webnovel

Perbedaan Dulu dan Sekarang

Kejadian kemarin, yang tidak akan pernah di lupakan oleh Riski. Riski tidak akan memikirkannya lagi, ia sangat muak ketika mengingatnya.

Pagi ini, Riski tidak jualan lagi karena moodnya kemarin yang berantakan.

"Riskiiiii." teriak Joko dari kamar mandi.

"Tolong ambilin shampoo, gue lupa belum ambil." lanjutnya.

Riski yang sedang mengenakan seragam olahraga terpaksa harus pergi ke kamar Sastro untuk mengambil shampo yang di minta Joko. Semua kebutuhan mandi, ada di kamar Sastro. Shampo, sabun, pasta gigi, dan lain-lain.

Riski mengambil 1 sachet shampo, dan berjalan ke kamar mandi, "Gue taruh depan pintu."

Joko membuka pintu kamar mandi dengan perlahan, lalu mengambil shampo itu.

Seperti inilah keseharian Riski sekarang, di pagi hari ia sangat sibuk dengan sekolahnya. Riski berencana mengambil sayurannya malam hari, agar di pagi hari ia tinggal mengantarkan dengan berangkat ke sekolah. Yang jadi masalah adalah, apakah Arul sudah menyediakan sayurnya di malam hari.

Mungkin, Riski akan menanyakan hal ini ke Budi yang sudah menjadi langganan di sana.

Jam masih menunjukkan pukul 5.30, masih ada waktu sekitar 30 menit lagi untuk berangkat. Riski sudah bersiap rapi dengan baju olahraganya.

"Apa gue ke bang Budi aja kali, ya? Misalkan besok ada stok sayurnya, gue bisa ambil sayur itu malam harinya." batin Riski dengan tangan yang memegang dagunya.

Tanpa pikir panjang, Riski akan langsung menemui Budi sekarang.

"Buu, berangkat duluu." teriak Riski pamit berangkat, karena ada urusan lebih dulu.

"Yaa, hati-hati." jawab Sastro. Sastro tidak bisa keluar melihat anaknya berangkat, ia sedang sibuk memasak.

Riski langsung menancapkan gasnya, Riski sudah mahir mengendarai motornya ini jadi ia berani ngebut kali ini.

Tak lama, ia sampai di tempat Budi jualan. Jaraknya memang tak jauh dari rumahnya. Riski segera menemui Budi yang tengah sibuk dengan pelanggannya.

"Bang." tukas Riski melambaikan tangannya.

"Oii, yoo." jawab Budi santai.

"Ada apaa kemari? Beli sayur?" tanya Budi yang melihat Riski sudah berada di sebelahnya.

"Sayuran kalo malam hari itu ready gak, bang?"

Budi mengkerutkan keningnya, "Si Arul?"

Riski mengangguk pelan.

"Ada sih, tapi nggak sebanyak pagi hari. Biasanya malam hari itu kayak sisa dari pagi. Sayurnya juga ada yang nggak bagus, emangnya kenapa?"

"Ahh, gini bang. Gue kan udah mulai masuk sekolah, jadi gue punya ide kalo ambil sayurnya itu malam hari. Soalnya gue sibuk sekolah paginya, apalagi jam 6 udah berangkat sekolah." jelas Riski dengan masalahnya kali ini.

"Ahh, gue paham tujuan lo kemari. Bentar, gue punya solusi." jawab Budi, dengan membawa kantong kresek untuk membungkus sayur pelanggannya.

Budi menyelesaikan pesanan pelanggan terlebih dahulu, agar ketika ngobrol dengan Riski jadi bisa nyantai dan paham.

"Lo titip sama gue aja, biasanya kan gue diantar tuh sayurnya. Nah, ntar gue tinggal minta lebih aja. Daripada lo malam hari kesana, cuman dapat sisa. Pelanggan lo bisa kabur kalo kualitas sayurnya nggak bagus, iya kan?" kata Budi yang kini sudah ikut duduk di sebelah Riski.

Riski manggut-manggut tanda ia setuju.

"Ntar lo ambil sayurnya di sini, biasanya sih diantar jam 4.30 pagi. Itu masih cukup waktunya, lo berangkat jam 6 kan? Masih ada sejam lebih, gimana? Gue juga bakalan kasih harga yang sama." tawar Budi, sebenarnya ini memang sangat memudahkan Riski.

"Emang boleh, bang?" tanya Riski memastikan, ia tidak enak jika terus meminta bantuan Budi.

"Santai aja itu mahh. Emang lo sekolah dimana? Kok jam 6 udah berangkat? Mau bantuin bersih-bersih sekolah, ya?" ledek Budi dengan cengiran khasnya.

"Di SMK Kimia, bang. Disana 6.30 udah masuk, jadi mau nggak mau berangkat jam 6 dari sini. Jaraknya kan lumayan jauh."

Budi menggelengkan kepalanya heran, "Perasaan waktu gue sekolah dulu, itu masuk jam 8. Kenapa sekarang bisa se-pagi ini ya?"

Riski mengangkat kedua tangannya setengah, tanda ia tidak mengetahui, "Gue juga nggak tau, bang."

"Kalo pulangnya?"

"Jam 4 sore, itu bisa lebih kalo ada praktek."

Budi semakin heran dengan anak sekolah jaman sekarang, sudah berbeda 180 derajat dengannya dulu. Guru di jaman sekarang juga tidak se-jahat dulu.

"Tapi guru lo baik?" tanya Budi.

Riski mengangguk.

"Beruntung lo, sekarang emang ada pasal nggak boleh jahat ke siswa. Gue dulu kalo nggak ngerjain pr, bisa habis sama guru. Makanya anak jaman dulu rajin-rajin. Dipukul pakai penggaris kayu itu, di hukum lari keliling lapangan, di suruh bersihin toilet. Bayangin, itu masih banyak lagi hukuman kalo nggak ngerjain pr. Tapi, sisi positifnya sekarang bisa rajin, dan pandai jadi kayak ada paksaan harus mengerjakan pr." Budi menceritakan pengalamannya dulu sewaktu sekolah.

Riski membayangkan itu jadi takut jika dirinya lahir di jaman itu.

"Kalo sekarang nggak ngerjain pr biasanya cuman di suruh keluar kelas, bang. Disuruh ngerjain di luar, tapi ada juga yang nggak ngecek kalo ada pr apa enggak." Riski juga menceritakan sewaktu dia SMP.

"Enak itu mah udahan. Perbedaannya nyata banget, tapi apa dampak positif dari itu semua? Nggak ada, kan? Karena itu siswa jadi malas mengerjakan pr, mereka beranggapan 'tidak mengerjakan toh nanti bisa dikerjakan di kelas sana teman' jadi malas akhirnya." Budi menyalakan rokoknya, "Oh iya, di jaman sekarang gue melihat banyak anak sekolah yang sudah merokok. Miris, kan? Sewaktu gue dulu, kalo ketahuan merokok sama orang tua, gue bakalan di usir dari rumah. Tapi kalo udah bisa cari uang sendiri, nggak papa." lanjut Budi.

Riski membayangkan itu semua membuatnya merinding. Se-mengerikan itukah?

Tiba-tiba ada seseorang yang ingin membeli sayuran, "Sayur sawinya berapa?" tanya pelanggan itu.

"9ribu aja, ambil semua aja nggak papa." jawab Budi santai.

"Kalo kubisnya?"

Melihat Budi juga sedang sibuk, dan jam sudah hampir menunjukan pukul 6. Riski berpamitan ke Budi untuk berangkat ke sekolah, "Yasudah, bang. Besok gue ambil kesini yaa. Gue mau berangkat dulu, takut telat."

"Yoo, hati-hatii."

Budi sudah sangat membantu Riski dalam mencari uang. Ia dengan baik menuntun Riski ke arah yang baik, dan menguatkan mental Riski. Karena Budi tak tega melihat anak seusia Riski sudah akrab dengan dunia kerja, seharusnya anak seusia itu fokus untuk belajar, belajar, dan belajar.

Namun, fokus Riski di bagi menjadi belajar dan juga bekerja. Kalo bukan karena kondisi ekonomi, Riski tak akan senekat ini dalam membangun usahanya/mencari uang untuk sekolah.

Untung saja, di perjalanannya mencari uang selalu bertemu dengan orang yang baik, orang yang memberikan segalanya hanya untuk Riski seorang. Padahal mereka semua adalah orang lain. Riski sangat bersyukur kali ini, ia berjanji akan terus berusaha demi membahagiakan Sastro, ibunya.

Chương tiếp theo