Wira sudah seringkali membayangkan bagaimana pertemuannya kembali dengan Mia…. Kadang-kadang dia merasa bertemu di kampus, di jalan, atau terkadang dia merasa dia hanya berhalusinasi.
Tapi tidak ada kebetulan yang terjadi seperti itu. Atau malah... pertemuan mereka dululah sebenarnya yang merupakan kebetulan
Dia harus berkata apa ketika pertama kali bertemu kembali?
Menanyakan kabar? Rindu? Atau mungkin... tidak tahu harus berkata apa?
Masih beberapa langkah lagi sampai dia tiba di depan Mia, dan tatapannya yang menunduk mengungkapkan kesedihan dan kemarahan yang telah tertidur selama dua tahun. Semua bayangannya menjadi tak berarti saat ini. Saat ini, dia hanya ingin melakukan segalanya. Seolah semuanya tidak pernah terjadi.
Dia masih menjaga cinta mereka, dan dia menunggunya.
Mia menekan gelombang yang bergolak di dalam hatinya, menekan rasa sakit yang menyakitkan, dan menarik Sudut-sudut mulutnya untuk naik, berpura-pura seperti teman lama yang kebetulan bertemu. "Kapan kamu sampai di sini?"
Mata Wira sesaat memicing, wajahnya tak acuh. Ada kesan sinis yang tak terucapkan di wajahnya. "Aku selalu berpikir, ketika aku pulang ke Indonesia... saat kamu melihatku, apa yang akan kamu katakan saat pertama kali bertemu lagi?"
Hati Mia tergetar untuk saat yang lama. Matanya mengerjap. Dia tidak berani mengungkapkan kesedihannya, jadi dia hanya bisa tertawa.
Biar saja sekalipun senyumannya sangat jelek!
"Aku berharap banyak... tapi aku sendiri pun tidak terlalu tenang." Bibir Wira yang ranum melengkung indah dalam senyum mengejek, tapi Mia tidak tahu apakah senyuman itu untuk mencela diri sendiri atau mengejek Mia.
"Mia, kenapa kamu tega sekali padaku?" Suara Wira sangat lirih, dan akhir kalimatnya sedikit naik dengan nada dingin. Tatapannya sedalam lautan dan menatap Mia dengan tak acuh.
Hati Mia terasa seperti dicengkeram kuat, dan rasanya sangat menyakitkan hingga mencekiknya.
Dengan melanjutkan senyuman, Mia mendongak dan bertemu pandang dengan Wira. "Tega?" Dia mencibir, dan berkata dengan dingin, "Aku memang bukan orang yang baik."
Sesuatu seolah retak dalam pandangan Wira, lalu berangsur memadat menjadi kemarahan yang penuh dendam.
Tiba-tiba, dia meraih bahu Mia dan mendorongnya ke dinding, matanya tertuju padanya dengan tajam. "Tapi katamu kau akan menunggu? Kenapa? Kenapa kamu menyerah…."
Hati Mia kembali terasa teriris, seolah darahnya langsung menetes. Bulu matanya bergetar pelan, berusaha menyembunyikan air mata yang mengancam untuk menetes. Dia hanya menaikkan alisnya dan berkata, "Lelah. Aku sudah tidak mau menunggu lagi."
Kata-kata Mia yang dingin membuat ketenangan yang telah dilatih Wira selama bertahun-tahun hancur dalam sekejap. Dia mengira bahwa dia dan Mia sudah berakhir, dia bisa menghadapinya dengan tenang dan hanya mempertanyakan alasannya.
Tapi tidak…. Dia tidak bisa menerima ketidakpedulian Mia sama sekali, apalagi menerima jarak antara keduanya.
"Heh, lelah?" Wira mendengus dingin, "Mia, yang selalu bersabar, sejak kapan seorang Mia bisa lelah karena menunggu?" Kata-katanya dilontarkan dalam bentuk desisan dari sela-sela giginya.
Karena amarahnya, Wira menekan bahu Mia dengan sedikit lebih keras, Mia sedikit mengernyit kesakitan, namun tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya berkata dengan dingin, "Jawaban apa yang ingin kamu dengar?" Suaranya terdengar memancing.
Keduanya tidak pernah banyak mengobrol selama berhubungan, hanya menikmati kebersamaan dengan tenang. Dengan begitu saja, keduanya sudah merasa bahagia.
Eri selalu bertanya apakah mereka bosan, tetapi mengapa mereka harus bosan?
Dengan saling bertatapan saja, mereka sudah tahu apa isi pikiran masing-masing. Seperti saat ini; Mia tahu apa yang ingin ditanyakan Wira.
"Kenapa kau meminta putus dariku?" Wira menatap mata Mia yang tampak tak acuh, dan sedikit demi sedikit, pertahanannya yang sekuat baja pun mulai luntur.
Hati Mia terasa sangat mencekik, tapi dia tetap berkata dengan tenang, "Karena aku jatuh cinta dengan orang lain…."
"Aku tidak percaya!" Wira mengertakkan gigi dan melontarkan tiga kata itu, amarah yang keluar dari matanya tampak membara bak seekor singa yang selalu siap menelan semua mangsa yang ada.
Mia tiba-tiba mendorong Wira menjauh, dan, entah karena kekuatannya yang terlalu besar atau karena momentum sesaat, Wira benar-benar terdorong menjauh.
"Percaya atau tidak… Wira, menunggu itu terlalu melelahkan." Mata Mia terlihat jernih saat bertemu pandang dengannya. "Kupikir aku bisa melakukannya, tapi aku tidak bisa…. Menunggu membuatku kehilangan kepercayaan. Aku merasa bahwa perasaanku sudah bukan cinta lagi."
Wira memandang Mia dengan mata memicing, pupil hitamnya yang dalam seperti laut menampakkan lapisan ketajaman yang menusuk. "Bohong kau!"
"Kalau memang akan menghiburmu, begini saja…" kata Mia dengan tak acuh, lalu berbalik dan berjalan menuju kamar mandi.
Namun, tubuhnya yang sudah berbalik ditangkap oleh Wira.
"Mia, aku sudah pulang…." Suara Wira tiba-tiba menjadi sedikit lebih ramah. "Tidak perlu menunggu, aku tidak akan pergi lagi. Ayo kita mulai dari awal, oke?"
Selama sesaat, mata Mia memerah.
"Mia, aku mau kau berbalik dan lihat aku. Kita berkencan, oke?"
Pria dengan kemeja biru muda kasual dan celana panjang krem itu meraih pergelangan tangan Mia dan berbicara dengan pelan seperti angin musim panas. Matanya dipenuhi keramahan, seolah-olah memantulkan warna bunga flamboyan.
Mia merasa seperti menjadi yang satu-satunya bersedih di dalam gelapnya malam. Dia ingin menerobos kegelapan, tapi rasanya terlalu gelap gulita dan seolah dirinya berada di tepi jurang.
Mata Mia mengerjap pelan. Air matanya menetes, meliuk di pipinya, dan akhirnya menoreh jejak di sudut mulutnya.
"Aku sudah tidak sayang padamu, bagaimana bisa kita memulai kembali?" Ketika Mia mengucapkan kata-kata ini, air matanya terasa mengalir. Disentakkannya pergelangan tangannya dengan dingin, lalu dia pun melangkah ke kamar mandi.
Dia tidak berani memperlambat langkahnya, takut topeng penyamarannya akan langsung hancur di hadapan Wira….
Air matanya mengalir deras seperti gelas yang pecah ketika memasuki kamar mandi.
Dua wanita di kamar mandi yang sedang berias melihat Mia. Mereka dikejutkan oleh raut sedih dan cemas di wajah Mia, dan kemudian saling berpandangan dan pergi.
Di dunia ini, sudah ada terlalu banyak kekerasan yang terjadi di waktu apapun dan di manapun.
Mia yang tampak seperti itu, di mata kedua wanita itu, tidak lebih dari wanita yang dicampakkan atau diancam oleh laki-laki.
Air yang dingin terus membasahi pipinya. Mia tidak tahu apakah itu air dari kran atau air matanya. Rasa sakit seperti itu membuatnya tercekik dan tidak bisa bernapas.
Dia tidak tahu berapa lama dia berada di sana. Dia lelah karena menangis, tapi perlahan-lahan, dia menata kembali perasaannya. Mia menghapus air mata dan jejak air di wajahnya, lalu menarik napas dalam beberapa kali untuk menghilangkan rasa sedihnya dan keluar dari kamar mandi.
Tetapi ketika dia melangkah keluar, tiba-tiba lengannya dicengkeram dengan kuat. Mia belum sempat bereaksi, dan orang itu sudah mendorongnya ke dinding lorong.
Pada saat yang sama, Petra, Haris dan yang lainnya berjalan dari ujung lain lorong. Mereka berjalan ke sebuah ruangan terpisah di ujung lorong dengan santai.
Mia memandang Wira dengan agak terkejut, dan ingin mendorong pria itu, namun Wira menahan bibirnya kuat-kuat dan membungkam teriakannya.
Ini bukan ciuman. Wira seperti anjing gila, menggigitinya dengan keras meski Mia melawan. Bibir dan lidahnya menyerbu rongga mulutnya dengan gila.
"Hei—" Mia mendorong tangannya ke dada Wira, bermaksud mendorongnya menjauh, tetapi pria itu begitu kuat hingga tak bisa digerakkan meski Mia meronta dengan kuat.
"Kenapa kau tiba-tiba mengajakku ke Bar Purnama, Kak?" Pada saat yang sama, suara Kristian yang santai pun terdengar.
Mata Mia seketika melebar, dan dia lupa bereaksi….