webnovel

Iblis Sangat Buruk

(Sebastian Xu)

Aku berusaha sebisa mungkin agar Anaya tidak di jatuhi hukuman berat atas kasus pembunuhan. Dengan membawa Pak Tua itu ke penjara, tetapi tidak akan memungkinkan Pak Tua itu akan dihukum seberat-beratnya. Pak Inaya memang sudah tua, berusia enam puluh tahun, dengan perut yang buncit seperti orang hamil. Aku pikir Pak Tua itu bodoh, ternyata cerdik. Menghilangkan bukti penyiksaan dan pelecehan pada putri dan cucu-cucunya lebih cepat, sebelum dia ditangkap. Pak Inaya masih memiliki sisa kekayaan yang membuat dia bisa menyewa pengacara handal, tidak peduli bila harus membayar mahal.

Aku putuskan akan menjadi pengacara Anaya. Tepat disidang minggu ke dua, di kantor pengadilan. Anaya terduduk lesu di hadapan Hakim Agung, seorang pria yang berusia sekitar lima puluh tahunan akhir, memakai jubah hakim. Kacamata bulat tersemat di wajah pria itu. Aku mengenal Hakim Agung itu, namanya Amkar dan satu wanita lagi yang paling aku kenal.

Orang-orang mengira wanita itu masih muda, berusia dua puluh atau tiga puluhan, padahal wanita itu sudah berumur empat puluh akhir. Wajahnya yang awet muda, tanpa ada kerutan, rambut panjangnya diikat ekor kuda. Loren Karina, wanita yang awet muda. Karina seorang Master Spirit Magis Agung, tetapi dia di sini sebagai Hakim, bersama Hakim Agung lainnya.

Anaya hanya diam saja, rambutnya yang panjang diikat longgar, wajahnya pun tirus. Untungnya, saat ini Anaya ditemani suami tercinta. John melewati masa kritis setelah tertusuk serpihan besar kaca, meski pria itu masih sedikit pucat di wajah, kecintaan pada sang istri dan mau memaafkan kesalahan yang istrinya lakukan.

Penuntut umum, pengacara yang dibawa Pak Inara bernama Alex. Pria berwajah sombong dan angkuh. Aku tahu Alex, dia pengacara terkenal karena bukan karena prestasinya, melainkan karena membantu para penjahat berhasil lolos dari jeratan hukum. Tidak bisa dipungkiri, hukum di negeri ini yang memiliki pepatah yang nyata, 'hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas'. Mereka yang memiliki uang, bisa bebas dari jeratan hukum. Aku tidak menanggapi senyuman mengejek Pak Inara yang merasa akan memenangkan dalam pertempuran ini.

Penuntut umum mulai membacakan surat dakwaan. "Terdakwa atas nama Anaya telah melakukan pembunuhan berencana pada ketiga putra-putrinya, terlibat kekerasan yang hampir melukai Pak Inara."

Aku tahu, disaat ini dengan pengetahuanku yang cukup luas, aku akan menyelamatkan Anaya dari kesalahan yang tidak diperbuat.

"Anaya memang membunuh ketiga anak-anaknya. Tapi belum tentu dia benar-benar ingin melakukannya. Tekanan ekonomi yang sangat berpengaruh, belum lagi siksaan mental yang diberikan Pak Inara pada putrinya. Siksaan mental itu memicu Anaya untuk membunuh anak-anaknya, mengharapkan anak-anaknya tidak disakiti lagi."

"Saya tidak menyakiti putri saya, malah saya mendidik anak dan cucu saya lebih keras agar jangan jadi orang susah." Pak Inara tanpa bersalah membela diri.

"Mendidik anak ada batasannya, sehingga tidak menimbulkan toxic dalam mendidik. Terutama Anaya sudah menikah dan sudah kewajiban suami yang mendidik istrinya, orang tua tidak ikut campur lagi urusan anaknya," jawabku setenang mungkin menghadapi Pak Inara yang cerewet dan tidak mau kalah.

"Maaf Pak Bash, saya Alex di sini sebagai pengacara Pak Inara. Memang Pak Inara sudah tidak punya hak mengurus putrinya, karena sudah menikah. Tapi, kemana suaminya? Eka Juanda, suami dari Anaya merantau jauh dan selama itu tidak pernah pulang, hanya sekali dalam setahun. Bagaimana dia bisa mendidik istrinya, terutama soal menafkahi saja tidak." Alex memberi alasan sendiri sebagai pengacara Pak Inara. Wajahnya yang tampan dibuat berwibawa, seakan semua masalah akan cepat selesai.

"John, suami Anaya terpaksa merantau dan bekerja di luar pulau, selain itu, dia rutin menafkahi Anaya sebagai istrinya. Kebetulan sekali John hadir disidang sebagai saksi."

John berjalan ke tempat duduk yang di sediakan di tengah. Jalannya masih tertatih, karena luka tusukan belum sepenuhnya pulih, tetapi dia paksakan demi Anaya.

"Saya merantau di Kalimantan, bekerja di ekspor kelapa sawit hampir empat tahun. Hanya setahun sekali saya bisa pulang ke rumah, bertemu keluarga kecil saya. Mungkin di sini saya yang paling bersalah. Saya tidak tahu menahu, bahkan sedikit saja peka terhadap masalah istri saya. Saya hanya fokus bekerja dan menafkahi Anaya dan anak-anak, padahal sebagai suami bukan hanya menafkahi saja, tetapi menjadi teman bersandar untuk Anaya."

"Seminggu sebelum Anaya membunuh anak-anak saya, saya menghubunginya. Saya tidak peka dan tidak menanggapi ajakannya untuk saya pulang ke rumah. Setiap kali Anaya menelpon saya, ada sesuatu yang ingin disampaikannya, dan berkali-kali itu pula saya menolak karena alasan sibuk kerja, tanpa mau tahu beban besar yang dialami Anaya."

Mata John dipenuhi rasa sedih dan penyesalan yang amat terdalam. Aku terus mendengarkan semua ungkapan hatinya, meski di sini John menjawab sebagai saksi. Yang aku tahu, John sedang mengungkapkan semua penyesalannya.

"Buat apa kamu masih membela Anaya, John? Dia sudah membunuh anak-anakmu, bahkan hampir membunuh kamu. Buat apa kamu bela? Saya tidak sudi punya anak seperti itu," kata Pak Inara menyela.

"Saya mencintainya lebih dari apapun dan saya merasa bersalah, karena tidak tahu selama ini Anaya mendapat perlakuan buruk dari anda. Sebagai seorang ayah yang seharusnya melindungi putrinya, malah menyakitinya dan memanfaatkan uang yang harusnya untuk istri dan anak-anak saya."

"Kamu jangan fitnah saya. Saya tidak pernah memakai uang dari kamu, malah saya meminta hanya kadang-kadang saja." Pak Inara yang wajahnya memerah, mengelak dari tuduhan.

John sekali menjawab mampu membuat ayah mertuanya kelabakan seperti itu. Memang orang yang bersalah dan terus mengelak dari kesalahan, akan terus mencari cara agar terbebas dari kesalahan yang diperbuat.

"Ya, uang itu anda pakai untuk melakukan ritual, menginginkan kekayaan dari hasil ritual," kataku mulai ke inti masalah. Tidak ingin terlalu berlarut-larut.

"Apa hubungannya ritual dengan masalah pembunuhan? Jangan memutar fakta yang tidak logis, sesuatu yang diluar nalar seperti ini. Anaya membunuh anak-anaknya, murni karena keinginannya sendiri." Alex berbicara, menolak tuduhan.

"Pak Inara melakukan ritual pada entititas, menginginkan kekayaan instan, dengan syarat meminta tumbal. Saya langsung mengamankan barang-barang ini."

Aku menekan remot kontrol, di layar terpampang sebuah altar yang berisi kemenyan dan persembahan, di lantai ada gambar lingkaran dengan di tengah ada gambar kepala kambing, dan tiga foto Anaya dan anak-anaknya.

"Pak Inara ingin cepat kaya dengan cara yang tidak manusiawi, meminta sesuatu dari makhluk keji, iblis untuk memenuhi hawa nafsunya yang ingin cepat kaya. Dengan menumbal putri dan cucu-cucunya. Pemicu dari ketakutan Anaya, jika anak-anaknya di tumbalkan. Anaya yang memiliki riwayat depresi berat, tidak ingin anak-anaknya disakiti. Tanpa menyadari, dia membunuh anak-anaknya dan semua itu agar mereka tidak menjadi tumbal Pak Inara."

"Tetap saja, Pak Inara tidak melakukan kesalahan. Yang membunuh anak-anaknya adalah ibunya sendiri. Toh, melakukan hal seperti itu tidak merugikan orang lain. Memakai nama iblis sebagai tuduhan, apa salahnya?"

Perkataan Alex membuat aku tidak suka. "Iblis sangat buruk."

Chương tiếp theo