Sejak pagi itu, setelah mendapatkan pesan yang ditinggalkan oleh Yudha, aku merasakan perasaan yang aneh. Secara logika, seharusnya aku akan merasa lega karena berhasil menyelesaikan kasus ini. Tetapi di sisi lain, entah kenapa timbul rasa bersalah di dalam hatiku.
Hingga langit oranye senja yang tampak indah itu pun bahkan tak bisa mengurangi rasa kegelisahan yang ada di dalam hatiku. Sebab otakku selalu sibuk berpikir, untuk bagaimana cara menjelaskan apa yang terjadi dengan Yudha kepada Nadia nantinya.
"Semuanya udah kelar Mel." ucapku pelan.
"Iya Ram… kerjaanku udah kelar semua, pulang yuk…" balas Melissa dengan wajah yang ceria.
Aku menggelengkan kepalaku, "Maksudku bukan itu Mel." ucapku.
"Jadi kelar apanya Ram?" tanya Melissa dengan bingung.
"Tentang masalah Rara, Mel…" ucapku sambil tersenyum.
"…." Melissa pun terdiam sambil memandangiku dengan tatapan heran.
"Dipa sama Yudha sekarang udah dipenjara. Rara sama korban lainnya udah aman, karena identitasnya ditutupi." jelasku.
"Jadi kamu fokus jalanin hidup kamu sendiri aja Mel… jangan banyak nangis lagi." ucapku perlahan.
Aku tahu bahwa Melissa selalu menangis karena memikirkan kondisi Rara. Tampak dari matanya yang selalu sembab jika sedang sendirian.
Tiba-tiba Melissa langsung memelukku dengan sangat erat. Orang-orang yang sedang lewat dan orang-orang yang sedang berada di cafe pun spontan memandangi kami berdua. Layaknya menyaksikan sebuah pertunjukan di depan mata mereka.
Akupun seketika jadi panik, "Mel… kita diliatin banyak orang loh." bisikku
Melissa tetap diam, dia malah memelukku semakin erat.
"Mel…" gumamku dengan pelan dan pasrah.
"Makasih banyak Ram…" ucap Melissa dengan suara yang bergetar.
"Iya sama-sama Mel… tapi kita pergi dari sini dulu ya." bujukku dengan nada suara yang selembut mungkin.
Melissa mengangguk lalu dia pun perlahan melepas pelukan eratnya dari tubuhku. Aku akhirnya bisa bernafas dengan lega karena tak harus jadi pusat perhatian lagi. Lalu tanpa aba-aba aku langsung menggenggam tangan Melissa lalu berjalan menuju arah pulang.
Saat di perjalanan pulang, tiba-tiba suara notifikasi di ponselku berbunyi. Saat kucek, ternyata itu adalah pesan yang dikirim oleh Nadia, yang hanya berisikan sebuah kalimat perintah.
"Datang ke rumah gw sekarang juga."
Aku pun menghela nafas seketika, "Sudah saatnya aku menghadapi dan menerima konsekuensi tindakanku." ucapku dalam hati.
Melihat ekspresiku yang murung, Melissa pun spontan bertanya, "Kamu kenapa Ram? ada masalah ya?"
"Nggak kok Mel…" ucapku dengan senyuman palsu yang terpapar di wajahku. "Kayaknya aku mau pergi ke rumah temen dulu, kamu pulang duluan aja ya."
Melissa memandangiku dengan tatapan curiga, sepertinya dia tahu bahwa aku sedang berbohong.
"Aku ikut ya!" ucap Melissa dengan tegas.
"Ga usah Mel… aku cuma sebentar doang kok di sana." balasku berusaha meyakinkannya.
"Kamu ga bisa bohong dari aku Ram, aku tau kalo kamu coba sembunyiin masalah kamu." ucap Melissa dengan serius. "Pokoknya ga mau tau, aku harus ikut!" paksanya.
Melihat Melissa yang bersikeras memaksa untuk ikut, aku pun akhirnya menyerah dan membiarkannya ikut. Tapi dengan satu syarat, bahwa dia tak boleh marah dan ikut campur masalahku nantinya.
***
Setelah memakan waktu sekitar dua puluh menitan, akhirnya kami sampai di depan rumah Nadia. Setelah selesai memarkirkan motor, aku pun langsung mengetuk pintu rumahnya.
Tak lama kemudian, muncul suara langkah kaki yang semakin lama semakin kuat. Lalu perlahan pintu itu terbuka, menampakkan figur Nadia yang memandangku dengan mata yang tajam.
"Masuk." ucapnya singkat.
Aku pun mengangguk dan perlahan melangkah memasuki rumahnya bersama Melissa. Nadia menutup pintu rumahnya, lalu membimbing kami menuju ke dalam ruang tamu.
Sesampainya di ruang tamu, Nadia menunjuk arah sofa sebagai tanda mempersilakan kami untuk duduk. Aku pun mau tak mau harus menurutinya dengan perasaan dan tingkah yang canggung.
"Dia siapa Ram?" tanya Nadia sambil melirik ke arah Melissa.
"Teman gw… namanya Melissa." jawabku dengan canggung.
"Lo tau kan… kenapa gw manggil lo untuk datang ke sini?" tanya Nadia dengan ekspresi wajah dan suara yang datar.
Aku pun diam membisu, tak tahu harus memulai berkata dari mana.
"Apa lo mikir gw bakal simpatik karena lo ngebawa temen cewe kesini?" tanya Nadia dengan nada suara yang mulai tinggi.
Aku pun menundukkan wajahku karena aku tahu bahwa aku memang telah berbuat salah. "Nggak Nad…" jawabku pelan.
"Lo nunggu di luar aja Mel, ada hal penting yang mau kita bicarain." ucapku pelan.
"Ga usah… biar dia ikut dengerin juga." potong Nadia.
Melissa menatap kami berdua dengan ekspresi heran. Sepertinya dia bingung, sebenarnya masalah apa yang terjadi diantara kami berdua.
"Lo yang buat kakak gw jadi dipenjara kan?" tanya Nadia dengan penuh amarah. Dia menatapku dengan penuh dendam sambil memegang sebuah surat, yang sepertinya ditinggalkan oleh Yudha.
"Iya…" jawabku pelan sambil menunduk.
Nadia mulai beranjak berdiri dari sofa, lalu perlahan mendekati posisiku. Begitu juga aku yang mulai berdiri dan berhadap-hadapan dengan figurnya.
Tanpa basa-basi, Nadia langsung menampar wajahku dengan keras. Saking kerasnya, suara tamparannya bahkan terdengar seperti suara cambukan. Telingaku juga sampai berdengung keras setelah terkena tamparannya.
"Maaf Nad." ucapku pelan sambil menundukkan wajahku.
"Apa-apaan ini!" teriak Melissa.
Melissa langsung bangun dari sofa dan berusaha menyerang Nadia. Tetapi aku langsung menahan tubuhnya.
"Inget janji kamu yang tadi Mel." ucapku.
"Kamu kok diam aja sih Ram… aku gak terima kamu sampai dikasarin sama dia." balas Melissa dengan ekspresi yang marah.
"Gw emang pantas buat nerima ini." ucapku lalu memaksa Melissa untuk kembali duduk di sofa.
Nadia memandangiku dengan mata yang tajam.
"Jadi selama ini lo deketin gw, hanya buat ngejebak kakak gw?" tanya Nadia pelan.
Aku mengangguk pelan, "Iya…"
Nadia pun memejamkan kedua matanya lalu bertanya, "Lo ga ada rasa ke gw?"
Aku hanya diam, tak menjawab pertanyaan darinya.
Melihatku yang hanya diam, Nadia pun tersenyum dan tertawa kecil. Walau aku tau, sebenarnya ada kesedihan dan kekecewaan mendalam dibalik senyum dan tawanya itu.
"Kenapa lo sampe lakuin itu semua? Apa salah kakak gw?" tanya Nadia dengan dingin.
"Karena kakak lo harus nerima hukuman dari semua perbuatan dia." jawabku.
"SALAH KAKAK GW APA!!!" bentak Nadia penuh emosi, sampai-sampai dia ngos-ngosan karena nafasnya yang tak beraturan.
"Kakak lo udah ngelecehin beberapa cewek." ucapku sambil memejamkan mata.
Nadia pun terdiam seketika. Dia hanya memandangiku layaknya tak percaya akan apa yang barusan kukatakan.
"Dia hampir jadi salah satu korban kakak lo." ucapku sambil menunjuk ke arah Melissa.
Nadia pun spontan memandang Melissa, dan Melissa hanya mengangguk pelan sambil membalas pandangan dari Nadia.
"Gw bisa ceritain semuanya dari awal, gw juga punya bukti lengkap tentang itu semua. Tapi gw gak mau ngeungkit itu lagi di depan lo. Gw hanya mau lo menerima kenyataan ini, dan tetap lanjutin hidup lo." ucapku perlahan.
Nadia tampak lesu dan pucat setelah mendengar penjelasanku, hingga dia terjatuh dengan lemas ke lantai. Aku pun spontan menangkap tubuhnya dan mengangkatnya ke sofa.
"Keluarga gw satu-satunya juga akhirnya ninggalin gw sendirian." gumam Nadia dengan tatapan mata yang kosong.
"Kembaliin kakak gw…" gumamnya pelan. "Kembaliin…"
"KEMBALIIN!!!" teriaknya sambil menangis tersedu-sedu.
Tak tahan melihatnya, aku pun langsung memeluknya dengan erat.
"Lepasin gw!!!" teriak Nadia sambil memukulku dan berusaha melepas pelukanku.
Tapi aku tak perduli dengan tingkahnya dan tetap memeluknya erat, berusaha untuk menampung semua kemarahannya.
Hingga beberapa saat kemudian, tenaga Nadia pun melemah dan akhirnya dia tertidur dengan berlinang air mata. Aku langsung mengangkat dan memindahkannya ke kamarnya.
Kuletakkan tubuhnya di kasur, lalu kututupi dengan sebuah selimut berwarna biru. Kupandangi wajahnya yang tertidur dengan pulas. Hingga aku menyadari, bahwa dia tak memiliki kesalahan apapun. Tapi aku telah memanfaatkan dan menyakiti perasaan seorang wanita polos seperti dia.
"Lala…" ucapku memanggilnya di dalam batin.
"Iya tuan…" balas Lala yang dalam sekejap mata muncul di sampingku.
"Tolong jaga dan bantu Nadia. Perlakukan dia sama seperti saat kamu menjagaku." ucapku di dalam batin.
"Tapi aku sudah bersumpah untuk menjagamu tuan…" balas Lala.
"Menjaganya berarti sama dengan menjagaku juga." ucapku berusaha meyakinkannya. "Sebab sebelumnya aku juga sudah bersumpah untuk menjaganya."
Lala hanya diam tak merespon ucapanku, sepertinya dia masih bersikeras untuk tetap berada di sisiku untuk menjagaku.
"Kamu tidak perlu khawatir, karena ada dia yang selalu menjagaku." ucapku mengacu kepada pria berjubah merah.
Setelah membujuknya beberapa saat, akhirnya Lala pun mau untuk menjaga dan selalu berada di sisi Nadia sesuai keinginanku. Aku akhirnya bisa bernafas dengan lega, karena setidaknya aku sudah menambahkan jaminan proteksi pada lapisan ghoib. Selanjutnya, aku hanya harus menambahkan jaminan proteksi secara fisik, dengan berusaha menjaganya secara langsung.
"Gw bakal selalu ada di saat lo butuh, Nad." gumamku pelan.
Lalu aku pergi meninggalkannya dan menutup pintu kamarnya dengan pelan.
"Mel… pulang yuk." ajakku.
"Jadi… dia gimana nantinya?" tanya Melissa dengan ekspresi khawatir.
"Aku anter kamu pulang dulu, nanti habis itu aku balik kesini lagi." jawabku.
"Aku yang tinggal disini aja Ram… buat jaga-jaga kalau dia mau…" ucap Melissa lalu tiba-tiba terhenti diakhir.
Aku pun mengerti maksud dari Melissa, karena aku juga berpikiran yang sama. Aku tak ingin Nadia melakukan hal-hal aneh, seperti melukai dirinya sendiri atau bahkan sampai bunuh diri.
"Gapapa Mel, nanti kamu bakal repot. Jadi biarin aku aja yang jagain Nadia." balasku.
"Biarin aku aja Ram… aku ngerti perasaan dia, karena sekarang aku juga ngerasain hal yang sama kayak dia." ucap Melissa perlahan.
"Kamu yakin Mel? Bukannya kamu harus kuliah sama kerja di cafe besok?" tanyaku karena merasa tak enak.
"Gapapa Ram… ini jauh lebih penting dari itu. Kalau urusan kerja, besok kamu jemput aku aja, kita ganti-gantian ngejagain dia." jawab Melissa.
Melihat Melissa yang bersikeras untuk menjaga Nadia, aku pun mau tak mau menuruti perkataannya.
"Yaudah Mel, kalau ada apa-apa langsung kabarin gw ya. Jangan lupa juga buat kunci semua pintu rumah." ucap mengingatkannya sambil berjalan menuju pintu keluar rumah.
"Iya Ram… hati-hati di jalan ya." balas Melissa sambil mengantarku keluar dari rumah.
"Makasih banyak ya Mel…" ucapku.
"Sama-sama Ram." balas Melissa sambil tersenyum dan melambaikan tangannya.
Aku pun mengangguk lalu menaiki motor dan pergi pulang menuju kostku. Lagi dan lagi, cahaya bulan yang terang benderang sedang mendampingi gelapnya malam.
Aku pun bertanya pada diriku, apakah aku adalah sang cahaya ataukah aku sang kegelapan? Tetapi aku yang tau pasti, cahaya dan kegelapan adalah dua sisi yang tak bisa dipisahkan.
Bersambung…