasanya memang nyeri, namun jengitannya lebih karena kaget. Kenapa gadis ini mau mengoleskan salep dengan telaten pada seorang kuli bangunan sepertinya?
"Sorry, sakit ya? Kenapa bisa luka sih?? Sayang banget wajahnya. Kamu kejedot apa? Atau jatuh pas kerja?" Felicia masih tidak tahu kalau Kaisar adalah seorang petinju.
"Sudah, beres. Kamu simpan sisanya. Pakai tiap kali habis mandi."
"Ba … baik, Mbak." Hati Kaisar langsung berdesir karena semakin merasa bersalah. Kebohongan Reyhan yang ia tutupi suatu saat pasti akan menyakiti gadis sebaik ini, tapi, sebagai kuli bangunan apa haknya untuk berbicara?
"Cepet sembuh, ya. Dan hati-hati kalau bekerja, jangan sampai kejedot atau jatuh lagi." Felicia menasehati Kaisar sebelum berlalu pergi.
"Mbak …." Kaisar ingin bicara.
"Ya?"
******