webnovel

Jawaban Pertama

Kening Xevanus mengerut. Keringat dingin sebesar biji jagung bermunculan pada bagian wajahnya. Di saat itu juga, ukiran teratai yang diusahakan oleh Xevanus muncul di kening Qelia. Akan tetapi, Xevanus sudah mulai terengah-engah seperti orang yang kelelahan. Padahal, simbol yang dia ukir itu belum mencapai seperempat, apalagi setengahnya.

Dia membuka mata sedikit untuk mengintip, lalu melihat ke arah tangannya yang masih mengalirkan tenaga dalam kepada tubuh Qelia. "Ini belum mencapai setengah. Namun, saya sudah terengah-engah seperti ini. Ayo, harus lebih kuat lagi!" gumamnya pelan dan kembali menutup mata.

Baru saja dia menutup mata, tiba-tiba rasa kantuk yang sangat berat menerjang kelopak mata. Xevanus tak ingin menyerah. "Ayo, pasti bisa, ukirannya harus bisa diselesaikan!" gumam Xevanus mengalirkan semakin banyak tenaga dalam untuk mempercepat prosesnya, sambil menahan rasa kantuk yang luar biasa.

Qelia yang merasakan lebih banyak energi asing masuk ke tubuhnya, semakin memperkuat cengkraman pada tanah. Telapak tangannya mulai dipenuhi luka gores akibat beberapa batu yang tertancap pada tanah, ikut dia genggam.

Semakin lama, rasa sakit semakin terasa luar biasa dahsyat. Membuatnya ingin berteriak sekencang-kencangnya untuk membuat perasaan lega, walau itu sedikit. Rasanya saat ini, lebih menyakitkan dari pada saat dia ditabrak oleh kedua cucunya sendiri.

"Tu–tuan, saya tak sanggup lagi!" tiba-tiba Xevanus mengeluarkan kalimat dengan nada lirih, lalu ambruk dan tenaga dalam yang dia salurkan berhenti total. Qelia tak merasakan tenaga dalam lagi. Awalnya dia mengira kalau rasa sakit itu akan menghilang.

Sayangnya kenyataan tak sesuai ekspektasi! Rasanya semakin sakit dan perih, tubuhnya seperti ingin meledak karena tenaga dalam yang ada di tubuhnya jadi tak mengalir seperti seharusnya.

"Aaaak!" Qelia berteriak kencang, padahal tenggorokannya masih sangat merasakan sakit. Entah dari mana dia mendapat kekuatan itu. Pandangannya pun langsung memburam dengan rasa sakit tiada henti menerjang tubuh. Dia langsung ambruk ke samping, dengan bibir meringis kesakitan.

'Aku tak boleh menyerah!' batin Qelia berusaha menguatkan diri dan sadar. Tangannya melepaskan cengkraman dari tanah, lalu mengepal dengan kuat. Namun, itu seperti tidak ada hasil karena rasa sakit dan kesadarannya semakin buram. Menurut Qelia, dia sudah tak memiliki cara lain.

Dia pun menggigit lidahnya sendiri untuk mempertahankan kesadaran. Namun, pandangannya tetap saja semakin memburam. Bahkan rasa sakit pada tubuhnya semakin terasa dengan darah yang mengalir akibat gigitan pada lidah.

'Aku harus sanggup!' batinnya menolak untuk kehilangan kesadaran.

Sekali lagi, kenyataan tak sesuai realita. Pandangannya langsung mengelap saat itu juga, tanpa bisa melihat apa-apa lagi.

Di sebuah tempat yang entah di mana ....

Kini, seorang kakek yang mendiami tubuh Qelia untuk mengganti si pemilik asli mengerutkan keningnya. Dia mengedarkan pandangan ke sekitar, hanya ada kegelapan tak berujung. Dia seperti bisa merasa, kalau kakinya melangkah di atas kegelapan. Tidak! Bukan di atas, tapi di kegelapan itu sendiri.

"Ini ... di mana?" dia bertanya pada diri sendiri yang memakai sosok aslinya, yaitu seorang kakek-kakek bernama Keyvano. Sesaat, dia terdiam mendengar suaranya sendiri. Padahal sekarang, dia mulai terbiasa dengan suara milik Qelia. "Aku kembali ke wujudku semula?" sambungnya kembali bertanya pada diri sendiri.

Gelap dan tak ada objek yang bisa dilihat, padahal dia penasaran dengan wujudnya sekarang. "Ayah!" tiba-tiba suara yang terasa familiar itu mengalun, menyapa indra pendengarannya. Keyvano berbalik melihat ke asal suara, lalu tubuhnya membeku di tempat saat melihat si pemilik suara itu.

Pemilik suara itu tak lain dan tak bukan adalah dirinya sendiri pada usia muda. Dia melihat sosoknya di masa lalu yang sedang bermain bersama anak-anak. Tak lupa, istrinya masih hidup kala itu.

"Ini, masa laluku bukan?" Keyvano kembali bertanya-tanya pada dirinya sendiri.

Dia melangkah mendekat ke sana, tapi sosok mereka yang berada di masa lalu itu langsung berubah menjadi abu dalam sekejab. Apa yang sebelumnya terlihat, kini menghilang dan Keyvano kembali di kegelapan.

"Maa! Jangan tinggalin aku!" suara tangisan beserta kalimat penuh permohonan, membuat Keyvano menoleh ke belakang ; tempat suara itu berasal.

Begitu melihat apa yang tampil di depannya, sudut mata Keyvano dipenuhi cairan bening. Ini adalah saat di mana, istrinya sedang dalam berada di masa sekarat. "Sayang." Keyvano memanggil sang istri dengan lembut. Dia mulai bergerak menuju kenangan itu. Kedua tangannya berusaha meraih jari-jemari sang istri.

Lagi dan lagi, itu semua berubah menjadi abu secara perlahan. "Tidak, jangan!" lirihnya dengan nada memohon. Dia berhasil menggenggam jari-jemari sang istri, tapi itu hanya sesaat sebelum menjadi abu sepenuhnya.

Brak! Lututnya bertumpu pada kegelapan yang padahal tak memiliki pijakan. "Jangan ambil mereka dariku!" seru Keyvano meminta. Dia mengeratkan genggaman yang berhasil meraih segenggam abu, milik istrinya. Air mata yang tadi menumpuk, perlahan jatuh menyusuri pipi.

"Hanya mereka yang kumiliki," sambungnya bergetar.

"Kakek!"

Suara itu kembali membuat perhatiannya teralihkan. Dia melihat ke sisi kanan untuk memastikan si pemilik suara. Sebuah cahaya yang terlihat dibakar oleh api berwarna putih kemerahan muncul di depannya. Tangis Keyvano terhenti, dan dia fokus melihat ke cahaya seukuran kepalan tangan itu.

"Apa ini?" tanya Keyvano mengangkat sebelah alisnya dengan mata sembab. Tanpa dia sadari, tangannya tak melepaskan genggaman dari sosok istri yang berubah menjadi abu. "Benda ini memanggilku?" tanyanya pelan karena tak percaya.

Suaranya bergetar, khas orang sehabis menangis.

"Saya adalah Qwephlia Ozenus Cyren. Mama dari bocah yang sekarang Kakek jaga, Aksvar dan Vesko. sekaligus, saya adalah pemilik asli tubuh yang sekarang ditempati jiwa Anda." Cahaya yang seperti membara dengan warna putih kemerahan itu bersuara.

Keyvano langsung terdiam dan mengernyitkan alisnya saat itu juga. Dia sedang mencoba mencerna semua yang diucapkan oleh cahaya aneh di hadapannya itu.

"Wujud saya sekarang terlihat aneh dan tak bisa dipercaya. Namun, inilah wujud seseorang setelah dia mati. Mereka bukan lagi seorang manusia, tapi jiwa atau roh yang tak memiliki tubuh, dan sedang bersiap untuk ke alam lain," sambung suara yang mengaku Qelia asli tersebut.

"Kau benar-benar ibu dari kedua bocah itu?" Keyvano berusaha memastikan, dia menggerakkan tangan untuk mengusap air mata yang tersisa akibat menangis tadi. Setelah itu, dia mencoba bangkit dan lupa akan abu yang digenggam tangannya saat ini.

"Ya!" jawab cahaya tersebut.

Jawaban singkat darinya membuat Keyvano mengepalkan tangan dan menatap cahaya itu dengan tajam. "Aku kira tak akan pernah bertemu denganmu untuk selamanya," tutur Keyvano serius. "Sedari lama, aku ingin bertanya padamu. Mengapa harus tinggal di hutan?" tanya Keyvano datar.

Suaranya sudah tak terlalu serak lagi, digantikan dengan nada rendah yang terdengar sangat geram ketika mempertanyakan alasan Qelia barusan. Kedua tangan Keyano mengepal semakin erat. "Dan satu lagi, kenapa kau tak mencari ayah asli dari Aksvar dan Vesko? Apa kau takut Nak?" cerca Keyvano tanpa henti sambil melipat kedua tangan di depan dada.

Tangan yang menggenggam abu dari sosok sang istri itu tak lepas, dan mengepal semakin kuat karena rasa kesal. "Izinkan saya menjawab pertanyaan pertama," balas Qelia dengan sopan. Keyvano mengangguk sebagai jawaban.

"Saya masuk ke dalam hutan, karena takut akan dijadikan sandera oleh para musuh yang berniat menghancurkan keluarga saya," jawab Qelia dengan nada yang sedikit murung. Keyvano langsung terbayang wajah Qelia jika dalam wujud nyata seperti tubuh.

Dia pun terdiam mendengarnya. "Kemudian, Anda tahu sendiri kalau saya tak memiliki uang sepeser pun. Sebab, keluarga saya sendiri telah memblokir akses untuk bertransaksi dengan bank. Saya tak memiliki pilihan lain, selain kabur ke hutan," sambung Qelia dengan sangat pelan.

"Anda juga tahu sendiri, bagaimana kehidupan yang saya jalani karena melihat ingatan saya," tutur Qelia dengan lembut dan sedih. Wujudnya yang berupa roh mati itupun mulai berubah menjadi warna biru, dari yang tadinya putih kemerahan.

'Apa itu karena emosi sedih yang dia rasakan?' batin Keyvano bertanya-tanya melihat warna yang berubah menjadi biru. Seperti melambangkan kesedihan.

"Untuk pertanyaan kedua ...."

Chương tiếp theo