webnovel

5 | Surga tak terjamah

Green Bank, Pocahontas Country, Virgia Barat, Amerika Serikat.

"Hanya ada rumah pondok di sana."

Delwyn menatap bangunan di depannya. Alamat yang tertera di dalam kartu nama yang diberikan oleh ayahnya sebelum ini, menghantarkan Delwyn masuk ke dalam kawasan yang tak pernah dibayangkan olehnya sebelumnya. Desa di pinggiran Amerika, tepatnya berada di Virgina Barat, berbatasan langsung Virginia dan Maryland: Green Bank.

Benar kata ayahnya, tempat ini sungguh tenang. Jauh dari jangkauan keramaian kota yang tak pernah surut. Di tempat ini lah Delwyn dikirim untuk tinggal sementara waktu. Target waktu yang diberikan oleh ayahnya hanya satu bulan, sebelum akhirnya Delwyn harus kembali ke Washington DC untuk mengurus perusahannya.

Rumah di depannya nampak biasa. Seperti yang dikatakan oleh Areeta Bellanca sebelumnya. Sang kekasih berkata bahwa alamat ini akan menuju ke sebuah pondok tua dengan lantai tiga yang menjulang tinggi. Tak ada istimewa. Ini mirip seperti hotel tua berbalut kesan pondok tua terbuat dari kayu yang kokoh. Interior klasik, kental dengan kesan Belanda jaman dulu.

Delwyn mengetuk pintu. Bel ditekan sekali dua kali, hingga akhirnya seseorang membuka pintu untuknya. Seseorang berdiri di ambang pintu. Pelayan laki-laki? Ya, ini sepertinya bukan pondok, melainkan sebuah hotel. Aneh saja, dari luar tempat ini tak lebih cukup bisa dikatakan sebagai hotel.

"Mr. Delwyn Stewart?" Ia mencocokkan wajah Delwyn dengan rekam gambar yang ada di dalam foto. Tersenyum ringan lalu membungkukkan badannya selepas tahu siapa yang datang. "Selamat datang, Mr. Delwyn."

"Kau tahu siapa aku?" tanyanya. Delwyn nampak bingung dengan pelayanan yang di depannya. Akan lebih normal jika ia ditanya nama dan asalnya. Keperluannya datang untuk apa dan identitasnya. Namun, pria itu menyambutnya seakan sudah tahu bahwa Delwyn akan datang sore ini.

Ah, inikah yang disebut akses perusahaan oleh ayahnya? Wah, Stewart benar-benar berkuasa di segala tempat.

"Lady sudah menunggumu, Mr. Delwyn."

"Lady?" tanya Delwyn mengulang.

"Mari ikuti aku," ujarnya memerintah. Tak ada bantahan dari Delwyn. Ia mengekori pria itu naik ke sebuah lift di sudut ruangan. Entahlah, bahkan ada tangga yang menuju ke lantai atas juga lantai puncak atau lantai ketiga. Namun, pria ini lebih memilih untuk menggunakan lift dengan pintu bertuliskan kata yang aneh. "Lift ini rusak."

Delwyn menatap angka merah di sisi pintu lift yang terus bergerak naik ke atas, menghitung jumlah lantai yang mereka lewati.

"Lantai 10?" Delwyn menepuk ringan pundak pria di depannya. "Tempat ini hanya punya tiga lantai bukan?" Delwyn mencoba untuk memahami, keadaan mulai aneh saat pria di depannya hanya tersenyum tak mau memberikan jawaban sepatah katapun.

Singkatnya, di sinilah Delwyn berhenti. Pintu lift terbuka dan menampilkan ruangan yang tak biasa. Interior bangunan yang begitu mewah. Semuanya adalah barang-barang mahal yang berjajar. Lampu besar menggantung di tengah ruangan, di sisinya ada tangga besar yang menuju ke puncak bangunan. Atapnya berlukiskan awan dengan satu gambaran aneh di tengahnya.

Delwyn dipaksa masuk, mengikuti pak tua yang entah siapa namanya.

"Dia sudah datang, Lady," ucapnya. Lirih, bukan untuk Delwyn. Melainkan untuk wanita yang duduk di atas kursi goyang menghadap ke jendela luar.

Dia menoleh. Menatap pak tua yang datang menampilkan banyak kesopanan untuknya. "Terimakasih, Mr. Solth." Ia tersenyum manis. Suaranya begitu lembut dan lirih.

"Kau Delwyn Stewart?" tanyanya. Ia berdiri dengan melipat kedua tangannya tepat di belakang punggungnya. Tatapan mata biru itu begitu indah untuk Delwyn. Ia tak pernah melihat wanita secantik ini. Rasanya, pesona tak hanya ada di dalam wajahnya. Ada poin lain yang memancarkan kecantikan wanita ini.

"B-benar." Delwyn menelisik. Diam sejenak, memandangi tubuh ramping milik lawan bicaranya. Gaun yang mewah, tentu saja. Dia pemilik penthouse di sini? Tunggu, sejak kapan ada Penthouse di bangunan ini? "Who are you?" Delwyn kembali membuka celah bibirnya. Menatap dengan aneh wanita yang hanya tersenyum. Dia memberi isyarat pada pak tua di belakang Delwyn untuk pergi, sebab tugasnya sudah selesai. Meninggalkan Delwyn dan dirinya berdua saja di ruangan ini.

Wanita itu mengulurkan tangannya. "Daeva," ucapnya memperkenalkan. "Daeva Desmonav," imbuhnya.

Delwyn meraih uluran tangannya. "Delwyn Stewart." Kata-kata yang keluar dari celah bibirnya terdengar begitu ragu. Delwyn masih bingung dengan suasana yang ada. Dia dibawa kemana? Dia sedang berada di tempat apa? Itulah yang diperdebatkan oleh isi kepala Delwyn.

"Duduklah," ucapnya. Delwyn tak menghiraukan hal itu. Tatapan matanya mulai menyapu setiap bagian ruangan. Tak ada celah, semuanya benar-benar nyata adanya. Ini bukan ilusi, tetapi apa yang ada di sekitarnya tak pernah dibayangkan oleh dirinya sebelum masuk ke tempat ini. Dari luar, hanya ada tiga lantai jika ia tak salah hitung. Namun, saat datang ke sini dan melihat semuanya dari jendela ruangan, bangunan ini hampir saja menyentuh cakrawala.

"Nona Daeva, aku—" Ucapan Delwyn terhenti saat Daeva tak lagi berdiri di depannya. Wanita itu sudah duduk di atas sofa, menyilangkan kedua kakinya dan menikmati secangkir teh yang entah, kapan Daeva membuat itu. Tadi tak ada apapun di atas meja.

"Duduklah. Aku yakin kau lelah, Mr. Stewart." Daeva mempersilakan untuk yang kesekian kalinya. Sekarang Delwyn menurut dan datang padanya. Duduk di depan Daeva dengan ekspresi wajah yang heran. Baginya, di tempat ini tak ada yang masuk akal.

"Boleh aku bertanya sesuatu padamu, Nona?" Delwyn memulai. Dia tak suka berbasa-basi kalau perasaan ingin tahu sudah hampir menggerogoti kewarasannya.

Daeva menganggukkan kepalanya. Kembali menyeruput teh yang ada di depannya. "Katakan. Aku bisa menjawab apapun selain kenapa aku bisa membangun tempat di sini. Lorelei yang memberikan tempat ini," ujarnya. Semakin membuat Delwyn tak mengerti. Apa yang sebenarnya sedang dibicarakan olehnya?

"Apa ini?" tanya Delwyn sembari merentangkan kedua tangannya, seakan sedang menyambut sesuatu. Ya, menyambut keanehan di tempat ini.

"Da-Hong Pao," ucap Daeva dengan logat yang khas, hidup selama bertahun-tahun, membuatnya mempelajari banyak bahasa di dunia ini. Pasal berbicara dengan bahasa atau istilah asing, dia tak perlu diragukan lagi.

"What the ...."

"Tehnya, itu nama tehnya." Daeva kembali membuka suara. "Rasanya enak, jadi minumlah. Aku mengambil pohonnya langsung dari masa Dinasti Ming."

Delwyn mengerutkan keningnya. "Apa yang sedang kau bicarakan? Dinasti Ming? Kau orang China?"

Daeva terkekeh. "Aku punya banyak teman di dalam Dinasti Ming."

"Coo-coo," lirihnya pada Daeva.

"Kau bilang apa tadi?"

Delwyn memalingkan wajahnya. "Aku baru saja mengataimu orang gila," jawabnya berterus-terang. "Bukan itu yang aku tanyakan." Delwyn sedikit marah. Wanita di depannya benar-benar aneh. "Tempat apa ini?"

Daeva tersenyum ringan. "Luxuria's Penthouse," ujarnya. Menutup pembicaraan mereka sementara waktu.

... Bersambung ....

Chương tiếp theo