webnovel

15. Pertama kalinya

Michael menambah kecepatan motornya, membuatku makin erat memeluknya. Rasanya takut, sangat takut!

Aaah mau kemana kita?!

***

"Kau serius?!" aku memekik begitu kuat, Michael hanya tertawa melihatku.

"Aku kan sudah bilang jangan menyesal." Dia berjongkok di hadapanku, "lepas sepatunya. Kau tak mau sepatumu kotor kan?"

Aku melotot padanya dan tak ingin mengikuti apa yang ia inginkan. Tapi Michael tak memperdulikan aku yang sudah merengut dan hampir meledak. Ia melepaskan sepatuku beserta dengan kaos kakinya. Membuatku berjingkrak-jingkrak hampir terjatuh, meraih kepalanya. Tanpa aku duga ia menggendongku dan berlarian diatas area berpasir putih yang lembut menuju tempat dimana ombak bergulung-gulung bergantian membasahi pasir.

Ya, kami di pantai. Di sore hari hampir malam.

"Kau harus lebih menikmati masa mudamu kan? apa kau pernah melihat senja seindah ini?" ia masih menggendongku dan berlari menghindari air laut yang datang dengan buih-buih putihnya.

Gemuruh ombak yang datang membuatku bergidik.

Ini pertama kalinya aku ke pantai. Orangtuaku tak suka pantai, taman pemandian umum, kebun binatang, atau tempat wisata yang ramai dengan orang. Mereka berkata, tempat-tempat itu tidak bersih dan akan membuatku mudah sakit.

Tapi hari ini, Michael tanpa mengatakan apa pun melajukan motor capungnya dengan kecepatan mengerikan menuju pantai! aku sudah berkali-kali menepuk punggungnya agar ia kembali. Tapi ia justru tertawa-tawa dengan puasnya.

Apa ini sebuah hukuman untukku? atas dasar apa? bagaimana jika orangtuaku tahu?

Michael, aku tak mau jadi pembangkang..

"Turunkan aku Michael!!" Aku memukul-mukul punggungnya. Dan tepat dipukulan ke 8 Michael jatuh ke atas pasir. Aku jatuh lebih dulu dan dia berada di atasku, dengan kedua tangannya sebagai tumpuan. Aku bersyukur dia punya refleks yang bagus. Kali ini Michael tak memelukku atau menindih tubuhku yang tentu saja lebih kecil darinya.

Baru saja aku ingin mendorong tubuh Michael menjauh, air laut datang dan menerjang tubuhku. Ah... aku tarik kembali rasa syukurku tadi.

"MICHAEEEEEL!!!!" aku menjeritkan namanya begitu kencang, ia mundur dan terkejut melihatku, "Aku benci air laut!! asin dan kotor! aku benci pasir pantai, ia menempel dan sulit dibersihkan! aku benci senja karena aku tak bisa membedakan warna oranye dengan merah! aku benci kimia! aku benci Stefani! aku benci sekali dengan diriku yang tak bisa menolak perintah orang-orang! aku benci dengan orang-orang yang terlalu berekspektasi tinggi padaku! aku benci sekali... BENCI SEKALI MICHAEEL!!"

Perasaanku seperti sekeranjang buah-buahan yang sedang dilumatkan.. masam, getir, manis. Semuanya tercampur aduk. Air mataku mengalir sendiri, aku menangis.. aku bahkan lupa terakhir kali aku menangis seperti ini dan karena apa.

Jika aku melihat diriku di dalam cermin saat ini. mungkin aku sedang merengek seperti anak-anak. Tapi aku menyadarinya, saat aku masih jadi anak-anak aku bahkan tak pernah meminta sebuah lollipop pada orangtuaku.

Michael memelukku. Mendekap kepalaku dengan telapak tangannya. Merengkuhku memasuki kehangatan yang tak bisa aku definisikan. Tapi bukannya berhenti, tangis ini justru meledak lebih keras. Michael seakan telah melepas katupnya, membiarkan air mata itu keluar dan membanjir.

"Pasti berat jadi dirimu. kau bahkan tak bisa memahami dirimu sendiri." pelukan Michael melonggar. Aku menarik tubuhnya, memeluknya lebih erat dan membenamkan wajahku pada dadanya yang bidang.

Aku basah kuyup, dia jadi basah kuyup karena aku.

Selalu saat kami basah, kami selalu saling berpelukan. Aku sudah tak peduli dengan arti perasaan ini dan perasaan Michael. Aku membutuhkannya untuk bisa jujur.

Ini pertama kalinya aku mengeluarkan semua yang mengganjal di hatiku. Hanya pada Michael, hanya pada pantai yang berisik dengan gemuruh ombak dan pasirnya, hanya pada senja yang tak bisa aku bedakan warnanya itu.

.

.

.

Perasaanku sudah lebih tenang. Kami berdua duduk memandangi senja yang perlahan tenggelam dalam lautan. Warna langit yang mempesona terbentang begitu megah. Beberapa bintang sudah berkedip meski malam belum membuka tirai ya.

"Aku bersyukur bisa bertemu denganmu, Maria." Michael memulai berbicara setelah sekian lama kami terdiam.

Mendengar kalimatnya barusan membuatku merasa bahagia. Aku memeluk sepasnag lututku di depan dada. Mengusir dingin yang mulai terasa karena hempasan angin laut yang lembab.

Michael memasangkan jaketnya pada punggungku. Aku tak mau menoleh padanya, aku tak berani.

"Hanya kau yang menganggapku layak dan sepadan sebagai manusia." akhirnya aku melirik padanya, pandangan matanya lurus ke depan, hijau matanya beradu dengan semburat kemerahan senja yang semakin menghilang.

Aku bisa melihat pelangi di dalam matanya.

"Apa maksudmu?" suaraku pelan, desau angin membawanya dariku.

"Ya, Kau adalah orang yang pertamakali aku jabat tangannya. Aku awalnya berpikir Bagaimana rasanya? tanganku yang kasar itu? Aku bahkan tak bisa merasakan lembutnya tanganmu. Aku mungkin membuatmu tak nyaman."

"Tidak.. "

"Kau membuatku merasa dihargai, Maria. Orang-orang disekitar ku selama ini hanya menilai dari wajahku. Mereka seenaknya memikirkan apa yang mereka inginkan tentangku. Tapi kau, tatapanmu jujur. Kau membuatku sadar bahwa aku juga manusia."

Tidak.. bagiku dia malaikat. Sebuah lukisan malaikat yang hidup.

"Terimakasih banyak."

"Aku tak tahu apa saja yang sudah menimpamu. Tapi itu pasti sangat tidak menyenangkan."

Hipnotis matanya mulai bekerja, aku tak bisa berpaling darinya, tanganku bergerak pelan meraih pipi Michael. Mengusapnya. Michael mendekap tanganku dan membiarkannya tetap berada di pipinya.

"Ah.. tanganmu halus dan lembut sekali." bisiknya. Ia mendekat dan semakin dekat, mata kami masih saling beradu. ketika aku menyadari bahwa bibir Michael yang basah telah menyentuh milikku, aku terpejam. Kecupan itu baru pertama kalinya aku merasakannya.

Ini adalah ciuman pertamaku. Degup jantungku berpacu kuat sekali, bulu kudukku meremang dan aku bahkan membatu, tak kuasa menggerakkan tanganku

Kecupan Michael yang lembut akhirnya berhenti, ia menjauh dari wajahku dan aku membuka mata perlahan.. Micahel sedang tersenyum manis saat ini. Rona merah pada pipi hingga telinganya sangat jelas terlihat. Mungkin wajahku juga sudah Semerah tomat.

Segera aku memalingkan wajah. Yang barusan itu.. aku seakan sedang tersedot dalam lubang cacing dan melayang-layang di angkasa. Masih berusaha menenangkan degup jantungku yang sudah seperti genderang perang.

Kami baru saja berciuman?! Ini pertama kalinya bagiku. Tapi bagaimana dengan pria pirang di sisiku ini?!

"Aku mau pulang!" Jantungku tak kunjung mereda. aku bangkit dengan tiba-tiba, membuat Michael terkejut dan menatap bingung padaku.

"Tapi kenapa?" alisnya mengkerut

"Aku harus pulang, sudah hampir malam."

"Begitu ya.. baiklah kalau begitu." Ekspresi bingungnya menghilang, berganti dengan kekecewaan. "Sejujurnya ada yang ingin aku tunjukan di pantai ini jika sudah malam. Tapi kurasa kau memang harus pulang. Pasti dingin ya, bajumu basah." Michael kembali memakaikan jaket yang terjatuh tadi padaku. "Ayo pulang." Ia meraih tanganku dan berjalan menuju motornya yang jauh berada di pinggir jalan.

Sepanjang jalan pulang, kami hanya saling diam. Tak ada kalimat apa pun yang Michael lontarkan. Pelukanku pun tak seerat biasanya. Ia tak protes. Hanya mengurangi kecepatan motornya.

Kami jadi begitu canggung.

***

Chương tiếp theo