webnovel

Bab 3. KEN (I)

Aku Jatuh cinta entah sejak kapan.

Namun hari ini aku tahu harus menelan racun pahit dari perasaanku sendiri. Mungkin karma. Atau nasib yang seharusnya dulu aku sudah menebaknya. Namun semakin mencari jawabannya, aku merasa semakin menjadi gila, sinting, kenthir dan segala hal yang tak mampu dipikirkan.

"aku seorang penulis yang cukup banyak memiliki pembaca dan pengagum. Tulisan-tulisanku berisi segala hal tentang kebijakan kebajikan. Semua itu benar-benar lahir dari apa yang aku pikir, dari penglihatanku atas hidup orang-orang yang aku temui. Kemudian kutelaah, kucari analogi-analogi dari teori-teori pikiran orang-orang terkenal atau kisah dongeng-dongen dunia yang sering diceritakan nenek, kakek, ibu, bapak kepada keturunannya. Tersusunlah kata-kata bijak dan terbacalah oleh para pengagumku."

Lebih dari itu, banyak pula perempuan yang tidak sekedar mengagumiku, tapi benar-benar jatuh cinta. Ken, begitu aku sering dipanggil. Aku telah memiliki seorang kekasih, waktu itu sekitar 8 tahun yang lalu. Meski begitu, bukan aku tidak senang ketika banyak perempuan-perempuan yang jatuh cinta padaku. Apalagi banyak diantaranya adalah sesama penulis dan cantik pula. Mungkin perempuan-perempuan itu jatuh cinta berawal dari tulisan-tulisanku kemudian melihat bahwa sang penulis adalah seorang pemuda tampan dan romantis. Begitu seringkali aku meyakini diriku sendiri.

Aku sendiri berusaha setia, namun juga memelihara perasaan para perempuan yang telah terpikat padaku. Itu satu kenikmatan sendiri dalam hidup dan sebuah upaya untuk memelihara ide-ide romantis dalam tulisan. Memang terdengar sedikit tirani. Tapi begitulah seringkali cinta harus dimainkan untuk tetap hidup. Hingga satu ketika, aku mengenal seorang gadis salah satu pengagum. Pengagum baru sebenarnya. Rengganis nama gadis itu. Aku tidak mengerti, baru saja gadis itu mengenalku, membaca tulisan-tulisanku, mengagumi, namun mengapa begitu cepat pula gadis itu jatuh cinta. Terlalu cepat. Pikirku meski sambil lalu kala itu.

Waktu terus melangkah seiring dengan tulisan-tulisanku yang terus lahir. Tanpa kusadari, hari-hari yang berlalu mulai terbiasa dengan cinta Rengganis yang sering diungkap melalui puisi-puisinya, kemudian cerpen-cerpennya, lalu suatu ketika Rengganis mengirim pesan, hanya pesan pendek memang namun maknanya sangat panjang.

"Ken, maukah kau bersamaku untuk berpetualang menjelajah dunia yang penuh misteri ini?"

Aku tergagap memandang HP, ragu hendak menjawab bagaimana. Lama kupandangi deretan tulisan itu sebelum kemudian kuketik juga beberapa kata membalasnya.

"Maaf, aku sudah punya kekasih."

Aku ingat sekali deretan huruf itu hingga hari ini, 8 tahun setelah hari itu. Ketika dia benar-benar tidak bisa membawa pergi pikiranku dari perempuan itu, yang sekarang telah menjadi seorang istri dan ibu dari satu anak. Setahun setelah aku tidak menyambut cintanya, perempuan itu segera menjalin hubungan dengan seorang pelukis.

Pertama bertemu dengannya malam itu, malam launching bukuku. Aku berharap bertemu dengan perempuan dengan tubuh langsing, tinggi dan tampak lemah serta berwajah lembut sayu. Namun, selalu saja kenyataan tidak pernah sejalan dengan harapan. Perempuan ini, berwajah keras dan dengan tubuh yang agak berisi begitu nampak perkasa. Meski tidak memungkiri wajah manisnya yang sedap dipandang mata, namun bukan perempuan dengan tipe suka menyandar. Begitu mandiri. Apalagi ketika dia mulai angkat bicara, meski hanya mengucap kata salam dan menanyakan kabar, namun suaranya semakin menambah auranya yang keras, cadas dan cerdas. Malam itupun, aku jatuh cinta. Cinta yang nyata, bukan maya.

Jatuh cinta lagi membuatku sadar, aku telah kehilangan kewarasan. Dimabuk kepayang oleh pesona perempuan yang telah menjadi milik orang lain membuatku tidak berdaya. Oh Rengganis. Apa yang harus aku lakukan jika kemudian aku selalu menggumamkan namamu. Malam itu, mendengar suaramu, membaui harum rambutmu, dan terlena pada manja rajukmu telah menjadikanku menggila.

Usai malam itu, setelah puas menghempaskan tubuh pada kasur lusuh di kamar kostku hingga pagi menjelang kembali tanpa sedetikpun mata mampu terpejam meski penat meremuk tulang, aku tidak kuasa untuk tidak mengirimimu pesan. Mencari jawab atas rasa penasaran tentangmu, dan seperti apa perasaanku padamu, kini. Namun, aku hanya menemukan tanya singkat darimu "Menurutmu, aku bagaimana?"

Ah.... Rengganis. Tahukah kamu betapa aku ingin mendengar kau berkata bahwa kau senang bertemu denganku, atau kau katakan bahwa aku jauh lebih menarik dari dugaanmu. Namun, kenyataannya Aku hanya bisa merasakan betapa egoisnya kamu. Tapi, apapun itu malah semakin membuatku terperosok dalam pesonamu. Meski sekeras apapun aku menahan untuk tidak menampakan kekalahan, semakin aku terpenjara pada keinginan untuk menyatakan kepasrahanku pada kegilaan ini. Aku mencintaimu, Rengganis.

"Banyak perempuan cantik malam itu, banyak teman-temanmu yang rupawan. Namun, diantara semua kamulah yang paling menarik." Hanya itu.. yahhh... hanya itu... banyak yang tidak bisa kukatakan, terlalu banyak. Dirimu tidak mampu diungkapkan dengan kata-kata.

Kamu bukan hal yang bisa diwakili bahkan oleh ribuan kata-kata. Semua itu menyebabkan ketidaktahuanku dengan tujuan jalan di depan. Kehilangan arah. Seandainya kau belum dimiliki cinta lain. Seandainya dulu, sedikit saja aku mau memberimu kesempatan untuk saling memahami. Rengganis, apakah aku harus memohon maaf, atau memohon sedikit ruang di hatimu.. ah bukan.. ruang di hidupmu... namun, pada akhirnya aku hanya melarikan diriku darimu, juga dari kekasihku. Hal-hal satu-satunya yang bisa aku lakukan adalah menjauh.

Ranselku telah padat berisi beberapa bekal yang tidak banyak. Bebrapa potong baju, sikat gigi dan sebungkus rokok yang telah berkurang sebatang. Sudah cukup untuk menemaniku berpetualang entah kemana. Belum ada sedikitpun bayangan tempat yang hendak aku tuju. Aku masih termangu duduk di samping tas ranselku yang tergeletak di lantai. Besok aku harus menemui dosenku untuk kosultasi skripsiku yang lama tebengkalai. Sudah 7 tahun kuliah, dan aku masih mandeg di tugas skripsi. Bukan tidak mampu, hanya kesibukan berkumpul dengan beberapa komunitas dan berdikusi tentang banyak hal dari sejarah, politik hingga filsafat selalu jadi bahan yang tidak membosankan untuk kami jadikan bahan diskusi. Ketika sudah larut dan kembali ke kamar kost, otakku hanya akan semakin padat dengan pikiran-pikiran liar yang meminta dituang dalam tulisan. Dan menjelma jadi buku. Walhasil, kuliahku keteteran nyaris tidak tersentuh. Sebenarnya, bagiku tidaklah penting bamgku kuliah jika yang aku dapatkan di luar jauh lebih berbobot dan berguna. Namun semenjak orang tuaku telah menyerah akan diriku, biaya kuliah selama ini banyak dibantu Sevana, gadis yang kupilih untuk kuterima cintanya.

Aku masih gamang antara melanjutkan untuk pergi entah kemana atau tetap tinggal dan segera menyelesaikan kuliah. HP yang masih tergeletak di atas kasur bergetar karena ada telepon. Kuraih dan kuperiksa. Sevana. Ketika hendak memencet tombol terima, entah apa yang kemudian membuat jari tertahan saja di atas tombol tersebut. Lama kupandangi saja HP tersebut, bukan keinginan untuk mengangkatnya, namun ada sebuah kekuatan yang membuatku segera beranjak meraih ransel dan berjalan keluar dari kamar kost menuju tempat parkir motor. Kustarter motor yang membawaku segera menghilang dari tikungan gang menuju jalan raya ke arah Gunung Merbabu. Dan 2 tahun kemudian aku baru muncul kembali di kamar kostku.

00o00

Chương tiếp theo