Selepas berdoa, para anggota keluarga yang tinggal di rumah tersebut mulai melanjutkan kegiatannya masing-masing. Ben sedikit kebingungan ketika Embok tiba-tiba meninggalkannya begitu saja. Tidak ada orang lain yang bisa ia tanyai setelah Embok pergi. Sementara ia masih kebingungan dengan tradisi di keluarga ibunya itu.
Ketika Ben sedang kebingungan, tiba-tiba saja suara seorang wanita memanggilnya. "Benjamin."
Ben langsung menoleh. Wanita tua berambut putih yang belakangan ia tahu dipanggil Nini oleh anggota keluarga yang lain melambaikan tangan ke arahnya. Ia melirik ke kanan kirinya terlebih dahulu sebelum ia menghampiri Nini.
Nini tersenyum pada Ben ketika ia menghampirinya. Wanita tua itu menepuk ubin di sebelahnya seolah memberi tanda pada Ben untuk duduk di sebelahnya. Dengan sedikit kikuk, Ben akhirnya duduk di sebelah Nini.
Nini menatap mata Ben yang berwarna kehijauan sambil mendesah pelan. "Mata itu selamanya mata akan menjadi bukti tindakan ibumu yang mempermalukan keluarga ini. Dia pergi meninggalkan pria yang sudah dipilihkan untuknya dan memilih pria asing itu."
Ben terdiam. Ia tidak begitu paham dengan makna ucapan Nini. Namun yang pasti, matanya yang berwarna kehijauan bukanlah warna mata yang umum ditemukan pada masyarakat lokal. Tanpa perlu diperjelas, orang-orang pasti akan mengetahui bahwa dirinya merupakan anak dari perkawinan antar ras. Pasti pria asing yang dimaksud Nini adalah ayahnya.
"Apa kamu sudah memikirkan permintaan Nini?" tanya wanita tua itu tiba-tiba.
Ben menggeleng pelan. "I don't think that changing my name was very important. Mom gave those names to me. If I change my name, there is nothing left from her."
Tiba-tiba saja Aji menghampiri mereka. Ia berdecak pelan setelah mendengar kata-kata yang diucapkan Ben pada Nini. "Kamu pandai berbicara meski umurmu baru tujuh tahun."
Nini menoleh pada Aji. "Tahan amarah kamu."
Aji menatap tajam ke arah Ben. "Saya tidak pernah setuju anak ini tinggal di sini. Rasanya udara disini ternodai dengan hadirnya anak ini."
"I don't want to be here either. If I have a choice, I'll choose to stay in Adelaide," sahut Ben.
"Who wants to accept you in Adelaide?" timpal Aji. Ia menatap tajam ke arah Ben lalu kembali berbicara padanya.
"Your father? Don't you remember that he almost killed you? Do you want to stay in jail with him?" lanjut Aji.
Tatapan mata Ben pada Aji tiba-tiba berubah. Ia menatap pria itu dengan penuh amarah ketika ia bangkit berdiri.
"This house is not different from a jail," ujar Ben. Ia kemudian mendorong tubuh Aji dan berjalan menjauh menuju gapura.
"Go! Wherever you want to go. There is no place for you except here," seru Aji ketika Ben berjalan menjauh. Ia berdecak pelan ketika Ben membuka pintu gapura dan berjalan keluar rumah.
Nini menatap Aji. "Aku memang tidak mengerti kata-kata yang kamu ucapkan pada Ben. Tapi, aku bisa tahu kalau dia sakit hati dengan ucapanmu."
"Ibu masih mau menerima anak itu setelah perbuatan ibunya pada keluarga ini?"
Wanita tua itu menghela napas panjang. "Melihat matanya saja membuatku mengingat perbuatan ibunya yang lebih memilih pria asing itu ketimbang keluarganya sendiri."
"Lantas kenapa Ibu bersikeras menerimanya? Kita bisa mengabaikannya."
Nini menatap anak laki-laki tertuanya. "Seorang Ibu tetap seorang Ibu. Sebesar apapun dosa anaknya, dia tidak bisa benar-benar marah pada anaknya."
"Jadi itu alasan Ibu mau menerima Ben di keluarga ini?"
"Ben tetap anak Ayu. Tidak ada yang bisa merubah kenyataan itu. Darah Ayu mengalir di setiap nadinya. Membuatnya jadi bagian dari keluarga ini," ujar Nini.
Nini kemudian menatap mata anak pertamanya itu sambil menghela nafas panjang. "Kamu juga tetap pamannya, Gus."
Pria yang dituakan dalam keluarga itu menghela napas panjang setelah mendengarkan ucapan ibunya. "Aku belum bisa menerimanya."
"Kamu harus bisa menerimanya. Kamu bahkan Ibu sekalipun tidak bisa merubah takdir yang sudah ditulis oleh Sang Hyang Widhi," sahut Nini.
----
Ben berjalan tak tentu arah. Sejak ia keluar dari rumah keluarga ibunya, ia hanya berjalan kaki ke sembarang arah. Tanpa tahu arah mana yang ia tuju. Ia hanya ingin berjalan menjauh dari rumah tersebut.
Ia menyadari beberapa orang yang menatapnya dengan penuh keheranan. Namun ia tidak memperdulikannya dan terus melangkah. Yang ada dipikirannya hanya pergi sejauh mungkin dari rumah itu. Rumah yang sejak awal kedatangannya tidak menerima kehadirannya.
Langkah kaki Ben terhenti ketika ia akhirnya tiba di persimpangan jalan. Ia menatap ke segala arah sambil membaca petunjuk jalan. Tidak ada satupun nama jalan yang ia kenal. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk mengikuti segerombolan anak-anak berseragam sekolah yang tengah berjalan kaki.
----
"Lihat-lihat! Ada anak bule nyasar," seru seorang anak laki-laki yang sadar akan kehadiran Ben di belakang rombongannya bersama teman-temannya.
Anak-anak lain yang kebetulan berada dalam rombongan itu sontak menoleh ke arah Ben. Langkah kaki Ben terhenti dan ia menatap ke arah anak-anak yang berdiri di hadapannya. "What? I'm not doing anything."
Salah seorang diantara anak-anak itu berjalan menghampiri Ben sambil terkekeh.
"Are you lost Mister?" tanya anak yang menghampiri Ben. Ucapan anak tersebut langsung disambut tawa oleh teman-temannya.
Ben refleks memundurkan langkahnya ketika anak laki-laki di hadapannya terus mendekatinya. Anak laki-laki itu tersenyum lebar sambil menatap Ben.
"Stay away," ujar Ben.
"Apa? Kamu ngomong apa?" goda anak laki-laki itu.
"Pergi!"
Anak laki-laki yang mencoba mendekatinya tiba-tiba menghentikan langkahnya. Ia terkekeh sambil menatap Ben. Sedetik kemudian anak itu kembali maju dan langsung meraih kerah kaus yang dikenakan Ben.
"Kalau mau kita pergi, kamu harus jajanin kita dulu," ujar anak laki-laki itu sambil merogoh kantung celana Ben.
"Let go." Ben mendorong tubuh anak laki-laki yang nampaknya lebih tua darinya itu.
"Berani rupanya, ya?" ujar anak laki-laki itu sambil menatap Ben. Ia lalu menoleh pada teman-temannya.
"Hei! Ngapain pada nonton aja?" teriak anak laki-laki yang mengganggu Ben pada teman-temannya.
Anak-anak lain akhirnya ikut menghampiri Ben. Mereka membentuk lingkaran yang mengelilingi Ben agar ia tidak bisa lari kemanapun. Ben berada di dalam lingkaran tersebut bersama anak laki-laki yang merisaknya.
"Sekarang kamu ngga bisa pergi," ujar anak laki-laki itu sambil mendorong Ben.
Tubuh Ben terdorong sampai mengenai tubuh anak lain yang kemudian kembali mendorongnya. Anak-anak itu bergantian mendorong tubuh Ben. Mereka baru berhenti ketika Ben jatuh tertelungkup di tanah.
Anak laki-laki yang sepertinya pemimpin di dalam kelompok tersebut menatap Ben yang terjatuh. Ia menyeringai lalu menginjak punggung Ben. Tindakannya itu langsung diikuti oleh teman-temannya yang lain.
"Jangan berani melawan. Kamu cuma pendatang di sini," ujar anak laki-laki tersebut sambil menginjak-injak Ben.
"Ternyata gede badan doang," sahut temannya yang lain.
Mereka terus menginjak-injak Ben sambil tertawa-tawa senang. Sementara Ben tidak bisa melawan karena jelas ia kalah jumlah. Ia hanya meringkuk sambil menutupi kepalanya.
"Udah ah, ngga seru," ujar salah satu diantara anak-anak tersebut.
Akhirnya satu per satu mulai berhenti menginjak Ben dan pergi begitu saja. Meninggalkan Ben yang meringkuk di tanah.
****
Thank you for reading my work. I hope you enjoy it. You could share your thought in the comment section, and don't forget to give your support through votes, gifts, reviews, etc. Thank you ^^
Original stories are only available at Webnovel.
Keep in touch with me by following my Instagram Account or Discord pearl_amethys ^^