webnovel

WANITA-WANITA VENESIA

Jika Tuhan ingin menjelaskan bagaimana keindahan Surga kepada manusia, maka lihatlah Kota Venesia.

Tak hanya panorama alam yang cantik luar biasa. Namun Kota Air ini juga menyimpan segudang wanita berparas jelita.

Bella! Bella! Begitulah para pria memanggili gadis-gadis Venesia berwajah cantik jelita.

'Bella' mempunyai arti cantik, dan sangat maklum digunakan para pria untuk menyapa wanita-wanita di sana.

Pagi yang cerah.

Casanova terbangun dari tidurnya, dan segera bangkit untuk membuka jendela kamar.

"Woah... selamat pagi, Kota Venesia. Dan selamat pagi juga untukmu, Casanova!" Ia menyapa dirinya sendiri dengan mulut yang menganga.

Menatapi rerumputan hijau di luar jendela, dan ah... rasanya belum pernah ia mendapati pagi yang secerah ini. Seluruh tubuh terasa ringan, pun hati terasa senang.

Ia melihat ke jari kelingkingnya, memastikan cincin itu masih berada di tempatnya.

"Haha, kini aku sudah tidak berminat lagi menjualmu. Kau sungguh menawan, seindah Tuhan yang memahat lekuk tubuh perempuan. Wala, aku jadi tidak sabar ingin memulai aktivitas hari ini bersamamu." Ia tersenyum.

Namun, sebelum memulai aktivitas hari ini, yang pertama harus dilakukan Casanova adalah mengisi perutnya terlebih dulu. Baru ingat ternyata, sejak malam ia belum makan apa-apa, menyebabkan rasa lapar yang mulai menjalar dan membuat perutnya perih.

Casanova merogoh sakunya. Hanya 2 keping uang receh yang tersisa di sana. Pastinya, itu tidak cukup untuk membeli makanan apa pun.

Lalu tiba-tiba...

"Casanova! Hei, Casanova, coba kemarilah sebentar!" Tiba-tiba Ibu Merry muncul dari balik pintu bangunan rumah utama. Wanita tua itu melambaikan tangan memanggil Casanova.

"Ya, Ibu Merry, baik. Aku akan segera ke sana!"

Segera Casanova menyambar baju yang tergantung di balik pintu, menyisir rambut menggunakan telapak tangan, kemudian bergegas menuju rumah Ibu Merry.

Rumah Ibu Merry boleh dibilang cukup mewah.

Bangunan besar itu bergaya arsitektur eropa tua, dengan tiang-tiang sebesar sepelukan orang dewasa, mirip sekali dengan rumah-rumah orang kaya di era '70-an.

Lantainya hangat, dilapisi kayu jati berkualitas tinggi, serta banyak jendela di hampir tiap sudut dindingnya, yang membuat rumah besar itu cukup terang akibat sinar matahari menerobos masuk hingga ke dalam ruang-ruang.

Dulu, suami Ibu Merry adalah seorang prajurit dengan pangkat perwira menengah. Sehingga tidak heran keluarga ini cukup disegani. Namun, setelah suaminya meninggal dunia, Ibu Merry berubah menjadi sosok wanita yang sangat depresi. Ia lebih suka mengurung diri di dalam kamar, dan mencoba mencari pelarian untuk melupakan suaminya dengan cara makan, makan dan makan.

Begitulah singkatnya, sehingga tidak heran jika Ibu Merry yang padahal dulu berbadan langsing dan seksi itu, kini berubah total menjadi wanita berbadan besar. Namun, tidak bisa dipungkiri juga, jika di wajahnya itu masih tersisa bekas-bekas kecantikan di masa mudanya.

Casanova kini telah sampai di dalam rumah Ibu Merry, dan ia segera menghentikan langkah sebab indra penciuman digelitik oleh harum aroma pasta.

"Wala, aroma pasta ini, hmmm... perfecto!"

Perutnya makin meraung-raung.

Casanova berjalan lurus melewati ruang tamu, ruang keluarga, lalu juga ruang makan, hingga sampai di depan pintu dapur ia mendapati suara aktivitas seseorang di sana.

"Selamat pagi, Ibu Merry, apa ada yang perlu kubantu?" ucap Casanova mendapati wanita itu yang tengah sibuk di depan kompornya.

"Ya, tolong ambilkan piring di ruang makan sana, Casanova. Pagi ini aku masak cukup banyak. Jadi, mari kita sarapan sama-sama," Ibu Merry berkata tanpa menoleh sedikitpun.

"Baik, Ibu Merry," jawab pendek pemuda itu.

Casanova lalu kembali ke ruang makan, mendekati rak piring yang cukup besar di pojokkan.

Ia lekas mengambil beberapa piring dan sendok-garpu yang dibutuhkan, mendekapnya di depan dada. Namun saat membalikkan badan tiba-tiba ia menabrak sesuatu!

"Aw!"

Prangg!!

Piring terlepas dari dekapannya, membuatnya pecah berantakan di lantai putih itu.

"Astaga, Mora, apa kau baik-baik saja? Tidak terkena pecahan kaca, kan?" Casanova khawatir.

Mora Valenci, gadis cantik 19 tahun, anak semata wayang Ibu Merry. Ia kini terjatuh di lantai sebab baru saja tak sengaja tertabrak Casanova.

"Hati-hati, Casanova! Dimana matamu sampai bisa menabrakku?" Mora kesal, memegangi sikutnya yang membesat merah.

Cup!

"Euh?"

Tapi siapa sangka, Casanova dengan percaya diri mencium sikut Mora yang terluka. Membuat mulut gadis itu menganga.

"Casanova! Apa yang k-kau..."

"Tenanglah. Ini adalah cara pertolongan pertama untuk mengobati luka. Aku pernah diajari oleh orang-orang tua zaman dahulu. Nah, bagaimana rasanya sekarang, Mora? Apakah ini membuat lukamu sedikit baikan?" Casanova mengusap luka itu menggunakan jari kelingkingnya, hingga Mora dapat melihat cincin pemikat tersebut.

Seketika mora terdiam tak berdaya. Terpaku. Menatap Casanova yang ah, entahlah...

Mengapa ia begitu berkarisma? Padahal sebelumnya ia biasa-biasa saja, seorang pemuda miskin yang tinggal mengontrak di belakang rumah, bahkan Mora cenderung tidak acuh dan bersikap galak kepadanya! Namun sekarang kenapa berbeda? Apa yang salah? Kenapa sikapnya begitu lembut dan santun dalam memperlakukan wanita? Apa yang salah sebenarnya dengan diri Casanova?

"Mora?"

"Euh?"

"Apa sekarang sudah baikan?" Casanova menatap dalam, lalu melirik sikutnya.

"Y-ya, ya! Sudah cukup baik. Sudah tidak terasa perih," ucap si gadis dengan gugup.

"Wala, syukurlah kalau begitu. Sebaiknya kau ambilkan piring untuk ibumu, sedang aku akan membersihkan pecahan kaca ini." Casanova membantu si gadis berdiri.

"Oh, y-ya! Ya! Ide yang bagus!"

Mora lalu pergi ke dapur dengan langkah-langkah cepat. Sementara Casanova, tersenyum mendapati tengkuk leher yang putih dan berbulu-bulu tipis, berjalan menjauhi dirinya.

Beberapa saat kemudian sarapan pagi telah siap! Di atas meja makan sudah tersaji 3 piring pasta yang masih mengepul panas. Ibu Merry menyodorkan secangkir capucino kepada Casanova.

"Minumlah selagi panas. Aku meraciknya sendiri. Dulu, aku rutin membuatnya saban pagi untuk suamiku. Tapi sejak kepergiannya, aku tak pernah menyentuh lagi. Ah, bagaimana Casanova, apa rasanya sudah pas?"

Casanova segera menyeruput cangkir itu.

Slruupp... ahh!!

"Wala-wala, perfect-perfecto! Aku memang pernah bekerja di restoran bintang lima dan mencoba capucino-nya. Tapi jujur, Ibu Merry, rasa capucino racikan Anda benar-benar..." Casanova mengacungkan jempolnya. "Numero uno!"

"Hahahaa, baiklah jika begitu, Anak Muda. Jadi mulai hari ini aku akan rutin meracikkan capucino untukmu saban pagi," ujarnya senang, mengedipkan satu mata.

Casanova menyeruput cangkirnya lagi, hingga membuat busa kopi menempel di atas bibir. Ibu Merry yang melihat itu segera beranjak dari kursinya. "O, sebentar, akan kuambilkan tisu untukmu."

"Terima kasih, Ibu Merry."

Lalu wanita tua itu melangkah ke dapur, meninggalkan Casanova dan Mora yang kini duduk berduaan saja di meja makan.

"Seharusnya kau bisa mengelapnya sendiri menggunakan tanganmu, kan?" ketus Mora tiba-tiba.

"Ya, Mora. Tapi aku tidak bisa menolak kebaikan ibumu yang ingin mengambilkan tisu."

"Huh!"

Entah mengapa, gadis itu merasa tidak suka jika ibunya terlalu perhatian kepada Casanova. Bukankah dia hanya seorang pemuda miskin yang mengontrak di belakang rumah? Seharusnya tidak perlu ada perlakuan spesial untuknya.

Maka dari itu tiba-tiba tangan Mora maju, secepat kemudian mengelap bekas kopi yang tertinggal di bibir Casanova.

"Eh? Mora, kau..."

"Ya! Dan ingat, mulai sekarang jangan pernah merepotkan ibuku lagi! Dia sudah tua dan tidak seharusnya kau mendapat perlakuan spesial seperti ini. Jika butuh apa-apa lebih baik kau panggil aku saja. Aku bisa menyiapkan sarapan untukmu, membuatkan pasta, meracikkan capucino, atau bahkan membersihkan kamarmu sekalipun! Jangan pernah repotkan ibuku lagi, Casanova. Camkan itu!"

Gadis itu mendengus kesal, lalu pergi meninggalkan Casanova dan meja makan.

Ia langsung pergi ke kamarnya yang berada di lantai 2, menaiki anak tangga yang berada di sudut ruang makan.

Casanova masih terheran. Matanya mengekori langkah kaki si gadis yang mulus seperti daging tebu, seraya bibirnya yang tipis menyeringai penuh arti.

"Wala! Mora Valenci..."

Casanova membayangkan tubuh si gadis 19 tahun yang masih sangat ranum itu. Seperti kelopak melati yang baru mekar di pagi hari. Putih dan suci.

Kelopak bunga milik si gadis tentulah belum terjamah oleh lebah manapun. Sehingga Casanova ingin segera menjamahnya, menikmati kelopak yang masih ranum itu, menjadi lebah pertama yang mengisap pucuk sarinya.

Mata Casanova masih menatap anak tangga yang barusan dilewati Mora, meski gadis itu sudah menghilang dari sana. Lalu perlahan, Casanova berdiri dari duduknya, dan mulai mendekati anak tangga serta mata melihat ke arah atas.

Chương tiếp theo