Rumi mengerutkan keningnya. "Siapa? Mr. Tonny?"
Pitter terkekeh. "Dia tidak sejahat itu." Ia menumpuk satu lembar kertas di atasnya. Sekarang informasi berganti. Tak lagi tertuju pada kasus yang mungkin saja menjerat sang bibi. "Pekerjaannya membuat banyak uang datang dan koneksi yang jauh lebih besar. Namun, dunia berjalan dengan seimbang, Nak." Dia membuat perumpamaan. Agar Rumi jauh lebih mudah mengerti dalam dunia yang tak seharusnya diselami dalam usia muda. "Musuhnya juga akan jauh lebih banyak dari yang kamu duga. Jika kamu berpikir bahwa bibimu hidup dengan enak dan nyaman, berkelimpahan harta, itu semua memang benar. Namun, ada bayaran dan tebusan dari semua itu."
Rumi mengerutkan keningnya. "Maksudmu ... hidup bibiku selalu dalam bahaya?"
Pitter mengangguk. Menjentikkan jarinya. "Anak yang pandai."
Dia menghela nafasnya. Mengambil kembali semua yang ditunjukkan pada Rumi. Sekarang fokus pada apa yang berhubungan dengan Mr. Tonny. "Lalu, aku ingin bertanya sesuatu padamu." Dia mensejajarkan foto Mr. Tonny dengan Nana. Seakan sedang membandingkan. "Kau menolak untuk ikut dengannya ke Las Vegas sebab dunia yang tak sesuai denganmu. Kau seakan jijik dengan cara Mr. Tonny bekerja, bukan?" ujarnya sembari menunjuk ke arah foto Mr. Tonny.
Keduanya sama-sama diam. Tak ada yang berbicara. Rumi dibungkam dengan kenyataan yang ada. Dugaan pria ini 100 persen sudah benar. Dia pandai.
"Lalu apa bedanya dengan bibimu?" tanyanya? Killing part! Seakan boomerang baru saja menebas kepala Rumi. Semua pertanyaan dikembalikan padanya. "Jika kau ikut dengan bibimu dan menetap di sini, apa bedanya dengan kau memilih tinggal di Las Vegas? Baik Nona Nana ataupun bosku, Mr. Tonny Ayres, adalah orang yang berjalan dalam satu jalan yang sama, Rumi."
Ia tersenyum tipis. Mengambil kembali foto Nana dan Mr. Tonny lalu menyimpannya. "Hanya saja, mereka punya cara dan kedudukan yang berbeda. Katakan seperti guru dan muridnya."
"Kau mencoba untuk mempengaruhi diriku?" Rumi menebak. Namun, kali ini dia tak asal-asalan. Semuanya berdasarkan pada apa yang ada di depan matanya sekarang. Pria ini diajari untuk berbicara dengan cara yang licik. Mempengaruhi orang-orang di sekitarnya.
Tawa renyah datang darinya. "Aku tidak kau sekeras ini, Nak. Mr. Tonny benar. Kau agak mirip dengan ibumu."
"Jangan menggunakan dia untuk mempengaruhiku. Aku tidak akan pergi. Juga, identitas yang Anda berikan ... aku tidak akan membawanya dan menyimpan itu. Aku tidak menyetujui itu." Rumi memberi penekanan di bagian akhir kalimatnya. "Nenekku yang memberikan nama ini. Nenekku yang memberikan indentitas di saat kedua orang tua kandungku membuangku begitu saja. Aku tidak akan melepaskan identifikasi ini, Mr. Pitter."
Pitter mengangguk-angguk dengan samar. "Aku tahu itu. Namun, kau salah besar, Nak. Aku tidak sedang mencoba untuk memberi pengaruh padamu atau sedang mengancammu. Aku sedang bernegosiasi denganmu."
Rumi mengerutkan dahinya. Tak mengerti. "Bernegosiasi?"
"Menawarkan cara hidup yang lebih baik di antara kemungkinan buruk yang ada. Tidak ada yang bisa menjamin kamu hidup baik-baik saja seperti ini di Jakarta jika bibimu ditangkap. Kamu mungkin akan menjadi wanita jalang seperti dirinya atau menjadi gelandangan kota yang mati bunuh diri pada akhirnya." Pitter menautkan jari jemarinya. Mencondongkan tubuhnya ke depan. Berharap bisa meyakinkan Rumi di sini.
"Aku berbicara bukan sebagai kuasa hukum dari Black Wolf, Rumi. Aku juga berbicara bukan sebagai anak buah dari Mr. Tonny Ayres. Namun, aku berbicara sebagai Pitter, pengacara dengan tingkat kemenangan yang hampir sempurna. Aku menerka semua kemungkinan yang ada dari seseorang yang sedang aku amati." Dia menjeda kalimatnya sejenak. Pandangan Rumi semakin aneh saja. Dia seakan menyimpan banyak kata-kata untuk diluapkan pada Pitter. "Termasuk menganalisis apa yang akan terjadi padamu di masa depan."
"Kau Tuhan?" Rumi menegaskan. Menjawab omong kosong darinya.
Pitter menggelengkan kepalanya ringan. "Aku tidak terlalu akur dengan-Nya, Rumi. Jadi jangan menyebut itu di dalam pembicaraan kita." Pitter mulai serius. "Aku berbicara seperti ini bukan ingin mendengar keputusanmu, Rumi. Mau atau tidak, Mr. Tonny pasti membawamu ke Las Vegas. Kedatangannya ke Indonesia bukan hanya sekadar liburan semata. Namun, menjalankan misi yang rahasia. Aku menjelaskan semua ini agar kau tahu ... seperti apa pilihan yang harus kau buat dan kau yakini."
"Tidak ada yang menjamin kebahagiaanku di Las Vegas. Aku juga tidak punya siapapun di sana. Apa bedanya? Semuanya hanya 50 dibanding 50 saja."
Pitter kembali menarik kedua sisi bibirnya. "Mari tarik satu persen agar perbandingannya sedikit lebih tinggi." Pitter kembali menyodorkan dokumennya pada Rumi. "Menarik satu persen itu ke arah Mr. Tonny. Aku bisa menjamin itu lebih menguntungkan. Percayalah pada prediksi seorang pengacara mafia."
... To be continued ...