webnovel

Pahlawan Tak Terduga

"Aku mohon lepaskan, ini sakit sekali." Elisa terus merintih karena sedari tadi Jonathan menyeret lengannya dengan begitu kuat. Bahkan sampai membuat beberapa tamu di acara itu saling melemparkan pandangan mereka ke arahnya. Ini memalukan sekali. Elisa tidak mengira jika Jonathan akan berbuat kasar seperti ini terlebih di depan banyak orang. Apakah dia melakukan kesalahan? Tetapi apa? Lagi-lagi Elisa hanya bisa mendesah bingung sembari terus mengikuti langkah cepat Jonathan untuk menyelamatkan lengannya agar tidak patah atau menimbulkan luka.

"Sebenarnya apa salahku? Bukankah aku sudah menurutinya untuk tetap berada di stand makanan?" mata Elisa mendadak memanas memikirkan apa yang terjadi. Lalu sebuah sentakan membuat wanita itu terhuyung jatuh. Jonathan melepas cengkeramannya dengan begitu kasar.

"Apa yang kamu lakukan? Kasar sekali! Kamu bisa saja membunuh janin di dalam perut ini!" Elisa tersulut emosi melihat kelakuan Jonathan, bagaimana pun dia sama sekali tidak merasa bersalah. Bahkan telah berkali-kali berpikir pun dia masih tidak menemukan kesalahannya. Karena memang tidak ada kesalahan yang dia lakukan. Ya, setidaknya itulah keyakian Elisa. Tetapi kenapa Jonathan terlihat begitu marah kepada dirinya? Elisa sedikit tertatih saat akan bangkit dari duduknya.

"Sebenarnya kenapa kamu ini? Aku sudah menurutimu untuk berada di stand makanan, lalu kenapa kamu masih saja bersikap kasar padaku?" mata Elisa semakin memanas.

Bukan inginnya untuk tampak lemah, namun entah mengapa beberapa minggu ini dirinya selalu saja gampang menangis, mungkin karena pengaruh dari hormon kehamilannya. Meskipun begitu Elisa sekuat tenaga menahan air mata yang siap mengalir itu. Tidak, dia tidak ingin menjadi cengeng di depan Jonathan.

"A-- apa? Jadi kamu belum paham apa kesalahamu?" Jonathan menatap heran ke arah Elisa. Jadi wanita itu benar-benar tidak tahu, atau hanya pura-pura bodoh?

"Memangnya apa? Aku membuat kesalahan apa? Aku hanya makan, sesuai dengan perintahmu." Elisa tidak mau kalah.

Sejenak Jonathan menaikkan sebelah alisnya.

"Apakah aku juga menyuruhmu mengobrol dengan pria? Ah, aku rasa aku tidak pernah menyuruhmu seperti itu." tegas Jonathan.

"A-- apa maksudmu? Kami hanya mengobrol biasa. Dan dia yang mengajakku mengobrol terlebih dahulu. Mana mungkin aku menolak dan meninggalkannya begitu saja," terang Elisa.

Jonathan mengangkat sudut bibirnya memandang remeh ke arah istrinya itu.

"Mana mungkin menolak, dan meninggalkan begitu saja?" pria itu tampak menimang. "Kenapa tidak mungkin?" Jonathan tidak mengerti. Lalu pria itu semakin menghela napasnya kasar.

"Hah, aku tidak menyangka jika wanita yang aku nikahi ini rupanya seorang wanita yang begitu ramah dengan pria mana pun. Dan mungkin akan dengan mudahnya menjajakan diri. Ah, apakah ini alasannya pria yang menghamilimu pergi begitu saja? Aku jadi yakin jika penjelasanmu kemarin-kemarin hanyalah sebuah karangan." Tuduh Jonathan.

Elisa terkejut dengan tuduhan dari Jonathan. Kenapa lelaki itu tega mengatakan sesuatu yang sangat menyakiti hatinya.

"Apa maksudmu? Kenapa kenapa kamu berbicara seperti itu?" sontak hati Elisa merasa terluka dengan kalimat yang baru saja Jonathan layangkan untuknya. Bahkan wanita itu tidak bisa lagi menahan tangisnya dan memilih pergi begitu saja meninggalkan Jonathan yang masih terpaku di tempatnya.

"Astaga! Apa yang baru saja aku lakukan?" pria itu memekik frustasi menyadari dirinya yang begitu tersulut emosi hanya karena melihat Elisa dan pria lain berbicara.

"Ada apa denganku?" Jonathan memejamkan matanya sejenak, lalu pria itu memutuskan berlari menyusul ke arah Elisa pergi. Namun nihil, di mana pun dia mengitari kawasan hotel itu, Elisa sudah tidak ada lagi di sana. "Sial!" Jonathan merutuk sebal.

Sementara itu, Elisa terus menangis di dalam taxi yang dia tumpangi. Bahkan sang sopir yang menjalankan mobil berwarna biru itu hanya bisa berkerut bingung saat menanyakan ke mana tempat yang penumpangnya tujuan namun selalu mendapatkan jawaban berupa tangisan yang semakin kencang.

"Jadi sebenarnya kita ini mau ke mana?" sopir taxi itu kembali bertanya.

Elisa mengusap pipinya pelan, menghapus deraian air mata yang mengalir keluar.

"Ke mana saja, Pak," jawabnya yang semakin menimbulkan kerut bingung di wajah sang sopir. Namun akhirnya sopir taxi itu tetap menjalankan kendaraannya ke arah asal menyusuri kota. Terpenting dia bisa mendapatkan uang nantinya. Lagi pula penampilan Elisa sangatlah elegan, tentu penumpang pertamanya ini begitu banyak menyimpan uang. Ya, bukankah terkadang hoby orang kaya memang lah aneh? Seperti wanita yang tengah menangis di kursi belakangnya sekarang ini. Alih-alih pulang, atau membeli makanan mahal. Gadis itu justru menghamburkan uangnya dengan menangis di dalam taxi. Sejenak sang sopir menggelengkan kepalanya memikirkan segala tingkah aneh orang kaya.

Namun, rupanya rasa kagum itu hanya menetap sejenak berganti dengan emosi yang menyulut tinggi. Pasalnya, setelah beberapa jam sang sopir mengendarai mobilnya tidak tentu arah bahkan hingga hampir kehabisan bensin, Elisa tidak kunjung meminta berhenti juga. Bukan, bukan hal itu yang membuang sang sopir marah. Melainkan saat dirinya meminta Elisa untuk membayar setengah tagihannya terlebih dahulu karena uang itu akan digunakan sang sopir untuk membeli bensin.

Bukannya mendapatkan uang, sang sopir justru hanya mendapatkan permintaan maaf dari Elisa karena sedari tadi wanita itu tidak membawa uang sepeser pun.

"Lalu bagaimana ini? Kamu kira saya tidak butuh uang? Lihatlah tagihan ini! Hampir menyentuh lima ratus ribu. Dan siapa yang akan membayarnya?" sentak sang sopir kepada Elisa. Namun, lagi-lagi yang dia dapati hanyalah permintaan maaf dari penumpangnya itu.

"Maafmu tidak bisa ku gunakan untuk membeli nasi padang, Nona! Bagaimana pun anak dan istriku butuh makan. Dan kata maafmu tentu saja tidak akan bisa aku gunakan untuk apa pun!" sang sopir semakin tersulut emosi.

"Aku tidak mau tahu. Sekarang kamu harus keluar dari sini!" sopir itu menarik tubuh Elisa keluar dari mobilnya. "Dan cepat hubungi orang tuamu atau saudaramu yang lain untuk membayar tagihan ini. Atau aku akan membawamu ke kantor polisi!" gertak sang sopir sontak menimbulkan kucuran keringat di kening Elisa.

Wanita itu menggigit bibirnya pelan. Dirinya bahkan tidak membawa ponselnya. "Lalu harus bagaimana aku sekarang?" rintih Elisa dalam hati sembari merutuki kebodohannya.

"Ada apa ini?" suara seorang pria menghentikan ocehan sang sopir.

"Bryan?" Elisa menatap terkejut pria di depannya. Namun, belum sempat dia berbicara sang sopir sudah kembali membuka mulutnya.

"Oh, apakah Anda kerabat wanita ini? Cepat, segera bayar tagihannya!" sergah sopir itu menodongkan tangannya ke arah Bryan membuat pria itu sedikit mengernyut bingung.

"Ah, tidak, Pak. Dia --"

"Berapa tagihannya?" tanya Bryan memotong ucapan Elisa yang tampak begitu tidak nyaman. Lalu tatapannya mengarah pada benda kotak menyala yang berada di daskboard depan mobil taxi itu.

"Ah, baiklah, aku akan membayarnya," ujarnya saat melihat deretan angka di sana.

Setelah mendapatkan bayarannya, sang sopir pun segela melajukan kendaraannya pergi meninggalkan Elisa dengan Bryan di tepi jalan.

"Ba-- bagaimana kamu bisa di sini?" tanya Elisa memulai pembicaraan.

"Aku pulang terlebih dahulu karena bosan dengan acaranya," dusta Bryan berbohong, padahal sejak kepergian Jonathan dan Elisa dari ballroom itu, beberapa saat kemudian Bryan turut melangkah pergi untuk mengikuti mereka. Awalnya pria itu memang sempat kehilangan jejak. Namun, tidak lama Bryan melihat Elisa berlari ke arah sebuah taxi sembari menangis dan pria itu segera menghampiri mobilnya untuk mengikuti Elisa.

"Jadi sebenarnya kamu ini mau ke mana? Mungkin aku bisa mengantarmu," ucap Bryan yang tentu saja diselimuti modus. Ya, bagaimana pun dengan mengantar Elisa dia akan tahu di mana tempat tinggal gadis cantik yang berhasil mencuri hatinya itu, dan kelak dia akan dengan leluasa menghampiri Elisa, melakukan pendekatan dengan gadis seksi dan mempesona tersebut.

Sementara itu Elisa masih saja berpikir, rasanya dia sama sekali tidak memiliki tujuan lain. Selain hanya satu tempat yang selalu terlintas di dalam kepalanya.

"Apartemen Jonathan, bisakah kamu mengantarku ke sana?" tanya Elisa.

Bryan yang mendengar itu sejenak mengerjapkan matanya. "Apartemen Jonathan?" tentu saja Bryan mengenal dan tahu di mana tempat tinggal pria itu. Pria yang telah lama menjadi rivalnya. Tetapi ....

"Sebenarnya ada hubungan apa kamu dengan Jonathan?" tanya Bryan mengungkapkan rasa penasarannya.

"Aku istri Jonathan," jawab Elisa pelan. Membuat netra Bryan seketika membulat sempurna. "Apa??!!"

Chương tiếp theo