Sulutan ujung rokok malam buta dengan sekali hisapan dan mulut semakin penuh akan asap. Kenapa hari ini aku enggan bergerak dan duduk bersila saja diam begitu lama. Sejenak kelopak mata aku turunkan hingga tutupi bola matanya.
Merasakan sensasi aneh di sekujur tubuh agaknya apakah aku tengah menyala. Seperti terbang lalu melayang sealur aliran darah menghanyut terus menerus.
"Langkah kaki ini aku kenal, akhirnya dia datang setelah sekian lama tak berkunjung,"
Ku hisap perlahan kembali batangan rokok menyala api di ujung depan mengurangi panjangnya sedikit demi sedikit.
Suara terompah kayu dari sepasang kaki tua ternyata yah anggapanku benar memang dia malam ini datang berkunjung. Kenapa ia begitu lama tak bertamu.
Seperti biasa langkah berat lalu menimbulkan altar hitam pekat dan tiada batas inilah alam bayangan yang sering diperdengarkan seluruhnya hanya warna petang tiada sudut-tiada sisi. Dan aku masih bersila hampir tengah malam.
Ku hisap sekali lagi rokok di tangan kiri lalu menaruhnya dengan ujung masih menyala di atas asbak. Dan ku biarkan jemari berhenti mengetik, mulai berdiri ingin ku basuh wajah dari sucinya air wudu tengah malam dan bersujud berlama-lama di atas sajadah usang.
Selesai menunaikan empat rakaat Fardu akhir malam ternyata altar sudah berubah menjadi hitam. Alasku tak lagi sebuah kasur lantai semula dan tak lagi bersebelahan tembok rumah awalnya.
Aki bersanding dia yang berjubah hitam dan hitam bersorban Jawa warna hitam pula. Dia hanya tersenyum melihatku sambil terus mengunyah suruh dan pinang.
Hehehe, tawa gigi ompong menyeruak semacam tokoh dalam misteri gunung merapi bernama Kalakondang.
"Apa maumu datang tanpa mengucapkan salam?" begitulah kataku membuka awal percakapan berat yang ku getarkan dan bersuara lewat alam bawah sadar semacam telepati.
"Aku adalah kakekmu dari ayah kakek buyutmu, aku bukan kakekmu yang biasa berbaju putih yang di sebut kakek canggah dan silsilah dari bapakmu. Aku kakekmu jauh di atas kakek buyut ataupun kakek canggah dan aku silsilah dari ibu," jawaban enteng dari mulutnya menggelontor.
Namun aku tak begitu saja meyakinkan hati sebab aku yang sekarang sudah lebih matang dari tipu daya para setan.
Ku katakan lagi dengan satu hal yang sama dengan ulangan dua kali, "Apa maumu?"
Tapi si kakek hanya diam menatapku tajam.
Seakan kemarahan ada di kerut tua keriput keningnya lalu balik bertanya, "Kenapa kau kembali membuka lembaran lama, kenapa kau kembali membahas album kisah lama dan yang ada aku di dalamnya dan aku menjadi yang bersalah hingga aku tak mampu menaiki tangga nirwana?"
Lalu aku telah tersadar sebab wajahnya semakin diperjelas oleh terang sorot mataku. Tampak jelas dan semakin aku mengenalinya. Dalam hatiku oh kau ternyata bapak tua? Untuk apa lagi kau datang.
"Aku bukanlah aku yang dahulu pernah bersanding anak perempuanmu. Dan aku bukanlah dahulu yang dengan gampang kau beri racun dari segelas kopi dan jampi-jampi. Dan aku bukanlah menantumu dahulu yang selalu menurut kau suruh ini itu lalu kau jerumuskan aku pada lembah kufur nikmat bahkan syirik nyata akan kehadirat Allah dan Nabinya. Aku tau kau mantan Bapak mertua, Lalu apa maumu?" ku katakan dengan tegas berulang dengan ujung pertanyaan kembali dalam tiga kali pengulangan yang sama.
Sosok itu hanya diam lalu mendongak melihat wajahku dan kembali diam. Seraya ingin berkata dan mengurungkannya lalu kembali diam pada akhirnya kembali bersuara menegaskan.
"Aku ingin kau membatalkan nama Jingga di atas ceritamu. Aku ingin kau membatalkan sebab kematian sesaatmu oleh tragedi kecelakaan di aspal basah kecamatan Cerme dan hapuskan penyebab dari sisi Jingga di dalamnya," begitulah permintaannya.
Dan aku hanya tersenyum kecut agak nyinyir menatap wajah tua perot semakin tua dari terakhir kali aku melihatnya.
Ku lafaz satu bait sair puja dan puji pada Sang Kekasih Allah satu bait kalimat mewakili semuanya. Sebab aku tahu dia bukan manusia, bukan jua ruh, bukan jua setan.
Tetapi ia hanya segumpal ilmu yang terlantar sebab di tinggal mati sang pemilik. Lalu ia menyerupai si pemilik untuk menyelesaikan segala urusan yang ditundakan semasa hidup si empunya ilmu.
"Kalau aku tak mau?" aku lontarkan sebuah pernyataan dari penyamaran pertanyaan yang dimana dua jawaban dari pilihan yang di suguhkan pasti jawabannya menjurus pada satu kesimpulan.
Sama seperti dahulu anak perempuannya mantan istriku memberikanku dua pilihan, sebuah dua persimpangan dimana dua jawaban teramat sulit untuk dipilih dan hanya satu cara agar dapat mengurai rumus membuat kesimpulan yakni keimanan.
"Kalau kau tak mau pertarungan adalah pilihan ketiga," kata-katanya begitu enteng seakan Allah tiada di setiap ruang bahkan di dalam altar bayangan dimana tiada satu pun yang tahu keberadaannya dan hanya diciptakan untuk berdiskusi antara sosok ilmu dengan ilmu.
"Silakan saja," ku lontarkan kembali pernyataan tapi kali ini menekankan pada satu titik bahwa hanya satu pilihan adalah maju sebab aku membela yang kuyakini benar kali ini.
Lalu iya tiba-tiba hilang membentuk sebuah kabut hitam dan kembali ke selatan. Sambil membuat satu pernyataan, "Hari ini, malam ini aku mengakui kekalahan kau terlalu kuat sekarang suatu saat bila anakku kembali padamu terimalah dan ajarilah jalan yang benar."
Lalu aku berdiri dengan lantang sambil berteriak, "Hai Bapak tua kau yang datang tanpa memberi salam dan pergi tanpa mengucap salam kembali. Jikalau kau benar ruh dari yang mati tentu kau tahu adab bertamu meski bentukmu adalah tak kasat mata. Hai kau yang mengaku mantan mertuaku dan sesungguhnya aku tahu kau tidak lebih dati sekedar setan durjana. Dan kalau ada tiba masanya Jingga kembali aku tekankan dengan mantap yang menjadi masa lalu tak akan menjadi masa depan camkan itu."
Lalu yang altar bayangan kembali terbuka berbentuk semula yakni rumahku. Lalu yang tadinya alas hitam tempatku bersila saat bertemu si ilmu hitam dari selatan kembali menjadi kasur lantai berwarna coklat petang bermotif bunga-bunga.
Ku ambil kembali sebatang rokok yang menyala di ujungnya. Menempelkan ujung belakang pada ujung bibir menghisapnya perlahan dengan awalan Bismilah. Seraya mengembuskan asapnya dengan akhiran Alhamdulillah.
Di sela tengah-tengah ku lantunkan pernyataan dalam hati, aku menikmati sari pati tembakau anugerah yang disuguhkan alam semesta dan yang diciptakan Allah dengan nikmat begitu sangat. Semoga tiada satu pun benih penyakit menyertainya.
Ku raih segelas kopi seduhan awalan pagi menempelkannya tepian gelas pada tepian bibirku. Meluncurlah dan menggelincir basahi kerongkongan sampai usus besar seduhan kopi hilangkan dahaga.
Begitulah sedikit cerita malam ini tertanggal Jumat, 23 Juli 2021, pada jam 01:06 pagi buta.
Kugelengkan kepala agak sedikit terheran-heran, "Ada-ada saja godaan setan dengan beribu cara dan rayuan mereka menggoda kita. Jikalau saja tiada iman didada tentu kita terjerumus dalam bujuk rayu dan lembah kemusyrikan sebab begitu saja percaya."
Mari kita lanjutkan cerita yang sempat kita jeda dalam perjalanan anak manusia mencari jati diri di dalam perantauan kota besar Jakarta.
Sampai dimana kita?
Your gift is the motivation for my creation. Give me more motivation!