webnovel

TUGAS ANAK PERTAMA

"Apa kau akan diam saja, Hen?" tanya Melinda pada Mahendra putra sulungnya.

"Apa yang harus aku lakukan, Bu? Kita tidak bisa memaksakan jika memang Xabiru juga tidak mencintai Dara. Sudahlah, Bu. Mereka mungkin memang tidak berjodoh."

"Kau ini selalu saja tidak bisa membuat keputusan sendiri. Kau ini anak yang paling tua, Mahendra. Dan kau yang nantinya akan mewarisi perusahaan milik ayahmu. Seharusnya kau bisa melindungi apa yang menjadi hak kalian. Hakmu dan adik-adikmu!" seru Melinda.

Mahendra menatap sang ibu sambil mengembuskan napas panjang.

"Bu, sudah berapa kali aku katakan bahwa aku ini tidak berbakat bisnis. Aku lebih suka pekerjaanku yang sekarang," jawab Mahendra.

"Kau tidak akan kaya jika terus bekerja pada orang, Hen."

"Menjadi seorang Arsitek juga kebanggaan tersendiri, Bu. Ayah sudah mengeluarkan uang banyak untuk biaya kuliahku. Dan aku tidak mau menyia-nyiakan ilmu begitu saja," jawab Mahendra.

"Percuma saja ibu susah payah membuat wanita itu dan anaknya pergi dari rumah ini jika kalian yang ibu perjuangkan sama sekali tidak bisa memanfaatkan hasil perjuangan ibu."

Mahendra mengerutkan dahinya.

"Maksudnya? Ibu yang sudah mengatur dan membuat Ibu Karina dan Gadis diusir oleh ayah 6 tahun yang lalu?"

"Iya! Semua itu aku lakukan supaya kau dan ketiga adikmu bisa hidup dengan enak tanpa harus berbagi. Tapi, kalian semua payah!" seru Melinda sambil melangkah keluar dari kamar Mahendra dengan kesal.

Sementara Mahendra termangu sambil menatap punggung ibunya tak percaya.

Seculas itukah sang ibu hanya demi kekayaan dan kemewahan dengan tega mengambil hak orang lain. Hak adiknya sendiri. Walau bagaimanapun Gadis adalah adiknya juga. Meskipun bukan dari rahim yang sama. Mahendra mengembuskan napasnya perlahan, seketika ia merasa ada perasaan bersalah yang menjalar. Mahendra ingat dengan jelas bagaimana Gadis menerima pukulan dari ayahnya bahkan sampai kepalanya terbentur dengan keras ke dinding. Belum lagi pecutan cambuknya.

Mahendra beranjak kemudian menyambar jaket dan kunci mobilnya. Ia berniat untuk menjenguk Gadis di rumah sakit. Ia dan Xabiru adalah teman kuliah. Mereka pernah kuliah di satu universitas yang sama meski berbeda jurusan. Namun, Xabiru pindah ke luar negeri. Pemuda tampan itu baru kembali ke Indonesia sekitar tiga tahun yang lalu.

Saat ia tiba di kamar perawatan Gadis, tampak Karina sedang menyuapi Gadis makan. Melihat kedatangannya, Karina tersenyum dan melambaikan tangannya.

"Hen, sendiri?" sapanya.

"Iya, Bu. Tadi sore aku baru saja mengetahui dari ayah kalau Gadis dirawat di sini."

"Sekarang kondisinya sudah membaik dibandingkan siang tadi."

"Syukurlah kalau begitu. Bu, aku mau minta maaf atas kejadian semalam. Sebagai anak paling tua aku tidak bisa membela Gadis. Seharusnya aku bisa mencegah ayah untuk berbuat kasar pada Gadis."

Karina menepuk bahu Mahendra, meskipun Mahendra bukan terlahir dari rahimnya, tapi dulu ia yang mengasuh Mahendra ketika kecil.

"Sudahlah, yang penting Gadis sudah tidak apa-apa sekarang."

"Ibumu tau kau datang ke sini? Nanti dia bisa melabrakmu kalau kau menjengukku," celetuk Gadis sinis.

"Dis, jangan begitu. Bagaimanapun juga dia adalah kakakmu," tegur Karina. Gadis hanya diam, ia memang paling takut jika ibunya sudah menegur.

**

Pesta pertunangan Xabiru dan Gadis diadakan disebuah hotel berbintang lima dengan cukup meriah. Tamu yang datang pun bukan tamu sembarangan. Sebagai seorang pengusaha muda yang cukup sukses dan juga mapan membuat Xabiru juga terkenal di dunia bisnis.Wajah Hans tampak bahagia baginya sekarang tidak masalah siapapun yang menjadi istri Xabiru. Yang paling penting adalah perusahaan miliknya tidak terancam bangkrut. Ia juga bisa menebus sebagian dari dosanya kepada Gadis dan Karina.

Hanya Tania, Melinda dan si bungsu Harry yang tidak datang di pesta itu. Tapi, Dara dengan besar hati datang bersama Hans untuk mengucapkan selamat kepada Gadis dan Xabiru. Gadis lahir tiga hari lebih cepat dari Dara. Mereka besar bersama, namun hubungan mereka memburuk sejak enam tahun terakhir. Gadis memang mulai menutup diri dari saudara- saudaranya. Terlebih sikap Melinda dan Tania yang selalu memusuhi membuat Gadis merasa enggan untuk sekedar menyapa.

Malam itu Gadis mengenakan gaun berwarna putih dengan kerah Cheongsam dari bahan satin sehingga Gadis terlihat sangat anggun dan begitu elegan. Dengan bangga Xabiru memperkenalkan Gadis pada semua kolega bisnisnya.

"Kau cantik sekali, sayang," bisik Xabiru pada Gadis.

"Terima kasih, Mas."

"Sepertinya malam itu adalah malam naas sekaligus juga malam yang membawa keberuntungan bagi kita berdua."

"Bagaimana bisa?"

"Karena malam itu aku hampir menabrak bidadari yang lewat."

"Gombal sekali kau ini, Mas."

Tiba-tiba Dara mendekat ke arah mereka berdua sambil membawa kotak kecil.

"Dis, selamat ya. Mas Biru,selamat atas pertunangan kalian."

"Terima kasih, Dara," kata Xabiru sambil menyambut uluran tangan Dara.

"Oya, ini aku ada kado untuk kalian. Jangan di lihat dari isi dan harganya, ya." Dara mengulurkan kotak kecil yang dibawanya pada Gadis yang langsung menyambutnya dengan senyuman.

"Boleh aku buka?" tanya Gadis.

"Buka saja," jawab Dara.

Perlahan Gadis membuka kotak pemberian Dara, ia tersenyum saat melihat kalung emas yang berukirkan namanya. Melihat isinya adalah seuntai kalung, Xabiru pun berinisiatif untuk memakaikannya di leher Gadis.

"Tambah cantik," ujarnya.

"Terima kasih, Dara. Bagus sekali, aku suka," kata Gadis.

"Tadinya, aku ingin memberikan itu untuk hadiah ulang tahunmu bulan depan. Tapi, aku pikir lebih baik aku memang memberikannya sekarang."

"Terima kasih."

**

"Kedua kakakmu itu memang keterlaluan, Tania. Bisa- bisanya mereka mendukung acara pertunangan Gadis dan Xabiru. Ibu tidak habis pikir untuk apa mereka membela Gadis. Ayahmu juga sama saja. Tidak bisa bersikap tegas. Dia kan bisa memaksa Xabiru untuk menikahi Dara. Ibu tidak rela sebenarnya jika mereka menikah minggu depan. Tapi, ayahmu bersikeras."

"Jodohkan saja Dara dengan pengusaha kaya yang lain. Kolega ayah kan banyak."

"Iya, tapi yang masih muda dan gagah seperti Xabiru itu susah di cari."

"Jadi, ibu mau melakukan apa? Jika Ibu berusaha mengacau, ayah bisa ngamuk sama kita, Bu."

"Sekarang ya jelas tidak mungkin. Tapi, lihat saja nanti."

"Terserah Ibu sajalah."

Melinda mengepalkan tangannya. Ia merasa amarahnya naik sampai ke ubun-ubun.

"Jika enam tahun yang lalu aku bisa menyingkirkan mereka, maka kali ini aku juga bisa menyingkirkan mereka," gumam Melinda kesal.

"Maksud Ibu apa?" tanya Tania.

"Kau pikir, ayahmu akan mengusir mereka begitu saja tanpa campur tangan Ibu? Selama puluhan tahun Ibu hanya dinikahi secara siri. Dan, dalam akte kelahiran kalian pun yang tercantum bukanlah namaku. Tapi, nama Karina Silvia dan Hans Pratama. Bukan Melinda Pratiwi, jadi apa salahnya jika aku mengambil sedikit saja dari miliknya."

Chương tiếp theo